Rabu, 08 Januari 2014

0 Comments
Posted in Arrangement, Art, Business

Bab 6.2 : Sifat Mazmumah

Bab 6.2 :
Sifat Mazmumah 8. Takabbur (sombong) (تكبر ) Takabbur bermaksud membesarkan diri atau berkelakuan sombong dan bongkak. Orang yang takabbur itu memandang dirinya lebih mulia dan lebih tinggi pangkatnya daripada orang lain serta memandang orang lain itu hina dan rendah pangkat. Sifat takabbur ini tiada sebarang faedah malah membawa kepada kebencian Allah dan juga manusia dan kadangkala membawa kepada keluar daripada agama kerana enggan tunduk kepada kebenaran. Sombong kepada Allah adalah perkara yang paling keji iaitu orang yang jahil tentang agama yang tidak mahu mempelajarinya dan sentiasa melakukan dosa kepada Allah. 9. ‘Ujub (bangga diri) (عجب ) ‘Ujub bermaksud merasai atau menyangkakan dirinya lebih sempurna. ‘Ujub ialah seseorang yang merasa nikmat yang besar dan cenderung kepadanya serta lupa bahawa nikmat yang besar yang didapatinya itu adalah daripada pemberi nikmat iaitu Allah. Orang yang bersifat ‘ujub adalah orang yang timbul di dalam hatinya sangkaan bahawa dia adalah seorang yang lebih sempurna dari segi pelajarannya, amalannya, kekayaannya atau sebagainya dan ia menyangka bahawa orang lain tidak berupaya melakukan sebagaimana yang dia lakukan. Dengan itu, maka timbullah perasaan menghina dan memperkecil-kecilkan orang lain dan lupa bahawa tiap-tiap sesuatu itu ada kelebihannya. 10. Riya’(رياء ) Riya’ bermaksud memperlihatkan dan menunjuk-nunjuk amalan kepada orang lain. Setiap amalan yang dilakukan dengan tujuan menunjuk-nunjuk akan hilanglah keikhlasan dan menyimpang dari tujuan asal untuk beribadah kepada Allah semata-mata. Orang yang riya’ adalah sia-sia segala amalannya kerana niatnya telah menyimpang disebabkan inginkan pujian daripada manusia.
0 Comments
Posted in Arrangement, Art, Business

Tingkatan Dimensi Alam Semesta

Tingkatan Dimensi Alam Semesta Diposkan oleh Edi Sugianto, C.Ht., MNLP Tingkatan Alam Menurut para Sufi. “Maka, apabila Aku telah menyempurnakan (kejadiannya), dan Aku telah meniupkan roh (ciptaan)-Ku ke dalamnya, tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” (QS. Al-Hijr: 29). Jika para ulama fikih hanya membagi dua alam, yakni alam syahadah dan alam gaib, para sufi membagi alam ke dalam berbagai tingkatan. Pembagian besarnya tetap sama, hanya dibagi pada alam syahadah mutlak dan alam gaib mutlak. Di antara dua alam mutlak itu ada alam antara (barzakh). Alam barzakh sesungguhnya sudah masuk wilayah alam gaib. Hanya saja alam ini dibagi dua. Pertama, alam gaib mudhaf, yakni alam gaib yang relatif masih lebih dekat ke alam syahadah. Ibnu Arabi menyebutnya alam mitsal, sedangkan Al-Ghazali menyebutnya alam hayal, yang keduanya diartikan the imaginal world oleh William C Chittik. Kedua, alam gaib lainnya, ialah yang lebih dekat dengan alam gaib mutlak, yaitu alam malakut, alam jabarut, sampai ke alam wahidiyat dan alam ahadiyat yang sebenarnya sudah tidak bisa lagi disebut alam. Para sufi seolah tidak mengenal alam gaib dalam arti alam yang di luar kemampuan kognitif manusia untuk memahaminya atau alam yang tak teridentifikasi (unidentifying world). Alam gaib oleh para sufi bukan sesuatu yang amat asing. Alam gaib bagi mereka ialah alam yang berada di balik hijab. Manakala hijab sudah terbuka (mukasyafah), hilanglah kegaiban itu. Kalaupun masih ada, yang terwujud hanyalah entitas tetap (al-a’yan al-tsabitah). Ini pun sudah diidentifikasi dalam dua kategori, yaitu entitas wahidiyat yang masih bisa dikenali melalui nama-nama (Al-Asma)-Nya dan ahadiyat yang sudah tidak teridentifikasi atau disebut alam gaib mutlak (asrar al-asrar/the sacred of the sacred). Berbeda dengan para fukaha yang seolah memberi wilayah alam gaib amat luas, yaitu selain yang masuk dari kategori alam syahadah, alam dunia yang kita huni ini. Para sufi tidak mendikotomikan antara alam syahadah dan alam gaib. Ibnu Arabi termasuk di antara sufi yang berpendapat seperti itu. Bagi Ibnu Arabi, alam syahadah tidak murni alam fisik karena ia hanya elemen dasar dari rangkaian tingkatan alam yang terdiri atas tanah, air, udara, dan api. Alam syahadah mutlak disebut juga alam dunia (dari akar kata dana, berarti rendah). Alam dunia ini juga terdiri atas alam mineral, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan sebagian unsur manusia. Alam mineral pun masih dapat diidentifikasi dengan batu-batuan dan logam. Lalu logam masih dibedakan dengan logam biasa, seperti tembaga, besi, tembaga, perak, dan logam mulia berupa emas. Emas juga dapat dibedakan berdasarkan karatnya, dari karat rendah sampai 24 karat. Di atas alam mineral ada alam tumbuh-tumbuhan yang memiliki daya untuk tumbuh sendiri (growth), makan (nutrilive faculty), dan kemampuan reproduksi. Di atasnya masih ada alam hewan yang lebih kompleks karena sudah memliki selain apa yang dimiliki oleh alam mineral dan alam tumbuhan-tumbuhan. Dunia hewan memiliki berbagai kemampuan, antara lain kemampuan penginderaan (sensation) dan gerak (harkah, locomotion), termasuk imajinasi sederhana, kekuatan khayal, dan memori-memori sederhana lainnya. Alam hewan juga sudah mengenal imajinasi (mutakhayyilah) dan indera-indera batin lainnya yang sesuai dengan tingkatannya. Alam hewan sudah memiliki kemampuan pergerakan dan mobilitas secara vertikal dan horizontal yang tidak dimiliki alam mineral dan alam tumbuh-tumbuhan. Di atas alam mineral dan alam tumbuh-tumbuhan ialah alam manusia. Manusia secara biologis menghimpun semua potensi yang dimiliki tiga alam di bawahnya. Manusia sering disebut sebagai binatang yang diberi kemampuan lebih (al-hayawan al-nathiq). Keunggulan manusia tak hanya terletak pada kesempurnaan jasmani dan jenis-jenis indera yang dimilikinya, tapi manusia juga diberi keistimewaan khusus yang tidak dimiliki makhluk lain, yaitu roh. Roh oleh para filsuf kadang disebut akal (intellect) kadang disebut jiwa rasional. Keberadaan roh di dalam diri manusia, baik dalam proses maupun dalam substansi, dibahas secara luas oleh para sufi dan filsuf. Dalam kitab-kitab tafsir sufi (Tafsir Isyari), roh digambarkan sebagai unsur suci (malakut/lahut) yang ada pada diri manusia. Itu yang membuat para malaikat dan makhluk lainnya tunduk (taskhir) dan bersujud, serta mengabdi kepada manusia, kecuali iblis yang kemudian membuatnya terkutuk. Keutamaan yang dimiliki manusia inilah menjadikannya sebagai khalifah Tuhan di bumi (khalaif al-ardl). Ketika manusia masih dalam struktur sederhana, yang baru tersusun dari unsur mineral, tumbuh-tumbuhan, dan hewani, belum ada perintah sujud dari Allah SWT kepadanya. Nanti setelah unsur suci itu di-install ke dalam diri Adam, barulah perintah sujud itu muncul (fasjudu li adam fa sajadu illa iblis). Unsur ekstra, atau istilah khalqan akhar dalam firman Allah pada QS Al-Mu’minun, membuat manusia sebagai makhluk istimewa. Ini pula yang membuat manusia menurut SH Nasr, sebagai satu-satunya makhluk eksistensialis yang derajatnya bisa fluktuatif, turun-naik, di mata Allah. Manusia bisa tampil sebagai makhluk paling utama (ahsan taqwim) yang bisa menembus alam puncak (sidrah al-muntaha), di mana Jibril dan para malaikat utama lainnya tidak sanggup sampai ke sana. Namun, kemampuan dan keutamaan yang dimiliki manusia seperti itu bisa juga membuatnya tersungkur jatuh ke lembah paling bawah (asfala safilin), terutama jika manusia menyia-nyiakan potensi tersebut, sebagaimana disebutkan dalam Alquran: “Sungguh akan kami isi neraka jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah); mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah); dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat) Allah. Mereka seperti hewan, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.” (QS. Al-A’raf: 179). Transformasi dan transmutasi manusia menuju ke alam berikutnya sangat ditentukan oleh setiap individu. Jika mampu menggunakan potensi indera batinnya untuk menembus wilayah barzakh, manusia bisa melakukan transformasi itu. Ada orang yang menunggu kematian untuk memasuki alam barzakh. Namun, ada juga orang yang mampu bolak-balik memasuki wilayah barzakh dan berkomunikasi dengan para penghuni barzakh lain atau alam-alam gaib di level lebih tinggi. Kalau di alam syahadah, mutlak seperti alam-alam dunia mengalami proses evolusi untuk mencapai derajat utama. Misalnya, mineral yang berupa tanah, batu, logam, perak, sampai kepada logam mulia seperti emas yang nilainya pasti lebih tinggi dibanding mineral lainnya dalam alam tumbuh-tumbuhan, alam hewan, dan manusia demikian pula adanya. Untuk menjadi logam mulia, sudah tentu harus melalui proses panjang. Demikian pula untuk menjadi batu permata juga harus melalui perjuangan panjang. Inilah analogi transmutasi evolusioner benda-benda alam syahadah yang pernah diungkap oleh seorang sufi sekaligus ahli kimia bernama Jabir bin Hayyan. Penyair besar dan sufi Muslim, Jalaluddin Rumi, juga menjelaskan bahwa hubungan Al-Haq (Allah SWT) dengan alam-alam tersebut adalah hubungan cinta. Menurut Rumi, sebagaimana dikutip Prof Mulyadi, pergerakan, perputaran, dan thawafnya alam raya ini adalah reaksi dari pesona gelombang cinta Tuhan. Mereka berputar laksana Sang Pencipta mabuk kepayang untuk berjumpa dengan kekasihnya. Mungkin ini yang menginspirasi Rumi menciptakan tarian sufi yang dikenal dengan Whirling Dervish. Dalam level alam manusia juga mempunyai logika yang sama jika ia ingin mencapai martabat utama (maqaman mahmuda), sebagaimana disebutkan dalam Alquran, “Dan pada sebagian malam, lakukanlah shalat tahajud (sebagai suatu ibadah) tambahan bagimu. Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al-Isra: 79). Manusia juga harus menempuh diri dengan berbagai riyadhah dan mujahadah hingga mencapai posisi jiwa yang bersih (illuminated), selanjutnyaa mampu menembus batas-batas hijab. Jika hijab sudah tersingkap, mukasyafah terjadi. Jika itu terjadi, wilayah alam gaib menjadi berkurang karena alam barzakh sudah dapat diakses. Rupanya, inilah rahasia hadis Nabi, “Mutu qabla antamutu (matilah sebelum kalian mati yang sebenarnya).” by. Prof Dr Nasaruddin Umar Source : Repubika

Kamis, 02 Januari 2014

0 Comments
Posted in Arrangement, Art, Business

Rujukan

Rujukan 1.Abdul Manam bin Mohamad Al-Merbawi. (2009). Tasawwuf dan Peranannya Dalam Pembinaan Kerangka Spritual Ahli Sunnah Wal-Jamaah, Terengganu : Universiti Sultan Zainal Abidin. 2. Hj. Wan Mohd. Shaghir Abdullah. (2002). Hidayatus Salikin Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani, Jil. 2, Kuala Lumpur : Khazanah Fathaniyah. 3. Mohd. Sulaiman Haji Yassin. (1984). Mengenal Ilmu Tasawuf (Pengantar). Kuala Lumpur : JAKIM. 4. Sheikh Abdul Hafiz Faraghli Ali Al-Qarani. (2002). Prinsip-prinsip Tasawwuf Islam. Negeri Sembilan : Jabatan Mufti Kerajaan Negeri Sembilan. 5. Prof. TK. H. Ismail Yakub MA – SH. (1992). Ihya’ Ulumiddin Imam Ghazali, Jil. 4, Singapura : Pustaka Nasional Pte Ltd. 6. Prof. TK. H. Ismail Yakub MA – SH. (1992). Ihya’ Ulumiddin Imam Ghazali, Jil. 3, Singapura : Pustaka Nasional Pte Ltd. 7. Zakaria Stapa. (1995). Akhlak & Tasawuf Islam. Kuala Lumpur: Berita Publishing Sdn. Bhd.