Senin, 18 November 2013

Posisi kita di sisi Allah

Posisi kita di sisi Allah

Di manakah posisi/derajat kita di sisi Allah saat kini ?

Firman Allah yang artinya,
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.”(QS. Al-Hujurat: 13)
Sebagian kita memahami “di sisi” Allah adalah semata-mata kejadian kelak di akhirat nanti. Namun sesungguhnya posisi/derajat manusia di sisi Allah berlangsung ketika kehidupan di dunia.
Ada sebagian muslim “berani” melakukan perbuatan yang dilarang Allah, sesungguhnya karena tidak merasakan “di sisi” Allah.  Padahal Allah Maha Mengetahui, Maha Melihat dan Maha Mendengar.
Sedangkan ada sebagian muslim karena posisi/derajat nya lebih mulia “di sisi” Allah  maka Allah berikan jalan keluar dan Allah berikan rezeki  dari arah yang tidak disangka dan Allah mencukupkan (keperluan)nya
Sesuai dengan firman Allah yang artinya,
Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath Thalaaq [65]: 2-3).
Benarlah, manusia di sisi Allah ketika kehidupan di dunia bahkan dimulai sejak manusia diciptakan.
Menurut para ahli Tasawuf, hakikat manusia dibagi menjadi dua bangunan utama, yaitu bangunan jasmani dan rohani. Bangunan jasmani manusia diciptakan melalui enam proses kejadian yaitu:
  1. Sari pati tanah
  2. Nuftah
  3. Segumpal darah
  4. Segumpal daging
  5. Pertumbuhan tulang-belulang
  6. Pembungkusan tulang-belulang
Sebagaimana firman Allah yang artinya, “Sesungguhnya telah Kami ciptakan manusia dari sari pati tanah. Kami jadikan sari pati tanah itu air mani yang ditempatkan dengan kokoh di tempat yang teguh. Kemudian air mani itu kami jadiukan segumpal darah, dari segumpal darah itu, Kami jadikan segumpal daging, Kami jadikan pula tulang-belulang, kemudian tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging (QS Al Mu-minun (23): 12-14)
Setelah melalui enam tahap proses tersebut maka jasmani manusia boleh dikatakan sebagai makhluk yang sempurna apabila dipandang dari sudut jasmaniah, tetapi apabila dipandang dari sudut Rohaniah, manusia yang belum ditiupkan Roh-Ku belumlah dapat disebut manusia sempurna. Oleh karenanya itu, pada proses kejadian yang ketujuh, Allah meniupkan sebagian Roh-Nya kepada jasmani manusia. Pada saat itulah manusia tersebut bisa dikatakan sebagai manusia yang sempurna baik jasmani maupun rohani.
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka jika Aku telah menyempyurnakan kejadiannya dan telah meniupkan kedalamnya Roh-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud. Maka bersujudlah para malaikat itu semuanya bersama-sama. (QS Al Hijr (15):28-30)
Dimaksud dengan sujud di sini bukan menyembah, tetapi sebagai penghormatan.
“Kemudian Dia menyempurnakan penciptaannya dan Dia tiupkan padanya sebagian dari Roh-Nya dan Dia jadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan rasa, tapi sedikit sekali kamu bersyukur” (QS As Sajadah (32):9)
Menurut tinjauan ahli Tasawuf, di bagian kepala manusia terdapat tujuh buah lubang (pintu) sebagai sumber rasa inderawi, yaitu,
  1. Dua lubang telinga sebagai sumber (alat) pendengaran.
  2. Satu lubang mulut sebagai sumber (alat) pengucapan dan pengecapan
  3. Dua lubang mata sebagai sumber (alat) penglihatan
  4. Dua lubang hidung sebagai sumber (alat) pernapasan.
Ketujuh buah lubang (pintu) yang ada di kepala manusia tersebut secara simbolis diinformasikan Allah dalam al-Qur’an dengan istilah “tujuh buah jalan” yang ada di atas badan manusia.
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas (badan) kamu tujuh buah jalan dan kami tidaklah lengah terhadap ciptaan Kami” (QS Al-Mu’minun (23):17)
Tujuh lubang ini disebut juga sebagai “pembuka”, karena dengan tujuh lubang inilah, manusia berhasil membuka segala rahasia pengetahuan, baik yang bersifat lahir maupun batin.
Proses terjadinya aktifitas alat inderawi tersebut yang terwujudkan dalam bentuk pendengaran, pengucapan atau pengecapan, penglihatan dan pernapasan inilah yang disebut kiasan “tujuh buah jalan” yang dapat memberi petunjuk karena dengan adanya empat inderawi tersebut maka manusia mendapatkan pengetahuan tentang masalah apapun yang sedang dipelajarinya.
Pada tubuh manusia, total keseluruhan terdapat sepuluh lubang inderawi, yaitu tujuh di kepala dan tiga lubang dibagian badan yaitu lubang pusar, lubang anus dan lubang kemaluan. Khusus untuk lubang pusar sudah tidak berfungsi sejak manusia dilahirkan. Sehingga yang berfungsi secara maksimal adalah Sembilan lubang yang ada pada tubuh manusia.
Apabila dikaitkan dengan keadaan bayi dalam kandungan maka dapat terlihat bahwa Sembilan lubang yang ada pada tubuh bayi tidaklah berfungsi, hal ini dikarenakan seorang bayi dalam kandungan berada di dalam air ketuban (omnium water). Sehingga seorang bayi dalam kandungan tidak melakukan aktifitas inderawi secara sempurna. Dengan kata lain seorang bayi tidak makan dan tidak minum atau berbicara dengan mulut, tidak bernapas dengan hidung, tidak melihat dengan mata, tidak mendengar dengan telinga, dan tidak buang air besar atau kecil melalui anus atau kemaluan. Tetapi bayi tersebut mendapatkan semua kebutuhan jasmaninya melalui saluran plasenta yang menghubungkan antara pusar bayi dengan dinding rahim ibu.
Dalam kandungan, seorang bayi juga tidak berpikir dikarenakan fungsi otaknya belum sempurna, tetapi kemampuan rohani bayi telah hidup sempurna. Peristiwa ini dialami oleh seorang bayi selama kurang lebih sembilan bulan.  Dalam bahasa Tasawuf, keadaan ini disebut dengan peristiwa dimana seorang bayi berada dalam Janah yang berada  di bawah telapak kaki ibu selama Sembilan bulan.
Sayangnya setelah bayi itu tumbuh dewasa, dia tidak dapat mengingat perjalanannya ketika berada dalam kandungan rahim ibunya. Oleh karena itu Islam mengajarkan agar setiap umatnya kembali menjadi seperti bayi dalam kandungan,agar dirinya dapat kembali menemui Allah.
“Dan sesungguhnya kamu kembali menghadap Kami dengan sendirian seperti kamu Kami ciptakan pada awal mula kejadian. Dan pada saat itu kamu tinggalkan dibelakangmu apa yang telah Kami anugerahkan kepadamu ….” (QS Al An’am 6: 94)
“Mereka dihadapkan kepada Tuhanmu dengan berbaris, Kemudian Allah berfirman: “ Sesungguhnya kamu datang kepada Kami sebagaimana Kami telah menciptakan kamu pada awal mula kejadian, bahkan kamu menyangka bahwa Kami tiada menetapkan janji bagi kamu” (QS Al Kahfi 18:48).
Sejak bayi dalam kandungan yang bersih dan suci telah keadaan  “menemui” Allah.
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (QS- Al A’raf 7:172)
Setelah anak manusia terlahir ke dunia,  keluarga adalah lingkungan pertama yang dikenal oleh anak. Ibu dan ayah adalah manusia-manusia dewasa kepada siapa anak belajar kata-kata yang pertama. Khususnya kepada Ibu, anak belajar kasih sayang. Kepada ayah, anak belajar tanggung jawab dan kepemimpinan. Bagaimana sikap ibu dan ayah kepada anak, sikap ayah kepada ibu dan sebaliknya ibu kepada ayah, adalah pola interaksi yang pertama dipelajari anak.
Dengan telinga dan matanya, anak belajar menyerap fakta dan informasi. Semakin banyak yang terekam, itulah yang paling mudah ditirunya. Bagaikan kertas putih bersih, orang tuanya yang akan memberinya coretan dan warna yang pertama.
Betapapun sederhananya pola pendidikan dalam sebuah keluarga, tetap-lah sangat berpengaruh pada pembentukan kepribadian anak. Keluarga merupakan awal bagi pertumbuhan pola pikir dan perasaan anak.
Di dalam Islam, sistem pendidikan dalam keluarga menjadi penentu masa depan anak. Apakah anak akan menjadi shaleh, baik, santun, penyayang atau kurang ajar, kasar, bengis, semuanya tergantung pada tangan-tangan pertama yang mendidiknya, yakni orang tuanya.
Dalam sebuah hadits, menurut kesaksian Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda: “Setiap bayi dilahirkan di atas fitrah (mentauhidkan Allah), kedua orang tuanyalah yang menjadikannya seorang Yahudi, atau seorang Nasrani atau seorang Majusi.” (HR. Muslim).
Hadits ini menunjukkan bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Yang dimaksud adalah anak-anak yang baru dilahirkan memiliki fitrah yang bersih dan suci, yaitu beriman kepada Allah SWT. Orang tua memiliki peran dalam mengarahkan fitrah anak. Apakah akan tetap bersih, murni dan bersinar? Ataukah cahayanya akan memudar, bahkan hilang.
Lalu bagaimana arah tujuan pendidikan anak berdasarkan Islam
Kalau mengacu kepada al Qur’an, maka al Qur’an memberi tuntunan bagaimana  seharusnya tujuan pendidikan anak.
Allah SWT berfirman  yang artinya, “Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS al Furqaan  25: 74)
“Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami terraasuk orang-orang yang bersyukur”” (QS. Al A’raf  7: 189)
…“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah…” (QS. Ali Imran: 110)
Ini sebenarnya inti dari kurikulum pendidikan anak: (1) menjadikan anak-anak kita sebagai penyenang hati / penyejuk mata dan  orang-orang bertaqwa (2) Menjadikan anak-anak kita sebagai anak-anak yang shaleh (3) Menjadikan anak-anak kita sebagai umat terbaik yang akan mengemban dakwah Islam, dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar
Kemudian setelah anak dewasa dan mampu dengan bekal pengetahuan dan pendidikan yang didapatnya mereka akan mengarungi kehidupan dengan petunjuk Al-Qur’an dan Hadist.
Dengan kemampuan merekalah mengikuti petunjuk Al-Qur’an dan Hadist, mengupayakan posisi/derajat di sisi Allah. Sebagian mereka yang dianugerahi Allah ilmu pengetahuan mendapatkan posisi/derajat yang lebih baik sebagaimana firman Allah yang artinya,
“Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS Al Mujaadilah 58: 11)

Upaya kitamendapatkan posisi/derajat yang lebih baik di sisi Allah, salah satunya  dengan mengendalikan hawa nafsu atau mengendalikan tujuh buah lubang (pintu) sebagai sumber rasa inderawi.
Hawa nafsu yang bersarang pada jasmani kita, dapat dibagi menjadi empat kelompok, yaitu:
1. Nafsu Amarah yang bentuk perwujudannya berupa sifat marah, dengki, ujub dan syirik. Nafsu ini sumbernya di telinga  yang dapat timbul melalui hantaran pendengaran. (Dua lubang telinga, disimbolkan pintu Umar bin Khatab)
2. Nafsu Lawamah yang termanifestasikan dalam bentuk sifat rakus, tamak, loba dan malas. Nafsu ini sumbernya di mulut   yang dapat dimbul melalui hantaran pengucapan atau peengecapan.  (Satu lubang mulut disimbolkan  pintu Ali bin Thalib)
3. Nafsu Sufiyah yang termanifestasikan dalam bentuk sifat cinta, kekaguman, dan keindahan. Nafsu tersebut berada pada mata  yang akan timbul melalui hantaran penglihatan. (Dua lubang mata disimbolkan pintu Usman bin Affan)
4. Nafsu Mutmainah yang termanifestasikan dalam sifat ketenangan dan kedamaian. Nafsu tersebut berada di hidung  yang dapat timbul melalui hantaran pernafasan. (Dua lubang  hidung disimbolkan pintu Abu Bakar)
Ke empat nafsu yang termanifestaasikan dalam bentuk pendengaran, pengucapan (pengecapan), penglihatan dan pernafasan, pada akhirnya akan menimbulkan “hawa” yang berbentuk rasa jasmani yakni
  1. Rasa Pendengaran.
  2. Rasa Pengecapan ataiu pengucapan
  3. Rasa Penglihatan
  4. Rasa Pernafasan atau penciuman
Semua bentuk “rasa” tersebut bersifat ghaib atau bathin yang tidak berwujud tetapi bisa dirasakan keberadaannya. Ke-empat rasa dari nafsu tersebut dapat dimatikan maupun dihidupkan, tergantung dari bagaimana kita menutup atau membuka “pintu” keluar masuknya rasa dari sumber nafsu tersebut.
Cara menutup pintu hawa nafsu tersebut, dengan mempergunakan “alat” yang telah diberikan oleh Allah kepada setiap manusia, sesuai firman Allah yang artinya:
Carilah Akhirat dengan “alat” yang telah Kami anugerahkan kepadamu dan janganlah kamu lupakan kenikmatan dunia” (QS Al Qashash 28: 77)
Tatkala aku berada di sisi Rasulullah Saw, tiba-tiba beliau bertanya : Adakah orang asing diantara kamu ?” lantas beliau memerintahkan supaya pintu di tutup dan bersabda “Angkat tangan kamu” (HR Al Hakim)
“Tutup pintumu dan ingatlah Allah”. (HR Bukhari).
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dari Nabi saw ” Tutuplah seluruh pintu-pintu kecuali pintu Abu Bakar.”
Prosesi “menutup pintu” hawa nafsu yang ada pada kepala manusia, inilah yang dinamakan dengan “Takbiratul Ihram”,  (Takbir Larangan) yang mempunyai arti bahwa ketika kita mengangkat kedua telapak tangan kita saat mengawali sholat, kita diharamkan atau dilarang untuk melakukan aktifitas inderawi seperti mendengar, melihat, dan berbicara  kecuali bernafas (simbol pintu Abu Bakar), karena kita sedang berhadapan dengan Allah Swt (bertawajuh).  Hal ini sesuai dengan firmanNya yang artinya,
“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan”. (QS Al An’am 6: 79)
Ayat di atas merupakan pernyataan setiap kali kita sholat, bahwa kita menyadari sedang menghadapkan wajah kita kepada Allah, yang Maha Suci (bertawajuh). Kemudian dilanjutkan dengan penegasan bahwa “Sholatku, Ibadahku, Hidupku dan Matiku semata-mata hanya untuk Allah semata”. Jika keadaan ini terjadi, tak mungkin akal kita berkeliaran tak terkendali mengingat selain Allah. Kita juga tidak akan melakukan perbuatan yang melanggar tuntunan Allah.
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab dan dirikan sholat. Sesungguhya sholat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah dalam (sholat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah lain)” (QS Al Ankabut 29: 45)
Allah memberikan gelar kepada orang yang shalat tidak sesuai dengan ikrar/sumpahnya sebagai sholatnya orang munafik.
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk Sholat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan sholat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka dzikrullah (menyebut Allah)  kecuali hanya sedikit sekali” (QS An-Nisa 4: 142)
Ketika melakukan sholat, ada kalanya mengalami rasa jenuh dan tidak kusyu’, padahal dalam doa iftitah kita telah berikrar bahwa kita sedang menghadapkan wajah kita kepada Allah. Hal ini terjadi karena tidak mengetahui bagaimana cara melakukan Takbiratul Ihram dengan baik.
Nabi Muhammad Saw bersabda, bahwa “sholat itu adalah mi’rajnya orang-orang mukmin”.   Yaitu naiknya jiwa meninggalkan ikatan nafsu yang terdapat dalam fisik manusia menuju ke hadirat Allah.
Apakah kita bisa “bertemu”  dengan Allah ketika Sholat ?
Sebagian orang menanggapi hadits tersebut dengan sikap apriori dan berkeyakinan bahwa manusia tidak mungkin bertemu dengan Allah di dunia. Akibatnya kebanyakan orang tak mau pusing mengenai hakikat Sholat atau bahkan hanya menganggap sholat sebagai kewajiban yang harus dilakukan tanpa harus memikirkan fungsi dan tujuannya.
Dilain pihak ada orang yang melakukan sholat, telah mengerahkan segenap daya untuk mencapai kusyu’, akan tetapi tetap saja pikiran masih menerawang tidak karuan sehingga tanpa disadari sudah keluar dari “kesadaran sholat”. Allah telah mengingatkan hal ini, bahwa banyak orang sholat akan tetapi kesadarannya telah terseret keluar dari keadaan sholat itu sendiri, yaitu bergeser niatnya bukan lagi karena Allah.
‘…. maka celakalah orang-orang yang sholat, (yaitu) orang-orang yang lalai dalam sholatnya, dan orang-orang yang berbuat riya” (QS Al-Ma’un 107: 4-6)
Perihal itu terjadi bagi orang yang dalam sholatnya tidak menyadari bahwa ia sedang berhadapan dengan Tuhannya sehingga pikirannya melayang liar tanpa kendali. Sholat yang demikian adalah sholat yang shahun. Keadaan tersebut bertentangan dengan firman Allah yang menghendaki sholat sebagai jalan untuk mengingat Allah.
“… maka sembahlah Aku dan dirikanlah sholat untuk mengingat Aku” (QS Thaha 20: 14)
“… dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai”(QS Al A’raaf 7: 205)
Inilah rangkaian ayat yang menunjukkan kepada masalah kedalaman ibadah sholat, yaitu untuk mengingat Allah, bukan sekedar membungkuk, bersujud dan komat-kamit tiada sadar dengan yang dilakukan. Sholat yang hanya komat-kamit inilah yang banyak dilakukan orang, sehingga sampai sekarang banyak yang tak mampu mencerminkan watak mushallin yang sebenarnya, yaitu tercegah dari perbuatan keji dan mungkar.
Jangan engkau mendekati sholat sedang kamu dalam keadaan mabuk (tidak sadar)… “ (QS An nisa 4: 43)
Nahyi (larangan) ditujukan kepada mushalilin agar tidak melakukan sholat jika masih belum sadar bahwa dirinya sedang berhadapan dengan Sang Khaliq.  Larangan itu merupakan syarat mutlak dari Allah. Coba kita renungkan, untuk mendekati saja kita dilarang, apalagi untuk melakukannya. Jika tetap dilakukan maka Allah akan murka, yang ditunjukkan dengan perkataan yaitu “maka celakalah orang yang sholat,  (yaitu) orang-orang yang lalai dalam sholatnya dan orang-orang yang berbuat riya” (QS Al-ma’un 107: 4-6)”
Allah juga memberikan pujian kepada orang-orang mukmin yang khusyu dalam sholatnya
“Sungguh beruntunglah mereka yang beriman yaitu orang-orang yang khusyu’ dalam sholatnya” (QS Al Mukminun 23: 1-2)
Al-Quran menyebutkan penyebab dicabutnya ilmu khusyu’, yaitu karena memperturutkan hawa nafsu dan melalaikan sholatnya. Dalam Al-Qur’an Allah juga telah menunjukkan jalan bagi yang mendapatkan kekhusyu’an
Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS Al Baqarah 2: 45-46)
Semoga kita dapat merasakan menemui Allah,  kedekatan dengan Allah, mengetahui posisi/derajat kita di sisi Allah.
Semakin kita dekat dengan Allah maka kita akan semakin sibuk dengan Allah, semakin jauh kita dengan Allah maka kita akan semakin sibuk dengan diri kita sendiri.
Semakin kita dekat dengan Allah maka kita yakin bahwa segala keperluan kita didunia , Allah akan mencukupkannya, sedangkan semakin jauh kita dengan Allah maka kita akan “kepayahan” dengan upaya sendiri memenuhi segala keperluan kita di dunia.
Orang yang dekat dengan Allah dikenal sebagai orang-orang Arif.
Orang-orang Arif adalah orang yang menyibukkan dirinya dengan Allah dan hanya melakukan perbuatan jika Allah yang berkenan bukan karena keinginan mereka sendiri.
Mereka paham bahwa Allah memberi mereka sesuatu yang lebih daripada apa yang mereka berikan untuk diri mereka sendiri.
Jalan untuk dapat selalu menyibukkan diri dengan Allah atau mengetahui apa yang Allah berkenan adalah dengan “mengenal” Allah, yakni yang kita kenal marifatullah.  Dengan mengenal Allah (marifatullah) maka kita bisa memahami apa yang Allah berkenan.
Ilmu untuk mempelajari  tentang marifatullah itulah Ilmu Tasawuf.
Untuk mencapai pemahaman orang-orang arif tidak cukup dengan metode pemahaman secara harfiah atau tekstual akan tetapi melalui metode pemahaman yang lebih dalam / maknawi atau dikenal “mengambil pelajaran” dengan hikmah.
Sesuai dengan firman Allah,
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (Al-Baqarah – 269)
Wassalam.
Ditulis dari berbagai sumber, sebagian besar diambil dari buku Abu Irsyad, Menyingkap Rahasia Shalat & Puasa sebagai sarana menemui Allah, Pustaka Aladdin

0 komentar:

Posting Komentar