Sabtu, 08 Februari 2014

Sunan Bonang, Wali Yang Membujang Dengan Empat Makam

Mereka yang melacak jejak Sunan Bonang setidaknya akan mendapatkan tiga lokasi pemakaman, yang jika para juru kuncinya ditanggapi terlalu serius, tentu akan menjadi bingung – karena tiada cara untuk membuktikan kesahihannya.

Kerancuan ini disebabkan antara lain karena sejak awal tidak terbedakan, mana yang makam dan mana yang petilasan: tempat para wali pernah tinggal, mengajar, atau sekadar lewat saja. Meski begitu, petilasan boleh dianggap tak kalah penting dengan makam, karena makam sebetulnya hanyalah tempat para beliau dikubur, sedangkan petilasan justru merupakan atmosfer lingkungan hidup seorang wali ratusan tahun silam.

Apabila petilasan yang menjadi ukuran, maka jumlah lokasi yang terhubungkan dengan Sunan Bonang menjadi empat.


Kisah empat lokasi


Lokasi pertama, dan yang paling populer, adalah makam di belakang Mesjid Agung Tuban. Barang siapa berkunjung ke sana akan melihat suatu kontras, antara Mesjid Agung Tuban yang arsitekturnya megah dan berwarna-warni itu, dengan astana masjid Sunan Bonang di belakangnya yang sederhana. Di dekat astana mesjid yang mungil itulah terletak makam Sunan Bonang. Untuk mencapai tempat itu kita harus menyusuri gang sempit di samping mesjid besar, bagaikan perlambang atas keterpinggiran alam mistik dalam kehidupan pragmatik masa kini.

Lokasi kedua adalah petilasan di sebuah bukit di pantai utara Jawa, antara Rembang dan Lasem, tempat yang dikenal sebagai mBonang, dan dari sanalah memang ternisbahkan nama sang sunan. Di kaki bukit itu konon juga terdapat makam Sunan Bonang, tanpa cungkup dan tanpa

nisan, hanya tertandai oleh tanaman bunga melati. Namun atraksi utama justru di atas bukit, tempat terdapatnya batu yang digunakan sebagai alas untuk shalat – di batu itu terdapat jejak kaki Sunan Bonang, konon kesaktiannya membuat batu itu melesak.

Situs ini berdampingan dengan makam Putri Cempo (Cempa, Campa) dan ini terjelaskan oleh cerita tutur bahwa Sunan Bonang adalah putera Sunan Ngampel Denta yang berasal dari Cempa tersebut – seperti teruraikan dalam Intisari bulan lalu. Sunan Bonang telah memindahkan

makam puteri Darawati atau Andarawati yang merupakan maktuanya tersebut dari makam lama di Citra Wulan (bertarikh Jawa 1370 alias 1448 Masehi, mungkin maksudnya di wilayah ibukota Majapahit) ke Karang Kemuning, Bonang, tak dijelaskan kenapa.

Namun keterangan ini muncul sebagai catatan kaki atas cerita tentang perampasan barang-barang berharga Demak ketika direbut Mataram, dalam Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram (1974) karya Graaf dan Pigeaud.

Lokasi ketiga adalah makam Sunan Bonang di Tambak Kramat, Pulau Bawean. Ketika Intisari melacak ke pulau terpencil antara Jawa dan Kalimantan tersebut, terdapat dua makam Sunan Bonang di tepi pantai – dan tiada cara untuk memastikan mana yang lebih masuk akal, meski

untuk sekadar “dikira” sebagai makam Sunan Bonang. Salah satu makam memang tampak lebih terurus, karena dibuatkan “rumah” dan diberi kelambu – sedang makam satunya masih harus bersaing pengakuan dengan spekulasi lain bahwa itu sebenarnya makam seorang pelaut dari Sulawesi yang kapalnya karam di sekitar Bawean.

Dengan begitu, sudah terdapat tiga situs yang disebut sebagai makam Sunan Bonang. Tentang makam di Bawean terdapat legenda yang bisa diikuti dari Islamisasi di Jawa: Walisongo, Penyebar Islam di Jawa, Menurut Penuturan Babad (2000) karya Ridin Sofwan, Wasit, dan Mundiri. Konon setelah Sunan Bonang wafat di Bawean, murid-muridnya di Tuban menghendaki agar Sunan Bonang dimakamkan di Tuban, tetapi para santri di Bawean berpendapat sebaiknya dimakamkan di Bawean saja, mengingat lamanya perjalanan menyeberangi laut. Syahdan, para penjaga jenazah di Bawean telah disirep (ditidurkan dengan mantra) oleh mereka yang datang Bawean telah disirep (ditidurkan dengan mantra) oleh mereka yang datangmalam hari dari Tuban.


Dikisahkan betapa kuburan dibongkar {versi lain, dalam Misteri Syekh Siti Jenar: Peranan Walisongo dalam Mengislamkan Tanah Jawa (2004) karya Hasanu Simon, jenazah masih di tengah ruangan dan jenazah dibawa berlayar ke Tuban malam itu juga, untuk dimakamkan di dekat astana mesjid Sunan Bonang. Meskipun begitu, menurut para santri Bawean, yang berhasil dibawa ke Tuban sebetulnya hanyalah salah satu kain kafan; sebaliknya menurut para santri Tuban, yang terkubur di Bawean juga hanyalah salah satu kain kafan.

Lokasi keempat adalah sebuah tempat bernama Singkal di tepi Sungai Brantas di Kediri. Konon dari tempat itu, seperti dituturkan dalam Babad Kadhiri, Sunan Bonang melancarkan dakwah tetapi gagal mengislamkan Kediri. Ketika laskar Belanda-Jawa pada 1678 menyerang pasukan Trunajaya di daerah itu, mereka menemukan mesjid yang digunakan sebagai gudang mesiu, seperti dilaporkan Antonio Hurdt.

Menurut Graaf dan Pigeaud, “Adanya mesjid yang cukup penting di Singkal pada abad ke-17 menyebabkan legenda yang mengisahkan tempat itu sebagai pusat propaganda agama Islam pada permulaan abad ke-16 menjadi agak lebih dapat dipercaya.” Tentang Babad Kadhiri itu sendiri, yang disebutkan telah dibicarakan G.W.J. Drewes, dianggap Graaf dan Pigeaud sebagai “kurang penting bagi sejarawan, yang mencari peristiwa-peristiwa yang serba pasti.”

Meskipun Hasanu Simon meragukan Sunan Bonang pernah pergi ke Bawean, berdasarkan faktor usia dan kesulitan perjalanan masa lalu, tersebutnya Sunan Bonang di berbagai tempat ini membenarkan penemuan Graaf dan Pigeaud. “Menurut cerita, Wali Lanang di Malaka memberikan tugas-tugas berbeda tetapi senada kepada kedua muridnya: Santri Bonang pada umumnya harus menyebarkan (dan memang, kenyataannya kelak Sunan Bonang banyak menjelajahi daerah-daerah), tetapi Raden Paku harus menetap di Giri (dan tentang dia tidak diberitakan perjalanan-perjalanan jauh).” Kedua sejarawan ini juga sama sekali tidak menghubungkan Sunan Bonang dengan Bawean.


Siapakah Sunan Bonang?


Berdasarkan cerita tutur dari berbagai sumber tersebutkan Sunan Bonang adalah putera Sunan Ngampel Denta dari istrinya yang bernama Nyai Ageng Manila (sumber lain menyebut Dewi Candrawati, putri dari Majapahit), dan kelak ia menjadi imam yang pertama di Mesjid Demak.

Diperkirakan lahir antara 1440 atau 1465, dan meninggal 1525, masa pelajaran ditempuh di bawah ayahnya, dengan saudara seperguruan Raden Paku yang kelak menjadi Sunan Giri. Namanya sendiri adalah Makdum Ibrahim dan karena tidak pernah menikah, atau setidaknya tak berputera, ia juga disebut Sunan Wadat Anyakra Wati.

Konon ia dan Raden Paku bermaksud naik haji ke Mekah, dan sebelumnya berguru kepada Abdulisbar atau Dulislam di Pasai (versi lain Wali Lanang, kali ini ayah Raden Paku, di Malaka), tetapi yang kemudian diminta kembali ke Jawa oleh gurunya. Menurut Abdul Hadi WM dalam Sunan Bonang, Perintis dan Pendekar Sastra Suluk (1993), “Pada tahun 1503, setelah beberapa tahun jabatan imam mesjid dipegangnya, dia berselisih paham dengan Sultan Demak dan meletakkan jabatan, lalu pindah ke Lasem. Di situ dia memilih Desa Bonang sebagai tempat tinggalnya. Di Bonang dia mendirikan pesantren dan pesujudan (tempat tafakur), sebelum akhirnya kembali ke kampung halamannya, Tuban.”

Sangat terkenal kisahnya sebagai wali yang memberikan Raden Sahid alias Brandal Lokajaya suatu pencerahan, sehingga kelak menjadi pendakwah sinkretik ulung bernama Sunan Kalijaga. Namun dalam Serat Darmagandul yang baru ditulis tahun 1879, yang bersikap negatif terhadap para wali, seperti diteliti Denys Lombard dalam Nusa Jawa, Silang Budaya 2: Jaringan Asia (1990), Sunan Bonang “digambarkan sebagai tokoh kasar dan tidak tahu malu.” Tentu saja ini bagian dari “politik dongeng” yang sering bisa dilacak atas berbagai legenda, mengingat tokoh Sabdopalon dan Nayagenggong dalam karya itu digambarkan menolak masuk Islam.


Sementara itu, sejauh cerita yang menyebut Sunan Bonang sebagai putra Sunan Ngampel Denta bisa dipercaya, Sunan Bonang tentu tergolong keturunan orang Cam – tepatnya keturunan orang asing yang menyebarkan Islam di Jawa. Mungkinkah ini yang membuat orang berspekulasi bahwa nama Sunan Bonang berasal dari Lim Bun An bahkan

juga Bong Ang atau Bong Bing Nang, sementara Sunan Ngampel Denta tersebut sebagai Bong Swie Hoo?

Tentu maksudnya bahwa para wali ini adalah keturunan Tionghoa, seperti disebut tanpa argumentasi meyakinkan dalam Tuanku Rao (1964) oleh Mangaraja Onggang Parlindungan maupun dalam Kalidjaga (1956) oleh Hadiwidjaja.

Spekulasi ini hanya meyakinkan sejauh menyangkut Raden Patah, sultan Demak yang pertama, seperti terbahas dalam Arus Cina-Islam-Jawa: Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV & XVI (2003) karya Sumanto Al Qurtuby. Tentang para wali, jangankan sebagai keturunan Tionghoa, sedangkan keberadaan mereka secara historik saja hanya bisa dibeberkan dengan spekulasi yang sangat hati-hati, melalui analisis teliti terhadap sumber-sumber yang nyaris merupakan dongeng. Para sejarawan lebih cenderung merujukkan cerita tentang ketionghoaan itu, untuk menafsir

fakta keberadaan komunitas Muslim Tionghoa, yang sudah bertebaran di berbagai daerah pantai di Jawa Timur sejak abad ke-15.

Hilda Soemantri dalam Majapahit Terracotta Art (1997) misalnya menunjuk keramik “orang berturban” di antara keramik “orang Tartar”, “Tionghoa tertawa”, maupun “Tionghoa bertopi”, yang menunjukkan ketertarikan para seniman keramik Majapahit kepada orang-orang asing, termasuk yang beragama Muslim, di daerah pantai.

Ini tentu saja mendukung “teori Cina” sebagai salah satu teori tentang kedatangan Islam di Pulau Jawa, terutama melalui Tuban dan Gresik. Pengembara dari Tiongkok, Ma Huan, mencatat adanya Xin Cun (Kampung Baru) di Gresik yang berpenduduk seribu orang Tionghoa asal Guangdong dan Zhangzhou. Sebegitu jauh, pelacakan atas keberadaan

Sunan Ngampel Denta, yang disebut sebagai ayah Sunan Bonang, hanya terujuk kepada keberadaan bangsa Cam dan terdapatnya poros Jawa Timur-Campa – dan kitab seperti Serat Dermagandul adalah bentuk “perlawanan” kepercayaan lama setelah Islam menjadi dominan di Jawa pada abad ke-19.


Tentang “kitab Bonang”


Sarjana Belanda B.Schrieke menulis tesis Het Boek van Bonang pada 1916, seperti mengandaikan bahwa manuskrip yang dibahasnya adalah karya atau ajaran Sunan Bonang. Sayang sekali bahwa penamaan “Kitab Bonang” itu tidak dianggap tepat, juga oleh Graaf dan Pigeaud, karena tidak ada bukti meyakinkan bahwa naskah itu memang ditulis

oleh Sunan Bonang. Meski begitu, disetujui bahwa manuskrip tersebut memberi gambaran tentang ajaran Islam macam apa yang dominan didakwahkan pada abad ke-16, jadi mungkin pula diajarkan seorang wali seperti Sunan Bonang, sebagai pengenalan pertama kepada orang-

orang yang jika tidak memeluk agama Buddha atau Hindu, tentu memeluk kepercayaan sebelum agama besar yang mana pun tiba di Jawa.

Tesis Schrieke itu kemudian dikoreksi oleh Drewes, dan diberi terjemahan bahasa Inggris sebagai The Admonitions of Seh Bari (1969). Manuskrip yang dimaksud, seperti diuraikan Abdul Hadi WM, rupanya terdiri dari sejumlah suluk – suatu genre dalam kesusastraan Jawa, Sunda, dan Madura yang memang muncul pertama kali abad ke-15

bersama penyebaran Islam. Bukan kebetulan agaknya, karena suluk berarti jalan kerohanian, isinya adalah ajaran-ajaran tasawuf. Dalam hal manuskrip terbincangkan ini, khususnya yang berjudul Suluk Wujil (koreksian Purbatjaraka terhadap Schrieke yang menyebutnya Suluk

Dulil), disebutkan Purbatjaraka sebagai ajaran rahasia untuk orang- orang tertentu saja. Rahasia artinya tidak begitu saja bisa dipahami, seperti dapat diperiksa dari kutipan-kutipan berikut:

“Tak ada orang tahu di mana Mekkah yang hakiki berada, sekalipun mereka melakukan perjalanan sejak muda hingga tua renta. Mereka tak akan sampai ke tujuan. Kecuali apabila seseorang mempunyai bekal ilmu yang cukup, ia akan dapat sampai di Mekkah dan malahan sesudah

itu akan menjadi wali.

“Apabila seseorang sembahyang di sana, maka hanya ada ruangan untuk satu orang saja. Jika ada dua atau tiga orang yang bersembahyang, maka ruangan itu juga akan cukup untuk dua tiga orang itu saja. Namun jika terdapat 10.000 orang bersembahyang di sana, maka Ka’bah dapat menampung mereka semua. Bahkan seandainya seluruh dunia akan dimasukkan ke sana, maka seluruh dunia akan tertampung juga.”

Teks seperti ini, disebutkan Abdul Hadi WM sebagai, “… kerap menimbulkan persoalan. Baik golongan kebatinan maupun ortodoks jarang dapat memberi tafsir yang sesuai dan bermanfaat terhadap hakikat ajaran para sufi.” Manuskrip ini disalah tafsirkan Schrieke sebagai karya Sunan Bonang, kemungkinan besar karena tokoh bernama

Sunan Bonang muncul dalam Suluk Wujil, sebagai guru tasawuf tokoh Wujil yang berarti cebol. Purbatjaraka dalam Kepustakaan Djawa (1952) menduga karya itu ditulis oleh “sastrawan Jawa yang menjadi murid sang wali”. Sementara berdasarkan penelitiannya, menurut Drewes penulisnya adalah Seh Bari dari Karang, daerah Banten.


Terutama dalam suluk tersebut, unsur-unsur kerohanian Jawa klasik dan tasawuf Islam terpadukan. Kisahnya sendiri mewadahi gagasan zaman peralihan: Wujil, seorang terpelajar Majapahit yang meninggalkan aga Hindu dan beralih menjadi penganut Islam.

Dengan demikian, meski dari sudut ilmu sejarah tidak bisa dipastikan bahwa Sunan Bonang yang menulis Suluk Wujil, dari manuskrip tersebut tergambarkan segi-segi wajd (ekstase mistis) dan kasyf (tersingkapnya mata bathin) yang akan membawa seseorang kepada kesadaran supralogis, atau bisa disebut dimensi mistik, yang layak

diduga sebagai daya tarik bagi orang-orang Jawa abad ke-15 dan 16 untuk menerima Islam.

0 komentar:

Posting Komentar