Senin, 17 Februari 2014
Sikap Pasif Kaum Muslimin Dan Problematikanya
Kitab Tauhid 1
oleh: Dr.Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al fauzan
Di
antara sikap wala' dan mahabbah karena Allah antar-umat Islam adalah
seorang muslim harus mempedulikan urusan masyarakatnya secara umum dan
mempedulikan urusan saudaranya sesama muslim secara khusus.
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
"Perumpamaan
orang-orang mukmin dalam kecintaan, kasih sa-yang dan kelembutannya
adalah bagaikan satu jasad. Manakala suatu anggota tubuhnya mengadu
kesakitan, maka sekujur tubuhnya itu menanggungnya, tidak tidur malam
dan demam." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Ini
adalah gambaran masyarakat muslim. Adapun gambaran antar-pribadi muslim
adalah seperti yang disabdakan oleh baginda Rasul Shallallaahu alaihi
wa Salam :
"Orang mukmin satu dengan mukmin lainnya bagaikan satu
bangunan, yang sebagian menguatkan sebagian yang lain. Dan beliau
merajutkan antara jari-jemarinya." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Maka
kewajiban kaum muslimin, baik secara individu maupun kelompok adalah
memperhatikan berbagai problema yang ada di antara mereka, dan problema
yang ada antara mereka dengan musuh-musuh mereka, sehingga mereka mau
menjalin ukhuwah Islamiyah. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "...
sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara
sesamamu ..." (Al-Anfal: 1)
"Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antar-kedua saudaramu ..." (Al-Hujurat: 10)
Dan
hendaknya mereka memperhatikan jihad melawan musuh-musuh mereka. Allah
Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "Hai orang-orang yang beriman,
perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah
mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah
beserta orang-orang yang bertakwa." (At-Taubah: 123)
Maksudnya
ialah mempersiapkan diri sebelum berjihad dengan menyelesaikan berbagai
problematika yang mengganjal, menyatukan barisan, memperbaiki kondisi
dan mempersiapkan segala peralatan. Maka barangsiapa yang tidak
mempedulikan problematika kaum muslimin, bahkan bersikap pasif, maka hal
itu menunjukkan lemahnya iman, atau juga berarti bahwa dia itu munafik
yang memberikan wala' kepada kuffar.
Allah
Subhannahu wa Ta'ala berfirman tentang orang-orang munafik: "(Yaitu)
orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada
dirimu (hai orang-orang mu'min). Maka jika terjadi bagimu kemenangan
dari Allah mereka berkata: 'Bukan-kah kami (turut berperang) beserta
kamu?' Dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan)
mereka berkata: 'Bukankah kami turut memenangkanmu, dan membela kamu
dari orang-orang mukmin?'." (An-Nisa': 141)
Allah
Subhannahu wa Ta'ala menjelaskan bahwa sikap kaum munafik terhadap
per-masalahan umat Islam adalah pasif, menunggu dan menonton siapa yang
menang akan menjadi kawan. Adapun mukmin yang benar selalu memiliki
karakter nasihat (kesetiaan), baik dalam ucapannya, amalnya dan
kiprahnya dalam masya-rakatnya.
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda:
"Agama
itu adalah nasihat (kesetiaan)." Beliau mengucapkan tiga kali. Kami
bertanya, "Untuk siapa ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Untuk Allah,
untuk RasulNya, untuk para pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin pada
umumnya." (HR. Muslim)
Demikianlah
mudah-mudahan Allah Subhannahu wa Ta'ala memperbaiki kondisi umat Islam
dengan meluruskan aqidah mereka, memperbaiki bangsa dan para pemimpin
mereka, dan semoga menyatukan hati mereka serta membulatkan tekad
mereka. Semoga shalawat serta salam tetap tercurah untuk Nabi kita
Muhammad Shallallaahu alaihi wa Salam beserta keluarga dan sahabatnya.
Amin
Hukum Meminta Bantuan Kepada Orang-Orang Kafir
Kitab Tauhid 1
oleh: Dr.Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al fauzan
A. Dalam bidang bisnis atau pekerjaan
Allah
Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di
luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan)
kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah
nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disem-bunyikan oleh hati
mereka lebih besar lagi." (Ali Imran: 118)
Imam Baghawi dalam
tafsirnya menjelaskan, "Janganlah engkau menjadikan orang-orang non
muslim sebagai wali, orang kepercayaan atau orang-orang pilihan, karena
mereka tidak segan-segan melakukan apa-apa yang membahayakanmu."
Syaikh Ibnu Taimiyah
mengatakan, "Para peneliti telah mengetahui bahwa orang-orang ahli
dzimmah dari Yahudi dan Nashrani mengirim berita kepada saudara-saudara
seagamanya tentang rahasia-rahasia orang Islam. Di antara bait-bait yang
terkenal adalah: "Setiap permusuhan dapat diharapkan kasih sayangnya,
kecuali permusuhan orang yang memusuhi karena agama."
Karena
itulah mereka dilarang memegang jabatan yang membawahi orang-orang
Islam dalam bidang pekerjaan, bahkan mempekerjakan orang Islam yang
kemampuannya masih di bawah orang kafir itu lebih baik dan lebih
bermanfaat bagi umat Islam dalam agama dan dunia mereka. Sedikit tapi dari yang halal diberkati Allah, sedangkan banyak tapi dari yang haram dimurkai Allah."
Dari keterangan tersebut dapat disimpulkan:
1.
Tidak boleh mengangkat orang kafir untuk kedudukan yang membawahi
orang-orang Islam, atau yang memungkinkan dia mengetahui rahasia-rahasia
umat Islam; misalnya para menteri atau para penasihat, atau juga diangkat menjadi pegawai pemerintahan di daerah negara Islam.
Karena
Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "... janganlah kamu ambil menjadi
teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka
tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu." (Ali Imran: 118)
2.
Diperbolehkan mengupah orang-orang kafir untuk melakukan
pekerjaan-pekerjaan sampingan yang tidak menimbulkan suatu bahaya dalam
politik negara Islam, umpamanya menjadi guide (penunjuk jalan),
pemborong konstruksi bangunan, proyek perbaikan jalan, dan sejenisnya
dengan syarat tidak ada orang Islam yang mampu untuk itu.
Karena
baginda Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam dan Abu Bakar Radhiallaahu
anhu pernah mengupah seorang laki-laki musyrik dari Bani Ad-Diil sebagai
penunjuk jalan ketika berhijrah ke Madinah. (HR. Al-Bukhari)
B. Dalam urusan perang
Dalam
masalah ini terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama. Dan yang
benar adalah diperbolehkan, apabila diperlukan dalam keadaan darurat,
juga bila orang yang dimintai pertolongan dari mereka itu dapat
dipercaya dalam masalah jihad.
Ibnul Qayyim berkata
tentang manfaat perjanjian Hudaibiyah: "Di antaranya, bahwa meminta
bantuan kepada orang musyrik yang dapat dipercaya dalam hal jihad adalah
diperbolehkan ketika benar-benar diperlukan, dan pada orang (musyrik)
itu juga terdapat maslahah yaitu dia dekat dan mudah untuk bercampur
dengan musuh dan dapat mengambil kabar dan rahasia mereka.
Juga
diperbolehkan ketika dalam keadaan darurat, Imam Zuhry meriwayatkan,
bahwasanya Rasulullah SAW meminta pertolongan kepada orang-orang Yahudi
dalam perang Khaibar (tahun 7 H), dan Sofwan bin Umaiyah ikut serta
dalam perang Hunain padahal ia pada saat itu musyrik.
Termasuk
darurat misalnya jumlah orang-orang kafir lebih banyak dan sangat
ditakutkan, dengan syarat dia berpandangan baik terhadap kaum muslimin.
Adapun jika tidak diperlukan maka tidak diperbolehkan meminta bantuan
kepada mereka, karena orang kafir itu sangatlah dimungkinkan berkhianat
dan bisa jadi menjadi senjata makan tuan, oleh karena buruknya hati
mereka.
Tapi yang tampak dari ucapan Syaikh Ibnu Taimiyah adalah boleh meminta pertolongan kepada mereka secara mutlak.
Bentuk-Bentuk Taqlid Kepada Kuffar Yang Buruk
Kitab Tauhid 1
oleh: Dr.Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al fauzan
Yaitu
melampaui batas dalam menyenangi dan menggandrungi perkara-perkara
sepele yang tidak banyak artinya, dan menggelutinya sampai lupa kepada
Allah, lalai dari ketaatan kepadaNya serta lalai dan meninggalkan amal
usaha yang berguna bagi dunia dan agama-nya.
Mereka
melakukan hal ini sebagai akibat dari kekosongan hidup yang dialaminya;
hidup tanpa aqidah, tanpa ibadah dan tanpa kebajikan yang ditabungkan
untuk akhirat. Mereka melakukan karena terpedaya dan terkecoh oleh
bangsa-bangsa lain yang terus-menerus mengupayakan untuk menjauhkan
mereka dari agama dan akhirat mereka.
Apapun
yang memalingkan dari agama dan ibadah adalah haram hukumnya, sekali
pun bernilai materi yang tinggi seperti harta kekayaan. Allah telah
mengharamkan perbuatan menyibukkan diri dengan materi yang jauh dari
akhirat. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman:"Hai orang-orang yang
beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah." (Al-Munafiqun: 9)
Maka bagaimanakah dengan hal-hal yang tidak bernilai, tidak berharga dan tidak berfaedah?
Di antara hal-hal ini adalah sebagai berikut:
1.
Apa yang mereka sebut sebagai dunia seni; seni suara, seni musik, seni
tari, seni drama, dunia pentas dan panggung serta gedung-gedung bioskop
yang banyak didatangi oleh orang-orang yang bingung, jauh dari jalan
kebenaran dan jalan yang serius dalam kehidupan.
2.
Menggeluti dunia gambar, fotografi, lukisan dan pembuatan patung-patung
dan lain sebagainya yang mereka sebut-sebut sebagai seni yang indah.
3.
Banyak di antara pemuda yang hidupnya mati-matian demi menggeluti
beberapa cabang olah raga, sampai ia lupa kepada Allah, lupa ketaatan,
menelantarkan shalat dan lupa kewajiban-kewajiban lain dalam rumah
maupun sekolah. Semestinya yang lebih pantas bagi mereka adalah
mengarahkan perhatian pada apa yang baik bagi umat dan tanah airnya
serta berjuang untuk mencapai kemaslahatan dunia dan akhirat.
Di
antara hal-hal tersebut di atas ada yang diharamkan dalam agama, ada
pula yang dibolehkan sebatas tidak mengalahkan apa yang lebih bermanfaat
daripadanya. Apalagi umat Islam dewasa ini sedang menghadapi berbagai
macam tantangan dari para musuhnya. Tentu yang lebih utama adalah
menghemat waktu dan kekuatan untuk menghadapi tantangan-tantangan ini,
untuk memadamkan atau memperkecil pengaruh dan bahayanya. Orang-orang
Islam sebenarnya tidak mempunyai waktu luang untuk bersantai-ria dengan
segala macam hiburan itu. Dan Allah-lah tempat kita meminta pertolongan.
Mengutamakan Tinggal Dan Bekerja Di Negara Kafir
Kitab Tauhid 1
oleh: Dr.Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al fauzan
Bekerjanya
seorang muslim untuk mengabdi atau melayani orang kafir adalah haram,
karena hal itu berarti penguasaan orang kafir atas orang muslim serta
penghinaannya. Iqamah atau bertempat tinggal terus-menerus di antara
orang-orang kafir juga diharamkan.
Karena
itu Allah mewajibkan hijrah dari negara kafir menuju negara muslim dan
mengancam yang tidak mau berhijrah tanpa uzdur syar'i. Juga mengharamkan
seorang muslim bepergian ke negara kafir kecuali karena alasan syar'i
dan mampu menunjukkan ke-Islamannya, kemudian jika selesai tujuannya
maka ia harus segera kembali ke negara Islam.
Adapun
pekerjaan seorang muslim kepada orang kafir yang tidak bersifat
melayani seperti menjahit atau membangun tembok dan lain sebagainya dari
setiap pekerjaan yang ada dalam tanggungannya, maka hal ini
diperbolehkan, karena tidak ada unsur penghinaan.
Hal ini berdasarkan riwayat Ali Radhiallaahu anhu, ia berkata:
"Saya
bekerja untuk seorang perempuan Yahudi dengan upah setiap timba air
ditukar dengan sebutir kurma. Kemudian saya ceritakan hal itu kepada
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam dan aku bawakan beberapa butir
kurma lalu beliau pun memakan sebagian kurma terse-but bersama saya." (HR. Al-Bukhari)
"Dan
Khabbab bekerja untuk Al-'Ash bin Wa'il di Makkah sedang Nabi
Shallallaahu alaihi wa Salam mengetahuinya dan beliau pun
menyetujuinya." (HR. Al-Bukhari)
Hal
ini menunjukkan dibolehkannya pekerjaan serupa ini, karena ia merupakan
akad tukar-menukar seperti halnya jual beli, tidak mengandung
penghinaan terhadap muslim, tidak menjadikannya sebagai abdi dan tidak
bertentangan dengan sifat bara'-nya dari mereka dan dari agama mereka.
Adapun
yang mengutamakan bekerja pada orang-orang kafir dan bertempat tinggal
(menetap) bersama mereka daripada bekerja dan ber-iqamah di
tengah-tengah kaum muslimin, ia memandang kebolehan wala' kepada mereka
dan ridha terhadap agama mereka maka tidak syak lagi bahwa hal itu
adalah murtad, keluar dari Islam.
Apabila
ia melakukan hal yang demikian itu karena tamak terhadap dunia atau
kekayaan yang melimpah di negara mereka dengan perasaan benci kepada
agama mereka dan tetap menjaga agamanya, maka hal itu diharamkan dan
dikhawatirkan membawa dampak buruk terhadap dirinya, yang akhirnya
menjadikannya ridha dengan agama mereka.
Menyambut Dan Ikut rayakan Hari Raya Atau Pesta Orang Kafir Serta Berbelasungkawa dlm Hari Duka Mereka
Kitab Tauhid 1
oleh: Dr.Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al fauzan
A. Hukum Menyambut dan Bergembira dengan Hari Raya Mereka
Sesungguhnya
di antara konsekuensi terpenting dari sikap membenci orang-orang kafir
ialah menjauhi syi'ar dan ibadah mereka. Sedangkan syi'ar mereka yang
paling besar adalah hari raya mereka, baik yang berkaitan dengan tempat
maupun waktu. Maka orang Islam berkewajiban menjauhi dan meninggalkannya.
Ada
seorang lelaki yang datang kepada baginda Rasul Shallallaahu alaihi wa
Salam untuk meminta fatwa karena ia telah bernadzar memotong hewan di
Buwanah (nama sebuah tempat), maka Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam
menyatakan kepadanya; "Apakah di sana ada berhala dari berhala-hala
orang Jahiliyah yang disembah?" Dia menjawab, "Tidak". Beliau bertanya,
"Apakah di sana tempat dilaksanakannya hari raya dari hari-hari raya
mereka?" Dia menjawab, "Tidak". Maka Nabi bersabda, "Tepatilah nadzarmu,
karena sesungguhnya tidak boleh melaksanakan nadzar dalam maksiat
terhadap Allah dalam hal yang tidak dimiliki oleh anak Adam." (HR. Abu Daud dengan sanad yang sesuai dengan syarat Al-Bukhari dan Muslim)
Hadits
di atas menunjukkan, tidak boleh menyembelih untuk Allah di tempat yang
digunakan menyembelih untuk selain Allah; atau di tempat orang-orang
kafir merayakan pesta atau hari raya. Sebab hal itu berarti mengikuti
mereka dan menolong mereka di dalam mengagungkan syi'ar-syi'ar mereka
atau menjadi wasilah yang menghantar-kan kepada syirik.
Begitupula
ikut merayakan hari raya (hari besar) mereka mengandung wala' kepada
mereka dan mendukung mereka dalam menghidupkan syi'ar-syi'ar mereka. Di
antara yang dilarang adalah menampakkan rasa gembira pada hari raya
mereka, meliburkan pekerjaan (sekolah), memasak makan-makanan sehubungan
dengan hari raya mereka.
Dan
di antaranya lagi ialah mempergunakan kalender Masehi, karena hal itu
menghidupkan kenangan terhadap hari raya Natal bagi mereka. Karena itu
para sahabat menggunakan kalender Hijriyah sebagai gantinya.
Syaikh Ibnu Taimiyah berkata, "Ikut merayakan hari-hari besar mereka tidak diperbolehkan karena dua alasan: Pertama:
Bersifat umum, seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa hal
tersebut berarti mengikuti Ahli Kitab, yang tidak ada dalam ajaran kita
dan tidak ada dalam kebiasaan salaf. Mengikutinya berarti mengandung
kerusakan dan meninggalkannya terdapat maslahat menyelisihi mereka.
Bahkan
seandainya kesamaan yang kita lakukan merupakan sesuatu ketepatan
semata, bukan karena mengambilnya dari mereka, tentu yang disyari'atkan
adalah menyelisihinya telah diisyaratkan di atas. Maka barangsiapa
mengikuti mereka, dia telah kehilangan maslahat ini sekali pun tidak
melakukan mafsadah (kerusakan) apa pun, terlebih lagi kalau dia
melakukannya.
Kedua:
karena hal itu adalah bid'ah yang diada-adakan. Alasan ini jelas
menunjukkan bahwa sangat dibenci hukumnya menyerupai mereka dalam hal
itu." Beliau juga mengatakan, "Tidak halal bagi kaum muslimin
ber-tasyabbuh (menyerupai) mereka dalam hal-hal yang khusus bagi hari
raya mereka; seperti makanan, pakaian, mandi, menyalakan lilin,
meliburkan kebiasaan seperti bekerja dan beribadah atau pun yang
lain-nya.
Tidak
halal mengadakan kenduri atau memberi hadiah atau menjual barang-barang
yang diperlukan untuk hari raya tersebut. Tidak halal mengizinkan
anak-anak atau pun yang lainnya melakukan permainan pada hari itu, juga
tidak boleh menampakkan perhiasan.
Ringkasnya,
tidak boleh melakukan sesuatu yang menjadi ciri khas dari syi'ar mereka
pada hari itu. Hari raya mereka bagi umat Islam haruslah seperti
hari-hari biasanya, tidak ada hal istimewa atau khusus yang dilakukan
umat Islam. Adapun jika dilakukan hal-hal tersebut oleh umat Islam
dengan sengaja maka berbagai golongan dari kaum salaf dan khalaf
menganggapnya makruh.
Sedangkan
pengkhususan seperti yang tersebut di atas maka tidak ada perbedaan di
antara ulama, bahkan sebagian ulama menganggap kafir orang yang
melakukan hal tersebut, karena dia telah mengagungkan syi'ar-syi'ar
kekufuran.
Segolongan
ulama mengatakan, "Siapa yang menyembelih kambing pada hari raya mereka
(demi merayakannya), maka seolah-olah dia menyembelih babi." Abdullah bin Amr bin Ash berkata,
"Siapa yang mengikuti negara-negara 'ajam (non-Islam) dan melakukan
perayaan Nairuz dan Mihrajan serta menyerupai mereka sampai ia meninggal
dunia dan dia belum bertobat, maka dia akan dikumpulkan bersama mereka
pada Hari Kiamat."
B.
Hukum Ikut Merayakan Pesta, Walimah, Hari Bahagia atau Hari Duka Mereka
Dengan Hal-hal yang Mubah serta Ber-ta'ziyah pada Musibah Mereka.
Tidak
boleh memberi ucapan selamat (tahni'ah) atau ucapan bela-sungkawa
(ta'ziyah) kepada mereka, karena hal itu berarti memberikan wala' dan
mahabbah kepada mereka. Juga dikarenakan hal tersebut mengandung arti
pengagungan (penghormatan) terhadap mereka.
Maka
hal itu diharamkan berdasarkan larangan-larangan ini. Sebagaimana haram
mengucapkan salam terlebih dahulu atau membuka jalan bagi mereka. Ibnul Qayyim berkata,
"Hendaklah berhati-hati jangan sampai ter-jerumus sebagaimana
orang-orang bodoh, ke dalam ucapan-ucapan yang menunjukkan ridha mereka
terhadap agamanya. Seperti ucapan mereka, "Semoga Allah membahagiakan
kamu dengan agamamu", atau "memberkatimu dalam agamamu", atau berkata,
"Semoga Allah memuliakanmu".
Kecuali
jika berkata, "Semoga Allah memuliakanmu dengan Islam", atau yang
senada dengan itu. Itu semua tahni'ah dengan perkara-perkara umum.
Tetapi jika tahni'ah dengan syi'ar-syi'ar kufur yang khusus milik mereka
seperti hari raya dan puasa mereka, dengan mengatakan, "Selamat hari
raya Natal" umpamanya atau "Berbahagialah dengan hari raya ini" atau
yang senada dengan itu, maka jika yang mengucapkannya selamat dari
kekufuran, dia tidak lepas dari maksiat dan keharaman.
Sebab
itu sama halnya dengan memberikan ucapan selamat terhadap sujud mereka
kepada salib; bah-kan di sisi Allah hal itu lebih dimurkai daripada
memberikan selamat atas perbuatan meminum khamr, membunuh orang atau
berzina atau yang sebangsanya.
Banyak
sekali orang yang terjerumus dalam hal ini tanpa menyadari
keburukannya. Maka barangsiapa memberikan ucapan selamat kepada
seseorang yang melakukan bid'ah, maksiat atau pun kekufuran maka dia
telah menantang murka Allah. Para ulama wira'i (sangat menjauhi yang
makruh, apalagi yang haram), mereka senantiasa menghindari tahni'ah
kepada para pemimpin zhalim atau kepada orang-orang dungu yang diangkat
sebagai hakim, qadhi, dosen atau mufti; demi untuk menghin-dari murka
Allah dan laknatNya.
Dari
uraian tersebut jelaslah, memberi tahni'ah kepada orang-orang kafir
atas hal-hal yang diperbolehkan (mubah) adalah dilarang jika mengandung
makna yang menunjukkan rela kepada agama mereka. Adapun memberikan
tahni'ah atas hari-hari raya mereka atau syi'ar-syi'ar mereka adalah
haram hukumnya dan sangat dikhawatirkan pelakunya jatuh pada kekufuran.
Beberapa Contoh Tentang Setia Dan Memusuhi Karena Allah
Kitab Tauhid 1
oleh: Dr.Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al fauzan
Beberapa Contoh Tentang Setia Dan Memusuhi Karena Allah
1. Sikap Nabi Ibrahim Alaihissalam dan pengikutnya terhadap kaumnya yang kafir.
Allah
Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya telah ada suri tauladan
yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia;
ketika mereka berkata kepada kaum mereka: 'Sesungguhnya kami berlepas
diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari
(kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan
kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja'."
(Al-Mutahanah: 4)
Imam Ibnu Katsir
berkata, "Allah Subhannahu wa Ta'ala berkata kepada hamba-hambaNya yang
mukmin yang diperintahkanNya untuk memerangi, memusuhi dan menjauhi
orang-orang kafir, "Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik
bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia", maksudnya
adalah pengikut-pengikutnya yang mukmin. "Ketika mereka berkata kepada
kaum mereka, 'Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa
yang kamu sembah selain Allah'," maksudnya, kami melepaskan diri dari
kalian dan dari tuhan-tuhan yang kalian sembah selain Allah.
"Kami
ingkari (kekafiran) mu", maksudnya dien-mu dan jalanmu. "Dan telah
nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat
selama-lamanya", maksudnya telah disyari'atkan permusuhan dan kebencian
-mulai dari sekarang- antara kami dan kalian selama kalian tetap kafir.
Maka selamanya kami berlepas diri dari kalian serta membenci kalian.
"Sampai
kamu beriman kepada Allah saja", maksudnya sampai kalian mentauhidkan
Allah semata, tanpa syirik dan membuang semua tuhan yang kalian sembah
bersamaNya. Maka ayat tersebut menunjukkan bahwa al-wala' wal bara'
ada-lah ajaran Nabi Ibrahim, yang kita diperintahkan untuk mengikutinya.
Allah
menceritakan hal tersebut agar kita mencontohnya. Dia berfirman, "Telah
terdapat bagimu teladan yang baik." Dan pada penutup ayat, Allah
Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim
dan umatnya) ada tela-dan yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang yang
mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) Hari Kemudian. Dan
barangsiapa yang berpaling, maka sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang
Mahakaya lagi terpuji." (Al-Mumtahanah: 6)
2. Sikap orang-orang Anshar Terhadap Saudara-sauda-ranya dari Kaum Muhajirin.
Allah
Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "Dan orang-orang yang telah menempati
Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka
(Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan
mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang
diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan
(orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka
memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari
kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung." (Al-Hasyr: 9)
Maksudnya,
orang-orang yang tinggal di Darul Hijrah, yaitu Madinah, sebelum kaum
Muhajirin, dan kebanyakan mereka beriman sebelum Muhajirin, mereka
mencintai dan menyayangi orang-orang yang berhijrah kepada mereka,
karena kemuliaan dan keagungan jiwa mereka, dengan membagikan harta
benda mereka tanpa merasa iri terhadap keutamaan yang diberikan kepada
Muhajirin daripada diri mereka sendiri, sekalipun mereka sendiri juga
sangat membutuhkan. Ini adalah puncak itsar (mengutamakan saudara) dan
wala' kepada Allah terhadap para penolong Rasulullah Shallallaahu alaihi
wa Salam.
3. Sikap Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salul terhadap kemunafikan ayahnya yang berkata dalam salah satu pertempuran.
"Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah daripadanya." (Al-Munafiqun: 8)
Dia
menginginkan al-a'azzu (orang yang kuat) adalah dirinya sedangkan
al-adzallu (yang lemah) adalah Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam .
Ia mengancam akan mengusir Rasulullah dari Madinah. Maka ketika hal itu
didengar oleh anaknya, Abdullah, seorang mukmin yang taat dan jujur,
dan dia mendengar bahwa Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam ingin
membunuh ayahnya yang mengucapkan kata-kata penghinaan tersebut, juga
kata-kata lainnya, maka Abdullah menemui Rasulullah Shallallaahu alaihi
wa Salam dan berkata, 'Wahai Rasulullah, saya mendengar bahwa anda ingin
membunuh Abdullah bin Ubay, ayah saya. Jika anda benar-benar ingin
melakukannya, maka saya bersedia membawa kepalanya kepada anda". Maka
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda, "Bahkan kita akan
bergaul dan bersikap baik kepadanya selama dia tinggal bersama kita."
Maka
tatkala Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam dan para sahabat
kembali pulang ke Madinah, Abdullah bin Abdullah berdiri menghadang di
pintu kota Madinah dengan menghunus pedangnya. Orang-orang pun berjalan
melewatinya. Maka ketika ayahnya lewat, ia berkata kepada ayahnya,
"Mundur!" Ayahnya bertanya keheranan, "Ada apa ini, jangan kurang ajar
kamu!" Maka ia menjawab, "Demi Allah, jangan melewati tempat ini sebelum
Rasulullah mengizinkanmu, karena beliau adalah al-aziz (yang mulia) dan
engkau adalah adz-dzalil (yang hina)."
Maka
ketika Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam datang padahal beliau
berada di pasukan bagian belakang, Abdullah bin Ubay mengadukan anaknya
kepada beliau. Anaknya, Abdullah berkata, "Demi Allah wahai Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Salam , dia tidak boleh memasuki kota sebelum
Anda mengizinkannya." Maka Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam pun
mengizinkannya, lalu Abdullah berkata, "Karena Rasulullah Shallallaahu
alaihi wa Salam mengizinkan maka lewatlah sekarang."
Menyayangi Dan Memusuhi Para Ahli Maksiat
Kitab Tauhid 1
oleh: Dr.Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al fauzan
Menyayangi Dan Memusuhi Para Ahli Maksiat
Penjelasan di atas adalah tentang pemberian wala' kepada sesama mukmin sejati dan permusuhan kepada kafir sejati. Adapun golongan ketiga yaitu orang mukmin yang banyak melakukan dosa besar, pada dirinya terdapat iman dan kefasikan, atau iman dan kufur kecil yang tidak sampai pada tingkat murtad. Bagaimana hukumnya dalam hal ini?! Jawabannya adalah bahwa orang itu terdapat hak muwalah (diberi wala') dan mu'adah (dimusuhi). Dia disayangi karena imannya, dan dimusuhi karena kemaksiatannya dengan tetap memberikan nasihat untuknya; memerintahnya pada kebaikan, melarangnya dari kemung-karan dan mengucilkannya bilamana pengucilan itu memang membu-atnya jera dan malu.
Syaikh Ibnu Taimiyah berkata, "Apabila berkumpul pada diri seseorang kebaikan dan kejahatan, ketakutan dan kemaksiatan, atau sunnah dan bid'ah, maka dia berhak mendapatkan permusuhan dan siksa sesuai dengan kadar kejahatan yang ada padanya. Maka berkumpullah pada diri orang tersebut hal-hal yang mewajibkan pemuliaan dan mengharuskan penghinaan.
Maka dia berhak mendapatkan ini dan itu. Seperti pencuri miskin; dia dipotong tangannya karena mencuri, lalu ia diberi harta dari baitul mal yang bisa mencukupinya. Inilah hukum asal yang disepakati oleh Ahlus Sunnah wal Jama'ah, berbeda dengan Khawarij, Mu'tazilah dan orang-orang yang sepaham dengan mereka. Mereka hanya mengelompokkan manusia dalam dua golongan: orang-orang yang dapat pahala saja atau mendapat siksa saja." Ini sangatlah jelas bagi masalah yang sangat penting ini.
Buah Tarbiyah Tauhid Asma' Wa Sifat Pada Diri Individu Dan Masyarakat
Kitab Tauhid 1
oleh: Dr.Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al fauzan
Sesungguhnya
iman dengan asma' dan sifat Allah sangatlah berpengaruh baik bagi
perilaku individu maupun jamaah dalam mu'amalah-nya dengan Allah dan
dengan makhluk.
A. Pengaruhnya Dalam Bermu'amalah Dengan Allah
Jika
seseorang mengetahui asma' dan sifatNya, juga menge-tahui madlul (arti
dan maksud)nya secara benar, maka yang demikian itu akan
memperkenalkannya dengan Rabb-nya beserta keagungan-Nya. Sehingga ia
tunduk dan khusyu' kepadaNya, takut dan mengharapkanNya, tunduk dan
memohon kepadaNya serta bertawassul kepadaNya dengan nama-nama dan
sifat-sifatNya.
Sebagaimana
Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "Hanya milik Allah asma'ul husna,
maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma'ul husna itu ..." (Al-A'raf: 180)
Jika
ia mengetahui bahwa Rabb-nya sangat dahsyat adzabNya, Dia bisa murka,
Mahakuat, Mahaperkasa dan Mahakuasa melakukan apa saja yang Dia
kehendaki, Dia Maha Mendengar, Maha Melihat dan Maha Mengetahui segala
sesuatu yang tidak satu pun terlepas dari ilmuNya, maka hal itu akan
membuatnya ber-muraqabah (merasa diawasai Allah), takut dan menjauhi
maksiat terhadapNya.
Jika
ia mengetahui Allah adalah Maha Pengampun, Maha Penyayang, Mahakaya,
Mahamulia, senang pada taubat hambaNya, mengampuni semua dosa dan
menerima taubat orang yang bertaubat, maka hal itu akan membawanya
kepada taubat dan istighfar, juga membuatnya bersangka baik kepada
Rabb-nya dan tidak akan berputus asa dari rahmatNya.
Jika
ia mengetahui Allah adalah yang memberi nikmat, yang menganugerahi, dan
yang hanya di tanganNya segala kebaikan, dan Dia Mahakuasa atas
segalanya, Dia yang memberi rizki, membalas dengan kebaikan, dan
memuliakan hambaNya yang mukmin, maka hal itu akan membawanya pada
mahabbah kepada Allah dan ber-taqarrub kepadaNya serta mencari apa yang
ada di sisiNya dan akan berbuat baik kepada sesamanya.
B. Pengaruhnya Dalam Bermu'alah Dengan Makhluk
Jika
seseorang mengetahui bahwa Allah adalah Hakim yang Mahaadil, tidak
menyukai kezhaliman, kecurangan, dosa dan permu-suhan; dan Dia Maha
Membalas dendam terhadap orang-orang zhalim atau orang-orang yang
melampaui batas atau orang-orang yang ber-buat kerusakan, maka ia pasti
akan menahan diri dari kezhaliman, dosa, kerusakan dan khianat.
Dan
dia akan berbuat adil atau obyektif sekali pun terhadap dirinya
sendiri, juga akan bergaul dengan teman-temannya dengan akhlak yang
baik. Dan masih banyak lagi pengaruh-pengaruh terpuji lainnya karena
mengetahui nama-nama Allah dan beriman kepadaNya.
Demikianlah,
Allah memperkenalkan DiriNya dengan nama-nama itu agar hambaNya
mengenalNya dan memohon kepadaNya sesuai dengan isi kandungannya dan
agar berbuat baik kepada hamba-Nya yang lain. Allah Subhannahu wa Ta'ala
berfirman: "... dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berbuat baik." (Al-Baqarah: 195)
Dan
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: "Sayangilah orang
yang ada di bumi, maka engkau akan disa-yangi oleh yang ada di langit."
Wabillahit-taufiq wal hidayah.
Asma' Husna Dan Sifat Kesempurnaan, Serta Pendapat Golongan Sesat Berikut Bantahannya
Kitab Tauhid 1
oleh: Dr.Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al fauzan
Pertama: Asma' Husna
Allah
Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "Hanya milik Allah asma'ul husna, maka
bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma'ul husna itu dan
tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam
(menyebut) nama-namaNya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa
yang telah mereka kerjakan." (Al-A'raf: 180)
Ayat yang agung ini menunjukkan hal-hal berikut:
1.
Menetapkan nama-nama (asma') untuk Allah Subhannahu wa Ta'ala , maka
siapa yang menafikannya berarti ia telah menafikan apa yang telah
ditetapkan Allah dan juga berarti dia telah menentang Allah Subhannahu
wa Ta'ala .
2. Bahwasanya asma'
Allah Subhannahu wa Ta'ala semuanya adalah husna. Maksudnya sangat baik.
Karena ia mengandung makna dan sifat-sifat yang sempurna, tanpa
kekurangan dan cacat sedikit pun. Ia bukanlah sekedar nama-nama kosong
yang tak bermakna atau tak mengandung arti.
3.
Sesungguhnya Allah memerintahkan berdo'a dan ber-tawassul kepadaNya
dengan nama-namaNya. Maka hal ini menunjukkan keagungannya serta
kecintaan Allah kepada do'a yang disertai nama-namaNya.
4.
Bahwasanya Allah Subhannahu wa Ta'ala mengancam orang-orang yang ilhad
dalam asma'Nya dan Dia akan membalas perbuatan mereka yang buruk itu.
Ilhad
menurut bahasa berarti condong. Ilhad di dalam asma' Allah berarti
menyelewengkannya dari makna-makna agung yang dikandungnya kepada
makna-makna batil yang tidak dikandungnya. Sebagaimana yang dilakukan
orang-orang yang men-ta'wil-kannya dari makna-makna sebenarnya kepada
makna yang mereka ada-adakan.
Allah
Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "Katakanlah: 'Serulah Allah atau
serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai
al-asma'ul husna (nama-nama yang terbaik) ...". (Al-Isra': 110)
Diriwayatkan,
bahwa salah seorang musyrik mendengar baginda Nabi Shallallaahu alaihi
wa Salam sedang mengucapkan dalam sujudnya, "Ya Allah, ya Rahman". Maka
ia berkata, "Sesungguhnya Muhammad mengaku bahwa dirinya hanya menyembah
satu tuhan, sedangkan ia memohon kepada dua tuhan."
Maka
Allah menurunkan ayat ini. Demikian seperti disebutkan oleh Ibnu
Katsir. Maka Allah menyuruh hamba-hambaNya untuk memanjatkan do'a
kepadaNya dengan menyebut nama-namaNya sesuai dengan keinginannya. Jika
mereka mau, mereka memanggil, "Ya Allah", dan jika mereka menghendaki
boleh memanggil, "Ya Rahman" dan seterusnya.
Hal
ini menunjukkan tetapnya nama-nama Allah dan bahwasanya masing-masing
dari namaNya bisa digunakan untuk berdo'a sesuai dengan maqam dan
suasananya, karena semuanya adalah husna. Allah Subhannahu wa Ta'ala
berfirman: "Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)
melainkan Dia, Dia mempunyai al-asma'ul husna (nama-nama yang baik)." (Thaha: 8)
"...
Yang Mempunyai Nama-Nama Yang Paling baik. Bertasbih kepadaNya apa yang
ada di langit dan di bumi. Dan Dia-lah Yang Mahaperkasa lagi
Mahabijaksana." (Al-Hasyr: 24)
Maka
barangsiapa menafikan asma' Allah berarti ia berada di atas jalan
orang-orang musyrik, sebagaimana firman Allah Subhannahu wa Ta'ala :
"Dan apabila dikatakan kepada mereka: 'Sujudlah kamu sekalian kepada
Yang Maha Penyayang', mereka menjawab: 'Siapakah yang Maha Penyayang
itu? Apakah kami akan sujud kepada Tuhan Yang kamu perintahkan kami
(bersujud kepadaNya)?', dan (perintah sujud itu) menambah mereka jauh
(dari iman)." (Al-Furqan: 60)
Dan
termasuk orang-orang yang dikatakan oleh Allah Subhannahu wa Ta'ala :
"... padahal mereka kafir kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Katakanlah:
'Dialah Tuhanku tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia ...'."
(Ar-Ra'd: 30)
Maksudnya,
ini yang kalian kufuri adalah Tuhanku, aku meyakini rububiyah,
uluhiyah, asma' dan sifatNya. Maka hal ini menunjukkan bahwa rububiyah
dan uluhiyah-Nya mengharuskan adanya asma' dan sifat Allah Subhannahu wa
Ta'ala. Dan juga, bahwasanya sesuatu yang tidak memiliki asma' dan
sifat tidaklah layak menjadi Rabb (Tuhan) dan Ilah (sesembahan).
Kedua: Kandungan Asma' Husna Allah
Nama-nama
yang mulia ini bukanlah sekedar nama kosong yang tidak mengandung makna
dan sifat, justru ia adalah nama-nama yang menunjukkan kepada makna
yang mulia dan sifat yang agung.
Setiap
nama menunjukkan kepada sifat, maka nama Ar-Rahman dan Ar-Rahim
menunjukkan sifat rahmah; As-Sami' dan Al-Bashir menun-jukkan sifat
mendengar dan melihat; Al-'Alim menunjukkan sifat ilmu yang luas;
Al-Karim menunjukkan sifat karam (dermawan dan mulia); Al-Khaliq
menunjukkan Dia menciptakan; dan Ar-Razzaq menunjuk-kan Dia memberi
rizki dengan jumlah yang banyak sekali.
Begitulah seterusnya, setiap nama dari nama-namaNya menunjukkan sifat dari sifat-sifatNya. Syaikh Ibnu Taimiyah berkata:
"Setiap nama dari nama-namaNya menunjukkan kepada Dzat yang disebutnya
dan sifat yang dikandungnya, seperti Al-'Alim menunjukkan Dzat dan ilmu,
Al-Qodir menunjukkan Dzat dan qudrah, Ar-Rahim menunjukkan Dzat dan
sifat rahmat."
Ibnul Qayyim berkata,
"Nama-nama Rabb Subhannahu wa Ta'ala menunjukkan sifat-sifat
kesempurnaanNya, karena ia diambil dari sifat-sifatNya. Jadi ia adalah
nama sekaligus sifat dan karena itulah ia menjadi husna. Sebab andaikata
ia hanyalah lafazh-lafazh yang tak bermakna maka tidaklah disebut
husna, juga tidak menunjukkan kepada pujian dan kesempurnaan.
Jika
demikian tentu diperbolehkan meletakkan nama intiqam (balas dendam) dan
ghadhab (marah) pada tempat rahmat dan ihsan, atau sebaliknya. Sehingga
boleh dikatakan, "Ya Allah sesungguhnya saya telah menzhalimi diri
sendiri, maka ampunilah aku, karena sesungguhnya Engkau adalah
Al-Muntaqim (Maha Membalas Dendam). Ya Allah anugerahilah saya, karena
sesungguhnya engkau adalah Adh-Dharr (Yang Memberi Madharat) dan
Al-Mani' (Yang Menolak) ..." dan yang semacamnya.
Lagi
pula kalau tidak menunjukkan arti dan sifat, tentu tidak diperbolehkan
memberi kabar dengan masdar-masdar-nya dan tidak boleh menyifati
dengannya. Tetapi kenyataannya Allah sendiri telah mengabarkan tentang
DiriNya dengan masdar-masdar-Nya dan menetapkannya untuk DiriNya dan
telah ditetapkan oleh RasulNya untukNya, seperti firman Allah Subhannahu
wa Ta'ala : "Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rizki Yang
Mem-punyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh." (Adz-Dzariyat: 58)
Dari
sini diketahui bahwa Al-Qawiy adalah salah satu nama-namaNya yang
bermakna "Dia Yang Mempunyai Kekuatan". Begitu pula firman Allah: "...
Maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya ..." (Fathir: 10)
"Al 'aziiz" adalah "Yang Memiliki Izzah (kemuliaan)". Sampai akhirnya Ibnu Qoyyim berkata:
"... juga seandainya asma-Nya tidak mengandung makna dan sifat maka
tidak boleh mengabari tentang Allah dengan fi'il (kata kerja)nya. Maka tidak boleh dikatakan "Dia mendengar", "Dia melihat", "Dia mengetahui", "Dia berkuasa" dan "Dia ber-kehendak". Karena
tetapnya hukum-hukum sifat adalah satu cabang dari ketetapan
sifat-sifat itu. Jika pangkal sifat tidak ada maka mustahil adanya
ketetapan hukumya."
Ketiga: Studi Tentang Sebagian Sifat-Sifat Allah
Sifat-sifat Allah terbagi menjadi dua bagian.
Bagian pertama, adalah sifat dzatiyah,
yakni sifat yang senantiasa melekat denganNya. Sifat ini tidak berpisah
dari DzatNya. Seperti ilmu, kekuasan, mendengar, melihat, kemuliaan,
hikmah, ketinggian, keagungan, wajah, dua tangan, dua mata.
Bagian kedua, adalah sifat fi'liyah.
Yaitu sifat yang Dia perbuat jika berkehendak. Seperti, bersemayam di
atas 'Arsy, turun ke langit dunia ketika tinggal sepertiga akhir dari
malam, dan datang pada hari Kiamat.
Berikut ini kami sebutkan sejumlah sifat-sifat Allah dengan dalil dan keterangannya, apakah ia termasuk dzatiy atau fi'liy.
A. Al-qudrah (berkuasa)
Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "... dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu." (Al-Maidah: 120) "Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu." (Al-Baqarah: 20)
"Dan adalah Allah Mahakuasa atas segala sesuatu." (Al-Kahfi: 45)
"Katakanlah: 'Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu'." (Al-An'am: 65)
"Sesungguhnya Allah benar-benar kuasa untuk mengembali-kannya (hidup sesudah mati)." (Ath-Thariq: 8)
Dia
telah menetapkan sifat qudrah, kuasa untuk melakukan apa saja,
sebagaimana Dia juga menafikan dari DiriNya sifat 'ajz (lemah) dan
lughub (letih). Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "Dan tiada sesuatu
pun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahakuasa." (Fathir: 44)
"Dan
sesungguhnya telah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada
antara keduanya dalam enam masa, dan Kami sedikit-pun tidak ditimpa
keletihan." (Qaf: 38)
Dia
memiliki qudrah yang mutlak dan sempurna sehingga tidak ada sesuatu pun
yang melemahkanNya. Tidaklah ada penciptaan makhluk dan pembangkitan
mereka kembali kecuali bagaikan satu jiwa saja. "Sesungguhnya
perintahNya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya:
'Jadilah!' maka terjadilah ia." (Yasin: 82)
Maka
seluruh makhlukNya, baik yang di atas maupun yang di bawah, menunjukkan
kesempurnaan qudrah-Nya yang menyeluruh. Tidak ada satu partikel pun
yang keluar dariNya. Cukuplah menjadi dalil bagi seorang hamba manakala
ia melihat kepada penciptaan diri-nya; bagaimanakah Allah menciptakannya
dalam bentuk yang paling baik, membelah baginya pendengaran dan
penglihatannya, menciptakan untuknya sepasang mata, sebuah lisan dan
sepasang bibir? Kemudian apabila ia melayangkan pandangannya ke seluruh
jagat raya ini maka ia akan melihat berbagai keajaiban qudrahNya yang
menunjukkan keagunganNya.
B. Al-iradah (berkehendak)
Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendakiNya." (Al-Maidah: 1)
"Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki." (Al-Hajj: 14)
"Mahakuasa berbuat apa yang dikehendakiNya." (Al-Buruj: 16)
"Sesungguhnya perintahNya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: 'Jadilah!' maka terjadilah ia." (Yasin: 82)
Ayat-ayat
ini menetapkan iradah untuk Allah Subhannahu wa Ta'ala yakni di antara
sifat Allah yang ditetapkan oleh Al-Qur'an dan As-Sunnah. Ahlus-Sunnah
wal Jama'ah menyepakati bahwa iradah itu ada dua macam:
a. Iradah Kauniyah,
sebagaimana yang terdapat dalam ayat: "Barangsiapa yang Allah
menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan
dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki
Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit
..." (Al-An'am: 125)
Yaitu iradah yang menjadi persamaan masyi'ah (kehendak Allah), tidak ada bedanya antara masyi'ah dan iradah kauniyah.
b. Iradah Syar'iyah, sebagaimana terdapat dalam ayat: "Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu." (Al-Baqarah: 185)
Perbedaan antara keduanya ialah:
Iradah kauniyah pasti terjadi, sedangkan iradah syar'iyah tidak harus terjadi; bisa terjadi bisa pula tidak.
Iradah
kauniyah meliputi yang baik dan yang jelek, yang bermanfaat dan yang
berbahaya bahkan meliputi segala sesuatu. Sedangkan iradah syar'iyah
hanya terdapat pada yang baik dan yang bermanfaat saja.
Iradah
kauniyah tidak mengharuskan mahabbah (cinta Allah). Terkadang Allah
menghendaki terjadinya sesuatu yang tidak Dia cintai, tetapi dari hal
tersebut akan lahir sesuatu yang dicintai Allah. Seperti penciptaan
Iblis dan segala yang jahat lainnya untuk ujian dan cobaan.
Adapun
iradah syar'iyah maka di antara konsekuensinya adalah mahabbah Allah,
karena Allah tidak menginginkan dengannya kecuali sesuatu yang
dicintaiNya, seperti taat dan pahala.
C. Al-'Ilmu (Ilmu)
Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "... Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata ..." (Al-Hasyr: 22)
"...
Yang mengetahui yang ghaib. Tidak ada tersembunyi dari-padaNya seberat
zarrah pun yang ada di langit dan yang ada di bumi ..." (Saba': 3)
"Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ghaib di langit dan di bumi." (Al-Hujurat: 18)
"Sesungguhnya bagi Allah tidak ada satu pun yang tersembunyi di bumi dan tidak (pula) di langit." (Ali Imran: 5)
"... dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah ..." (Al-Baqarah: 255)
"Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (An-Nahl: 74)
Di
antara dalil yang menunjukkan atas ilmuNya yang luas adalah firman
Allah Subhannahu wa Ta'ala : "... agar kamu mengetahui bahwasanya Allah
Mahakuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmuNya
benar-benar meliputi segala sesuatu." (Ath-Thalaq: 12)
Di
antara dalilnya yang lain ialah hasil ciptaanNya yang sangat teliti dan
sempurna. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "Apakah Allah Yang
menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan
rahasiakan)...?" (Al-Mulk: 14)
Karena
mustahil bisa menciptakan benda-benda di alam ini dengan sangat teliti
dan sempurna kalau bukan Yang Maha Mengetahui. Yang tidak mengetahui dan
tidak mempunyai ilmu tidak mungkin menciptakan sesuatu, seandainya ia
menciptakan tentu tidak akan teliti dan sempurna. Allah Subhannahu wa
Ta'ala berfirman: "Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib;
tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa
yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur
melainkan Dia mengetahuinya (pula) ..." (Al-An'am: 59)
"Dia
mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi, dan menge-tahui apa yang
kamu rahasiakan dan apa yang kamu nyatakan. Dan Allah Maha Mengetahui
segala isi hati." (At-Taghabun: 4)
Dan masih banyak lagi ayat-ayat tentang masalah ini. Syaikh Ibnu Taimiyah
berkata, "Kaum Muslimin memahami, sesungguhnya Allah mengetahui segala
sesuatu sebelum benda-benda itu ada dengan ilmuNya dan qadim azaliy yang
merupakan salah satu dari konsekuensi DiriNya yang Mahasuci. Dan Dia
tidak mengambil ilmu tentang benda itu dari benda itu sendiri.
"Apakah
Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan
rahasiakan); dan Dia Mahahalus lagi Maha Mengetahui?" (Al-Mulk: 14)
D. Al-Hayat (Hidup)
Yaitu
sifat dzatiyah azaliyah yang tetap untuk Allah, karena Allah bersifat
dengan 'ilmu, qudrat dan iradah; sedangkan sifat-sifat itu tidaklah ada
kecuali dari yang hidup. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "Allah,
tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal
lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya) ..." (Al-Baqarah: 255)
"Dialah Yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia ..." (Ghafir: 65)
"Dan bertawakkallah kepada Allah Yang Hidup (Kekal) Yang tidak mati ..." (Al-Furqan: 58)
Ayat-ayat
di atas menetapkan sifat hayat bagi Allah. Dan bahwa Al-Hayyul Qayyum
adalah "Al-Ismul A'zham" (nama yang paling agung) yang jika Allah
dipanggil dengannya pasti Dia mengabulkan, jika Dia dimintai dengannya
pasti Dia memberi; karenanya hayat menunjukkan kepada seluruh
sifat-sifat dzatiyah, dan qayyum menunjukkan kepada seluruh sifat-sifat
fi'liyah.
Jadi
seluruh sifat kembali kepada dua nama yang agung ini. BagiNya adalah
kehidupan yang sempurna; tidak ada kematian, tidak ada kekurangan, tidak
ada kantuk dan tidak ada tidur. Dialah Al-Qayyum, yang menegakkan yang
lainNya dengan memberinya sebab-sebab kelangsungan dan kebaikan.
E. As-Sam'u (Mendengar) Dan Al-Bashar (Melihat)
Keduanya
termasuk sifat dzatiyah Allah. Allah menyifati diriNya dengan
kedua-duanya dalam banyak ayat, seperti firmanNya: "Tidak ada sesuatu
pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Melihat." (Asy-Syura: 11)
"Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (An-Nisa': 58)
"... Sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat." (Thaha: 46)
Pendengaran
Allah Subhannahu wa Ta'ala menangkap semua suara, baik yang keras
maupun yang pelan; mendengar semua suara dengan semua bahasa dan dapat
membedakan semua kebutuhan masing-masing. Satu pendengaran tidak
mengganggu pendengaran yang lain. Berbagai macam bahasa dan suara
tidaklah membuat samar bagiNya.
Allah
Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya Allah telah mendengar
perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya,
dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab
antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat." (Al-Mujadalah: 1)
"Apakah mereka mengira, bahwa Kami tidak mendengar rahasia dan bisikan-bisikan mereka?" (Az-Zukhruf: 80)
Sebagaimana
Allah juga melihat segala sesuatu, dan tidak ada sesuatu pun yang
menutupi penglihatanNya. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "Tidakkah
dia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?" (Al-'Alaq: 14)
"Yang
melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk sembahyang), dan (melihat pula)
perobahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud." (Asy-Syu'ara: 218-219)
"Dan katakanlah: 'Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu itu ...'." (At-Taubah: 105)
Sesungguhnya bagi Allah tidak ada satupun yang tersembunyi di bumi dan tidak (pula) di langit. (Ali Imran: 5)
Yang
tidak mendengar dan melihat tidak layak untuk menjadi Tuhan. Allah
Subhannahu wa Ta'ala menceritakan tentang Ibrahim Alaihissalam yang
berbicara kepada bapaknya sebagai protes atas penyembahan mereka
terhadap berhala. "Mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak bisa
mendengar dan melihat." (Maryam: 42)
"Apakah berhala-berhala itu mendengar (do'a) mu sewaktu kamu berdo'a (kepadanya)?" (Asy-Syu'ara: 72)
F. Al-Kalam (Berbicara)
Di
antara sifat Allah yang dinyatakan oleh Al-Qur'an, As-Sunnah, ijma'
salaf dan para imam adalah Al-Kalam. Sesungguhnya Allah Subhannahu wa
Ta'ala berbicara sebagaimana yang Dia kehendaki; kapan Dia menghendaki
dan dengan apa Dia kehendaki, dengan suatu kalam (pembicaraan) yang bisa
didengar.
Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan (nya) daripada Allah." (An-Nisa': 87)
"Dan siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah?" (An-Nisa': 122)
"Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung." (An-Nisa': 164)
"... Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) ..." (Al-Baqarah: 253)
"(Ingatlah), ketika Allah berfirman, 'Hai Isa ..." (Ali Imran: 55)
"Dan
Kami telah memanggilnya dari sebelah kanan gunung Thur dan Kami telah
mendekatkannya kepada Kami di waktu dia munajat (kepada Kami)." (Maryam: 52)
"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu menyeru Musa ..." (Asy-Syu'ara: 10)
"Dan (ingatlah) hari (di waktu) Allah menyeru mereka ..." (Al-Qashash: 62)
"...supaya ia sempat mendengar firman Allah..." (At-Taubah: 6)
"...padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah..." (Al-Baqarah: 75)
Semua
ayat ini menetapkan sifat hadits (ucapan), qaul (perkataan), kalam
(pembicaraan), nida' (seruan) dan munajat. Semuanya adalah termasuk
jenis kalam yang tetap bagi Allah sesuai dengan keagunganNya. Kalam
Allah termasuk sifat dzatiyah, karena terus menyertai Allah dan tidak
pernah berpisah dariNya. Juga termasuk sifat fi'liyah, karena berkaitan
dengan masyi'ah dan qudrah-Nya.
Allah
Subhannahu wa Ta'ala juga menyebutkan bahwa yang tidak bisa berbicara
tidak pantas untuk menjadi Tuhan. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman:
"Dan kaum Musa, setelah kepergian Musa ke gunung Thur membuat dari
perhiasan-perhiasan (emas) mereka anak lembu yang bertubuh dan bersuara.
Apakah mereka tidak mengetahui bahwa anak lembu itu tidak dapat
berbicara dengan mereka dan tidak dapat (pula) menunjukkan jalan kepada
mereka?" (Al-A'raf: 148)
Kalam
adalah sifat kesempurnaan, sedangkan bisu adalah sifat kekurangan. Dan
Allah memiliki sifat kesempurnaan, suci dari keku-rangan.
G. Al-Istiwa' 'Alal-'Arsy (Bersemayam Di Atas 'Arsy)
Ia adalah termasuk sifat fi'liyah. Allah Subhannahu wa Ta'ala mengabarkan bahwa Dia bersemayam di atas 'Arsy, pada tujuh tempat di dalam kitabNya.
1.
Surat Al-A'raf: "Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah
menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas
'Arsy ..." (Al-A'raf: 54)
2.
Surat Yunus: "Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan
langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy
..." (Yunus: 3)
3.
Surat Ar-Ra'd: "Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang
(sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy
..." (Ar-Ra'd: 2)
4. Surat Thaha: "(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy ..." (Thaha: 5)
5. Surat Al-Furqan: "... kemudian Dia bersemayam di atas Arsy, (Dialah) Yang Maha Pemurah ..." (Al-Furqan: 59)
6.
Surat As-Sajdah: "Allah-lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa
yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di
atas 'arsy." (As-Sajdah: 4)
7. Surat Al-Hadid: "Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; Kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy ..." (Al-Hadid: 4)
Dalam
ketujuh ayat ini lafazh istawa' datang dalam bentuk dan lafazh yang
sama. Maka hal ini menyatakan bahwa yang dimaksudkan adalah maknanya
yang hakiki yang tidak menerima ta'wil, yaitu ketinggian dan
keluhuranNya di atas 'Arsy. 'Arsy menurut Bahasa Arab adalah singgasana
untuk raja. Sedangkan yang dimaksud dengan 'Arsy di sini adalah
singgasana yang mempunyai beberapa kaki yang dipikul oleh malaikat, ia
merupakan atap bagi semua makhluk.
Sedangkan
bersemayamnya Allah di atasnya ialah yang sesuai dengan keagunganNya.
Kita tidak mengetahui kaifiyah (cara)nya, sebagaimana kaifiyah
sifat-sifatNya yang lain. Akan tetapi kita hanya menetapkannya sesuai
dengan apa yang kita pahami dari maknanya dalam bahasa Arab, sebagaimana
sifat-sifat lainnya, karena memang Al-Qur'an diturunkan dengan bahasa
Arab.
H. Al-'Uluw (Tinggi) Dan Al-Fawqiyyah (Di Atas)
Dua
sifat Allah yang termasuk dzatiyah adalah ketinggianNya di atas makhluk
dan Dia di atas mereka. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "Dan
Allah Mahatinggi lagi Mahabesar." (Al-Baqarah: 255)
"Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi." (Al-A'la: 1)
"Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit." (Al-Mulk: 16)
Maksudnya
"Dzat yang ada di atas langit" apabila yang dimaksud dengan sama'
(dalam ayat tersebut) adalah langit, atau "Dzat yang di atas" jika yang
dimaksud dengan sama' adalah sesuatu yang ada di atas. Sebagaimana Dia
menggambarkan tentang diangkatnya apa-apa kepadaNya: "... sesungguhnya
Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu
kepadaKu ..." (Ali Imran: 55)
"Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat 'Isa kepada-Nya." (An-Nisa': 158)
Dan
tentang shu'ud (naik)nya sesuatu kepadaNya: "... KepadaNya-lah naik
perkataan-perkataan yang baik dan amal yang shalih dinaikkanNya." (Fathir: 10)
Dan tentang 'uruj (naik)nya sesuatu kepadaNya: "Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan ..." (Al-Ma'arij: 4)
'Uruj dan shu'ud adalah naik. Dalil-dalil semacam ini menunjuk-kan kepada 'uluw (ketinggian) Allah di atas makhlukNya.
Begitu
pula fawqiyah-Nya ditetapkan oleh berbagai dalil, di antaranya adalah
firman Allah Subhannahu wa Ta'ala : "Dan Dialah yang berkuasa atas
sekalian hamba-hambaNya ..." (Al-An'am: 18)
"Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka." (An-Nahl: 50)
Perbedaan
antara 'uluw dan istiwa' adalah bahwasanya 'uluw ada-lah sifat dzat,
sedangkan istiwa' adalah sifat fi'il. 'Uluw mempunyai tiga makna: - 'Uluwudz-Dzat (DzatNya di atas makhluk) - 'Uluwudz-Qahr (kekuatanNya di atas makhluk) - 'Uluwul-Qahr (kekuasaanNya di atas makhluk). Kesemuanya itu adalah sifat yang benar untuk Allah Subhannahu wa Ta'ala .
I. Al-Ma'iyyah (Kebersamaan)
Ia
adalah sifat yang tetap bagi Allah berdasarkan dalil yang banyak
sekali. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "Janganlah kamu berduka
cita, sesungguhnya Allah beserta kita." (At-Taubah: 40)
"Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada." (Al-Hadid: 4)
"... sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat". (Thaha: 46)
Dalil-dalil
di atas menetapkan bahwa Allah Subhannahu wa Ta'ala selalu bersama
hambaNya, di mana pun mereka berada. Arti ma'iyah: Ma'iyah Allah terhadap makhlukNya ada dua macam:Ma'iyah umum
bagi semua makhlukNya. Maksudnya, pengetahuan Allah terhadap amal
perbuatan hamba-hambaNya, gerakan yang zhahir dan yang batin,
perhitungan amal dan pengawasan ter-hadap mereka. Tidak ada sesuatu pun
dari mereka yang lepas dari pengawasan Allah di mana pun mereka berada.
Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "... Dan Dia bersama kamu di mana
saja kamu berada ..." (Al-Hadid: 4)
Ma'iyah khusus
untuk orang-orang mukmin. Maknanya, pengawasan dan pengetahuan Allah
terhadap mereka, serta pertolongan, dukungan dan penjagaan Allah untuk
mereka dari tipu muslihat musuh-musuh mereka. "... "Sesungguhnya Aku
bersama kamu berdua. Aku mendengar dan melihat." (Thaha: 46)
"... Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah bersama kita ..." (At-Taubah: 40)
Catatan
Penting: Dari uraian di atas, jelaslah makna Ma'iyah Allah terhadap
hambaNya bukan berarti "Allah bercampur dengan mereka melalui DzatNya",
Mahasuci Allah dari hal tersebut, karena hal itu adalah "madzhab
hululiyah" yang sesat, batil dan kufur. Karena Allah di atas para
hambaNya dan Maha tinggi di atas mereka, tidak bercampur DzatNya dengan
mereka, bersemayam di atas 'Arsy-Nya dan Dia bersama mereka dengan
ilmuNya, mengetahui segala hal ihwal mere-ka, mengawasi mereka dan
mereka tidak sedikit pun bisa menghilang dari pandangan Allah.
Ma'iyah
dapat digunakan untuk kebersamaan yang mutlak, sekali pun tidak ada
sentuhan atau percampuran. Anda mengatakan, "barang/harta saya ada
bersama saya"). Padahal harta tersebut ada di atas kepala anda atau di
atas kendaraan anda atau di atas kuda anda. Anda mengatakan, "Kami terus
saja berjalan, dan rembulan bersama kami", padahal dia ada di langit,
akan tetapi ia tetap menerangi dan tidak hilang dari pandangan anda,
sedang yang sampai hanyalah cahaya dan penerangannya saja.
J. Al-Hubb (Cinta) Dan Ar-Ridha (Ridha)
Ia
adalah dua sifat yang tetap bagi Allah dan termasuk sifat fi'liyah.
Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya Allah telah ridha
terhadap orang-orang mukmin ..." (Al-Fath: 18)
"... Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha terha-dapNya ..." (Al-Maidah: 119)
"Dan
berapa banyaknya malaikat di langit, syafa'at mereka sedikit pun tidak
berguna kecuali sesudah Allah mengizinkan bagi orang yang dikehendaki
dan diridhai (Nya)." (An-Najm: 26)
"... maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya ..." (Al-Maidah: 54)
"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri." (Al-Baqarah: 222)
"... sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik." (Al-Baqarah: 195)
Dalam
ayat-ayat ini terdapat ketetapan adanya sifat mahabbah dan ridha bagi
Allah. Bahwasanya Dia mencintai sebagian manusia dan meridhai mereka.
Dan Dia mencintai sebagian amal dan akhlak, yaitu cinta dan ridha yang
hakiki yang sesuai dengan keagunganNya Yang Mahasuci.
Tidak
seperti cintanya makhluk untuk makhluk atau ridhanya. Di antara buah
cinta dan ridha ini ialah terwujudnya taufiq dan pemuliaan serta
pemberian nikmat kepada hamba-hambaNya yang Dia cintai dan Dia ridhai.
Dan bahwa terwujudnya cinta dan ridha dari Allah untuk hambaNya adalah
dikarenakan amal shalih yang di antaranya adalah takwa, ihsan dan
ittiba' kepada Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam .
Allah
Subhannahu wa Ta'ala berfirman: Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar)
mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi ..." (Ali Imran: 31)
"Dan senantiasa hambaKu mendekat kepadaKu dengan melaksanakan ibadah-ibadah 'sunnah' sehingga Aku mencintainya." (HR. Al-Bukhari)
K. As-Sukhtu (Murka) Dan Al-Karahiyah (Benci)
Sebagaimana
Allah mencintai hambaNya yang mukmin dan meridhainya, maka Dia juga
memurkai orang-orang kafir dan munafik, membenci mereka dan membenci
amal perbuatan mereka.
Allah
Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya amat buruklah apa yang
mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka
..." (Al-Ma'idah: 80)
"... tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka ..." (At-Taubah: 46)
Murka
dan benci adalah dua sifat yang tetap bagi Allah sesuai dengan
keagunganNya. Di antara dampak dari keduanya adalah terjadinya berbagai
musibah dan siksaan terhadap orang-orang yang dimurkaiNya dan dibenci
perbuatannya.
L. Al-Wajhu (Wajah), Al-Yadaani (Dua Tangan) Dan Al-'Ainaani (Dua Mata)
Ini
adalah sifat-sifat dzatiyah Allah sesuai dengan keagunganNya. Allah
Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang
mempunyai kebesaran dan kemuliaan." (Ar-Rahman: 27)
"Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Wajah Allah." (Al-Qashash: 88)
Dua
ayat tersebut menekankan wajah untuk Allah. Kita menetapkannya untuk
Allah Subhannahu wa Ta'ala sesuai dengan keagunganNya sebagaimana Dia
sendiri menetapkan untukNya. Dan Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman:
"(Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; Dia
menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki." (Al-Ma'idah: 64)
"... apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tanganKu. ...". (Shaad: 75)
Dua
ayat tersebut menetapkan dua tangan untuk Allah. Dan Allah Subhannahu
wa Ta'ala berfirman: "... maka sesungguhnya kamu berada dalam
penglihatan Kami, ..." (Ath-Thur: 48)
"Yang berlayar dengan pemeliharaan Kami ..." (Al-Qamar: 14)
"... dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasanKu." (Thaha: 39)
Disebutkan
lafazh 'ain (mata) dan a'yun (beberapa mata) sesuai dengan apa yang
disandarkan kepadanya, berbentuk tunggal atau jamak sesuai dengan
ketentuan bahasa Arab. Dan disebutkan dalam sunnah yang suci sesuatu
yang menunjukkan makna tatsniyah (dua).
Rasul
Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda ketika menyifati Dajjal yang
mengaku sebagai tuhan, "Sesungguhnya dia adalah buta sebelah, dan
sesungguhnya Tuhanmu tidaklah buta sebelah." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Ini
jelas, bahwa maksudnya bukanlah menetapkan satu mata, karena mata yang
sebelah jelas cacat (buta). Mahasuci dari hal yang demikian. Maka dalam
ayat-ayat dan hadits tersebut terdapat penetapan terhadap dua mata bagi
Allah, sesuai dengan apa yang pantas bagi keagunganNya sebagaimana
sifat-sifatNya yang lain.
M. Al-'Ajab (Heran)
Ia
adalah sifat yang tetap bagi Allah Subhannahu wa Ta'ala sesuai dengan
apa yang pantas bagi keagunganNya, sebagaimana yang ada dalam beberapa
nash-nash shahih dan sharih (jelas). Rasulullah Shallallaahu alaihi wa
Salam bersabda: "Tuhan kita merasa heran terhadap keputus asaan
hamba-hambaNya padahal telah dekat perubahan (keadaan dari kesulitan
kepada kemudahan) olehNya. Dia melihat kepadamu yang dalam keadaan
sempit (susah) dan berputus asa. Dia pun tertawa, Dia mengetahui bahwa
pertolonganNya untukmu adalah dekat." (HR. Ahmad dan lainnya)
Dalam
hadits ini terdapat sifat heran dan tertawa, yaitu dua sifat Allah dari
sifat-sifat fi'liyah-Nya sebagaimana sifat-sifatNya yang lain. Tidaklah
keherananNya sama dengan keheranan makhluk, dan tidaklah pula
tertawaNya sama dengan tertawanya makhluk. Tidak ada sesuatu pun yang
menyamaiNya.
N. Al-Ityan Dan Al-Maji' (Datang)
Keduanya
adalah sifat fi'liyah Allah Subhannahu wa Ta'ala . Dia berfirman:
"Janganlah (berbuat demikian). Apabila bumi digoncangkan berturut-turut,
dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris." (Al-Fajr: 21-22)
"Tiada yang mereka nanti-nantikan melainkan datangnya Allah dan malaikat (pada hari kiamat) dalam naungan awan, ..." (Al-Baqarah: 210)
"Yang
mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat kepada
mereka (untuk mencabut nyawa mereka), atau kedatangan Tuhanmu atau
kedatangan sebagian tanda-tanda Tuhanmu. ..." (Al-An'am: 158)
Ayat-ayat
tersebut menetapkan sifat ityan dan maji' bagi Allah yaitu datang
dengan DzatNya secara sebenarnya untuk memutuskan hukum antara
hamba-hambaNya pada hari Kiamat, sesuai dengan ke-agunganNya. Sifat
datang dan mendatangi itu tidak sama dengan sifat makhluk. Mahasuci
Allah dengan hal itu.
15. Al-Farah (Gembira)
Al-Farah
adalah sifat yang tetap bagi Allah. Ia merupakan salah satu dari sifat
fi'liyah-Nya sesuai dengan keagunganNya. Dalam hadits shahih Rasulullah
Shallallaahu alaihi wa Salam menyatakan bahwasanya Allah sangat
bergembira karena taubat seorang hambaNya. Beliau Shallallaahu alaihi wa
Salam bersabda:
"Allah amat gembira karena taubat hamba melebihi
kegembiraan salah seorang dari kalian karena (telah menemukan)
kendaraannya (kembali)." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Kegembiraan
Allah ini adalah kegembiraan berbuat baik dan sayang, bukan kegembiraan
seorang yang membutuhkan kepada taubat hambaNya yang bisa diambil
manfaatnya. Karena sesungguhnya Allah Mahakaya, tidak membutuhkan
ketaatan hambaNya. Akan tetapi Dia bergembira untuk itu karena
kebaikanNya, sayangNya dan anugerahNya kepada pada hambaNya yang mukmin;
sebab Dia mencintai dan menginginkan kebaikan serta keselamatan hamba
dari siksaan-Nya.
Keempat:
Pendapat-Pendapat Golongan Sesat Tentang Sifat-Sifat Ini Beserta
Bantahannya Golongan-golongan sesat seperti Jahmiyah, Mu'tazilah dan
Asy'ariyah menyalahi AhlusSunnah wal Jama'ah dalam hal sifat-sifat
Allah.
Mereka
menafikan sifat-sifat Allah atau menafikan banyak sekali dari
sifat-sifat itu atau men-ta'wil-kan nash-nash yang menetapkannya dengan
ta'wil yang batil. Syubhat (keraguan, kerancuan) mereka dalam hal ini
adalah mereka mengira bahwa penetapan dalam sifat-sifat ini menimbulkan
adanya tasybih (penyerupaan Allah dengan lainNya).
Oleh
karena sifat-sifat ini juga terdapat pada makhluk maka penetapannya
untuk Allah pun menimbulkan penyerupaanNya dengan makhluk. Karena itu
harus dinafikan -menurut mereka- atau harus di-ta'wil-kan dari
zhahir-nya, atau tafwidh (menyerahkan) makna-makna-nya kepada Allah
Subhannahu wa Ta'ala. Demikianlah madzhab mereka dalam sifat-sifat
Allah, dan inilah syubhat dan sikap mereka terhadap nash-nash yang ada.
Bantahan Terhadap Mereka1. Sifat-sifat ini datang dan ditetapkan oleh nash-nash Al-Qur'an dan As-Sunnah yang mutawatir.
Sedangkan kita diperintahkan mengikuti Al-Kitab dan As-Sunnah. Allah
Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu
dari Tuhanmu ..." (Al-A'raf: 3)
Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam bersabda: "Ikutilah sunnahku dan sunnah para Khulafa' Rasyidin se-sudahku." (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, ia berkata hadits ini hasan shahih)
Dan
Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "... Apa yang diberikan Rasul
kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah; ..." (Al-Hasyr: 7)
Maka
barangsiapa yang menafikannya berarti dia telah menafikan apa yang
ditetapkan oleh Allah dan RasulNya, dan berarti pula dia telah menentang
Allah dan RasulNya.
Sesungguhnya
kaum salaf dari sahabat, tabi'in dan ulama pada masa-masa yang
dimuliakan, semuanya menetapkan sifat-sifat ini dan mereka tidak
berselisih sedikit pun di dalamnya. Imam Ibnul Qayyim
berkata: "Manusia banyak berselisih pendapat dalam banyak hal tentang
hukum, tetapi mereka tidak berselisih dalam memahami ayat-ayat sifat dan
juga hadits-haditsnya, sekali pun itu hanya sekali. Bahkan para sahabat
dan tabi'in telah bersepakat untuk iqrar (menetapkannya) dan imrar
(membiarkan apa adanya) disertai dengan pemahaman makna-makna lafazh-nya
bahwa hal tersebut telah dijelaskan dengan tuntas, dan bahwa
menjelaskannya adalah hal yang teramat penting, karena ia termasuk
penyempurnaan bagi perwujudan dua kalimah syahadah, dan penetapannya
merupakan konsekuensi tauhid. Maka Allah dan RasulNya menjelaskan dengan
jelas dan gamblang tanpa kesamaran dan keraguan yang bisa menimpa ahlul
ilmi."
Sedangkan
Rasulullah telah bersabda, "Kewajiban kalian adalah mengikuti sunnahku
dan sunnah Khulafa' Rasyidin." Sedangkan penetapan sifat adalah termasuk
hal tersebut.
2.
Seandainya zhahir nash-nash tentang sifat-sifat itu bukan yang
dimaksud, dan dia wajib di-ta'wil-nya (penyerahan makna kepada Allah),
tentu Allah dan RasulNya telah berbicara kepada kita dengan khitab dan
ucapan yang kita tidak paham maknanya. Dan tentu nash ini
bersifat teka-teki atau kode-kode (sandi) yang tidak bisa kita pahami.
Ini adalah mustahil bagi Allah, Allah Mahasuci dari yang demikian.
Karena kalam Allah dan kalam RasulNya adalah ucapan yang sangat jelas,
gamblang dan berisi petunjuk.
3.
Menafikan sifat berarti menafikan wujud Allah, karena tidak ada dzat
tanpa sifat, dan setiap yang wujud pasti mempunyai sifat.
Mustahil dibayangkan ada wujud yang tidak mempunyai sifat. Sesungguhnya
yang tidak mempunyai sifat hanyalah ma'dum (sesuatu yang tidak ada).
Maka
barangsiapa yang menafikan sifat-sifat bagi Allah yang telah Dia
tetapkan untuk diriNya, berarti ia telah mencampakkan sifat-sifat Allah,
telah membangkang kepada Allah dan telah menyerupakan Allah dengan
benda-benda yang tidak ada wujudnya, dan itu berarti pula dia telah
mengingkari wujud Allah; sebagai keha-rusan dan konsekuensi dari
ucapannya itu.
4.
Kesamaan nama-nama Allah dan sifat-sifatNya dengan nama-nama dan
sifat-sifat makhlukNya dalam bahasa tidak mengharuskan kesamaan atau
penyerupaan dalam hakikat atau kaifiyat. Allah memiliki
sifat-sifat yang khusus dan sesuai dengan keagungan-Nya. Makhluk
mempunyai sifat-sifat khusus dan sesuai dengan kepantasannya pula. Ini
tidak mengharuskan kesamaan atau penyerupaan. Bahkan antar makhluk pun
tidak harus sama.
Jika dikatakan, "Sesungguhnya 'Arsy itu adalah
sesuatu yang wujud" dan "sesungguhnya nyamuk itu sesuatu yang wujud",
ini tidak mengharuskan keduanya sama dalam "sesuatu dan wujud", juga
dalam hakikat dan kaifiyat. Jika hal ini terjadi antara makhluk dengan
makhluk, maka antara Allah Al-Khaliq dengan makhlukNya adalah lebih
utama untuk tidak sama.
5.
Sebagaimana Allah mempunyai Dzat yang tidak diserupai oleh dzat makhluk,
maka Dia juga mempunyai sifat-sifat yang tidak diserupai oleh
sifat-sifat makhluk.
6. Sesungguhnya menetapkan sifat-sifat yang ada adalah kesempurnaan dan menafikannya adalah kekurangan. Sedangkan Allah Mahasuci dari sifat kekurangan. Maka wajiblah penetapan sifat-sifat itu.
7.
Sesungguhnya dengan nama-nama dan sifat-sifat ini, para hamba dapat
mengetahui Tuhannya dan mereka memohon kepadaNya dengan nama-nama itu.
Mereka takut kepadaNya dengan nama-nama itu. Mereka takut kepadaNya dan
mengharap dariNya sesuai dengan kandungan nama-nama itu. Jika dinafikan
dari Allah maka hilanglah makna-makna yang agung itu. Lalu dengan apa
Dia dimintai dan dengan apa pula ber-tawassul kepadaNya?
8. Sesungguhnya hukum asal dalam nash-nash sifat adalah zhahir dan makna aslinya. Tidak boleh menyelewengkan dari zhahir-nya kecuali jika terpenuhi keempat syarat berikut ini:
a. Menetapkan kemungkinan lafazh mengandung makna yang akan di-ta'wil-kan kepadanya.
b.
Menegakkan dalil yang memalingkan lafazh dari zhahir-nya kepada makna
yang mungkin dikandungnya yakni makna yang menyalahi zhahir-nya.
c.
Menjawab dalil-dalil yang bertentangan dengan dalilnya tadi. Karena
orang yang mengaku benar harus mempunyai bukti atas dakwaannya. Dia
harus mempunyai jawaban yang benar terhadap dalil-dalil yang berlawanan
dengannya. Dan tidaklah disebut memiliki dalil orang yang hanya
mendakwakan ta'wil.
d.
Bahwasanya manakala Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam berbicara
dengan suatu pembicaraan jika beliau menginginkan arti yang bukan
zhahir-nya, pasti beliau menjelaskan kepada umat bahwasanya beliau
menginginkan majaz (arti kiasan) bukan hakikat atau arti sebenarnya.
Ternyata ini tidak pernah terjadi pada nash-nash sifat tersebut.
Langganan:
Postingan (Atom)