Senin, 18 November 2013

ALLAH S.W.T ADA TANPA TEMPAT


قال الله تعالى: ليس كمثله شىء (سورة الشورى: 11)

Maknanya: “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi) dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya”. (Q.S. asy- Syura: 11) 

Ayat ini adalah ayat yang paling jelas dalam al Qur'an yang menjelaskan bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya. Ulama Ahlussunnah menyatakan bahwa alam (makhluk Allah) terbagi atas dua bagian; yaitu benda dan sifat benda. Kemudian benda terbagi menjadi dua, yaitu benda yang tidak dapat terbagi lagi karena telah mencapai batas terkecil (para ulama menyebutnya dengan al Jawhar al Fard), dan benda yang dapat terbagi menjadi bagian-bagian (jisim). Benda yang terakhir ini terbagi menjadi dua macam;

1. Benda Lathif: sesuatu yang tidak dapat dipegang oleh tangan, seperti cahaya, kegelapan, ruh, angin dan sebagainya.

2. Benda Katsif: sesuatu yang dapat dipegang oleh tangan seperti manusia, tanah, benda-benda padat dan lain sebagainya.
Sedangkan sifat-sifat benda adalah seperti bergerak, diam, berubah, bersemayam, berada di tempat dan arah, duduk, turun, naik dan sebagainya. Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa Allah ta'ala tidak menyerupai makhluk-Nya, bukan merupakan al Jawhar al Fard, juga bukan benda lathif atau benda katsif. Dan Dia tidak boleh disifati dengan sesuatupun dari sifat-sifat benda. Ayat tersebut cukup untuk dijadikan sebagai dalil bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah. Karena seandainya Allah mempunyai tempat dan arah, maka akan banyak yang serupa dengan-Nya. Karena dengan demikian berarti ia memiliki dimensi (panjang, lebar dan kedalaman). Sedangkan sesuatu yang demikian, maka ia adalah makhluk yang membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam dimensi tersebut.
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : كان الله ولم يكن شيء غيره (رواه البخاري والبيهقي وابن الجارود)
Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam bersabda: Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan) dan belum ada sesuatupun selain-Nya”. (H.R. al Bukhari, al Bayhaqi dan Ibn al Jarud)

Makna hadits ini bahwa Allah ada pada azal (keberadaan tanpa permulaan), tidak ada sesuatu (selain-Nya) bersama-Nya. Pada azal belum ada angin, cahaya, kegelapan, arsy, langit, manusia, jin, malaikat, waktu, tempat dan arah. Maka berarti Allah ada sebelum terciptanya tempat dan arah, Ia tidak membutuhkan kepada keduanya dan Ia tidak berubah dari semula, yakni tetap ada tanpa tempat dan arah, karena berubah adalah ciri dari sesuatu yang baru (makhluk). Maka sebagaimana dapat diterima oleh akal, adanya Allah tanpa tempat dan arah sebelum terciptanya tempat dan arah, begitu pula akal akan menerima wujud-Nya tanpa tempat dan arah setelah terciptanya tempat dan arah. Hal ini bukanlah penafian atas adanya Allah.
Al Imam al Bayhaqi (W. 458 H) dalam kitabnya al Asma' wa ash-Shifat, hlm. 506, mengatakan: "Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil dalil dari sabda Rasulullah shalllallahu 'alayhi wa sallam:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : أنت الظاهر فليس فوقك شىء وأنت الباطن فليس دونك شىء (رواه مسلم وغيره)
Maknanya: "Engkau azh-Zhahir (yang segala sesuatu menunjukkan akan ada-Nya tidak ada sesuatu di atas-Mu dan Engkaulah al Bathin (yang tidak dapat dibayangkan) tidak ada sesuau dibawah-Mu" (H.R. Muslim dan lainnya).
Adapun salah satu riwayat hadits Jariyah yang zhahirnya memberi persangkaan bahwa Allah ada di langit, maka hadits tersebut tidak boleh diambil secara zhahirnya, tetapi harus ditakwil dengan makna yang sesuai dengan sifat-sifat Allah, jadi maknanya adalah Dzat yang sangat tinggi derajat-Nya sebagaimana dikatakan oleh ulama Ahlussunnah Wal Jama'ah, di antaranya adalah al Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim. Sementara riwayat hadits jariyah yang maknanya shahih adalah:

روى الإمام مالك والإمام أحمد أن رجلا من الأنصار جاء بأمة سوداء وقال : يا رسول الله إن علي رقبة مؤمنة فإن كنت ترى هذه مؤمنة أعتقتها ، فقال لها رسول الله صلى الله عليه وسلم : أتشهدين أن لا إله إلا الله قالت : نعم ، قال : أتشهدين أنّي رسول الله ؟ قالت : نعم ، قال : أتؤمنين بالبعث بعد الموت ؟ قالت : نعم ، قال : أعتقها .

Al Imam Malik dan al Imam Ahmad meriwayatkan bahwasanya salah seorang sahabat Anshar datang kepada Rasulullah dengan membawa seorang hamba sahaya berkulit hitam, dan berkata: wahai Rasulullah sesungguhnya saya mempunyai kewajiban memerdekakan seorang hamba sahaya yang mukmin, jika engkau menyatakan bahwa hamba sahaya ini mukminah maka aku akan memerdekakannya, kemudian Rasulullah berkata kepadanya: apakah engkau bersaksi tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah? Ia (budak) menjawab: Ya, Rasulullah berkata kepadanya: apakah engkau bersaksi bahwa saya adalah rasul (utusan) Allah? Ia menjawab: Ya, kemudian Rasulullah berkata: apakah engkau beriman terhadap hari kebangkitan setelah kematian ? ia menjawab : Ya, kemudian Rasulullah berkata: merdekakanlah dia. Al Hafizh al Haytsami (W. 807 H) dalam kitabnya Majma' az-Zawa-id Juz I, hal. 23 mengatakan: "Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan perawi-perawinya adalah perawi-perawi shahih". Riwayat ini adalah yang sesuai dengan prinsip-prinsip dan dasar ajaran Islam, karena di antara dasar-dasar Islam bahwa orang yang hendak masuk Islam maka ia harus mengucapkan dua kalimat Syahadat bukan yang lain.
Senada dengan hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhari di atas perkataansayyidina Ali ibn Abi Thalib semoga Allah meridlainya:
قال سيدنا علي رضي الله عنه : "كان الله ولا مكان وهو الآن على ما عليه كان" (رواه أبو منصور البغدادي في الفرق بين الفرق / ص : 333)
Maknanya: "Allah ada (pada azal) dan belum ada tempat dan Dia (Allah) sekarang (setelah menciptakan tempat) tetap seperti semula ada tanpa tempat" (dituturkan oleh al Imam Abu Manshur al Baghdadi dalam kitabnya al Farqu bayna al Firaq hal. 333).
Karenanya tidak boleh dikatakan Allah ada di satu tempat atau di mana-mana, juga tidak boleh dikatakan Allah ada di satu arah atau semua arah penjuru. Syekh Abdul Wahab asy-Sya'rani (W. 973 H.) dalam kitabnya al Yawaqiit wa al Jawaahir menukil perkataan Syekh Ali al Khawwash: "Tidak boleh dikatakan bahwa Allah ada di mana-mana". Aqidah yang mesti diyakini bahwa Allah ada tanpa arah dan tanpa tempat.
وقال سيدنا علي رضي الله عنه : "إن الله خلق العرش إظهارا لقدرته ولم يتخذه مكانا لذاته" (رواه أبو منصور البغدادي في الفرق بين الفرق / ص : 333)
al Imam Ali semoga Allah meridhainya mengatakan yang maknanya: "SesungguhnyaAllah menciptakan 'Arsy (makhluk Allah yang paling besar) untuk menampakkan kekuasaannya bukan untuk menjadikannya tempat bagi Dzat-Nya" (diriwayatkan oleh Abu Manshur al Baghdadi dalam kitab al Farqu bayna al Firaq, hal. 333)
وقال سيدنا علي رضي الله عنه :" إن الذي أين الأين لا يقال له أين وإن الذي كيف الكيف لا يقال له كيف" (رواه أبو المظفر الإسفراييني في كتابه في التبصير في الدين / ص: 98)
Sayyidina Ali semoga Allah meridlainya juga mengatakan yang maknanya: "Sesungguhnya yang menciptakan aina (tempat) tidak boleh dikatakan baginya dimana (pertanyaan tentang tempat), dan yangmenciptakan kayfa (sifat-sifat makhluk) tidak boleh dikatakan baginya bagaimana" (diriwayatkan oleh Abu Muzhaffar al Asfarayini dalam kitabnya at-Tabshir fi ad-Din, hal. 98)
Al Imam Abu al Hasan al Asy'ari (W. 324 H) –semoga Allah meridlainya- berkata:
إن الله لا مكان له
"Sesungguhnya Allah ada tanpa tempat" (diriwayatkan oleh al Bayhaqi dalam al Asma' wa as-Shifat)[1].


[1] Ini adalah salah satu bukti yang menunjukkan bahwa kitab al Ibanah yang dicetak dan tersebar sekarang dan dinisbatkan kepada al Imam Abu al Hasan al Asy'ari telah banyak dimasuki sisipan-sisipan palsu dan penuh kebohongan, maka hendaklah dijauhi kitab tersebut.

0 komentar:

Posting Komentar