Senin, 04 November 2013

Perjalanan Menuju Yang Maha Tinggi Bagian 5

perjalanan menuju illahi bag 5

BAB 5

PERJALANAN MENUJU ILLAHI

Tafakkur Dan Meditasi Transendental

Setelah kita mengetahui dan mengenal Allah secara ilmu, maka semakin mudahlah kita untuk memulai berkomunikasi dan berjalan menuju kepada-Nya. Kita telah meyakini bahwa kita akan kembali kepada-nya sekarang … bukan besok !

Firman Allah :

“Hai manusia, sesungguhnya engkau berusaha sungguh-sungguh menuju kepada tuhanmu, maka engkau akan menemuinya”. (Qs Al Insyiqaq, 84 : 6)

“ingatlah bahwa sesungguhnya mereka adalah dalam keragu-raguan tentang pertemuan dengan tuhan mereka. Ingatlah bahwa Allah maha meliputi segala sesuatu”. (Qs. Fushilat, 41 : 54).

Didalam ayat lain dikatakan, bahwa shalat itu adalah pekerjaan yang amat sulit, kecuali bagi orang yang khusyu’. Siapakah orang yang khusyu’ itu, ialah orang yang mempunyai sangkaan bahwa ia akan bertemu dengan Allah dan mereka adalah orang yang kembali kepada Allah. Rajiun artinya; orang yang kembali (kedudukannya sebagai fa’il), bukan yang akan kembali.

Kekhusyu’an shalat dan ibadah-ibadah yang lainnya tidak akan bisa dicapai, kalau kita tidak mengerti ilmu tauhid, yaitu mengerti akan Allah secara hakiki. Dasar tauhid inilah yang menjadi bekal kita untuk menuju tawajjuh kepada Allah, dan merupakan jalan yang membedakan dari peribadatan-peribadatan agama lain selain islam.

Pada tatanan fenomena fisik dan psikis, mungkin kita akan mengalami kesamaan dengan perjalanan meditator penyembuh, pastor, atau pendeta biksu yang tekun beribadah atau kadang juga sama dengan penggali spiritual yang tidak menggunakan pengertian ketuhanan sama sekali

Pengalaman-pengalaman ini bukanlah penentu sebuah kebenaran spiritual tertentu. Akan tetapi hal ini, seperti keadaan ilmu-ilmu yang lainnya yang bersifat universal, seperti perasaan rindu cinta sedih bahagia dan ketenangan. Keadaan ini bisa disebut sebagian dari pengalaman perasaan rohani. Yang tidak bisa kita klaim sebagai milik orang islam saja..atau orang kristen … dan yang lain.

Banyak pendeta yang berdoa di gereja memohon kesembuhan bagi si penderita sakit parah … ia bisa sembuh pendeta budha pun demikian … dan tidak sedikit pula dari kalangan islam yang bukan kyai bisa berdoa untuk yang sakit, … iapun bisa sembuh.

Dari sudut pandang psikolgi modern, tafakkur termasuk bagian dari psikologi berfikir. Lapangan sentral kajian psikologi tradisional pada masa-masa sebelum aliran behaviorisme mendominasi psikologi. Pada masa-masa awal, psikologi banyak terfokuskan pada studi sekitar pikiran, kandungan perasaan, dan bangunan akal manusia. Pembahasan masalah belajar hanya dikaji melalui tema-tema tersebut , kemudian muncul aliran behaviorisme dengan konsep-konsepnya yang terkenal. Aliran ini, akhirnya mengubah secara besar-besaran pandangan-pandangan sebelumnya, kemudian menempatkan kajian mengenai proses belajar manusia, melalui rangsangan dan respon yang timbul, menjadi tema utama psikologi.

Perasaan, kandungan akal, dan pikiran dianggap sebagai masalah yang tidak dapat dijangkau dan dipelajari secara langsung, sebagaimana juga metode yang dipakai untuk mempelajarinya, seperti metode intropeksi, dikritik karena tidak dapat dibuktikan secara empiris. Para penganut faham behaviorisme menginginkan psikologi sebagai ilmu empiris berdasarkan fenomena-fenomena lahiriah yang dapat dikaji dilaboratorium. Menurut mereka, segala kegiatan kognitif dan perasaan yang ada dan terjadi dalam benda-benda hidup merupakan akibat dari interaksinya dengan pengaruh-pengaruh tertentu.

Kegiatan-kegiatan “pikiran dalam” itu, mereka anggap sebagai suatu peti terkunci yang bagian dalamnya tidak mungkin diketahui dengan jelas. Karena itu, tidak perlu menghabiskan waktu untuk mempelajarinya. Adapun berbagai respon dan tanggapan yang timbul akibat kegiatan dalam yang dapat diukur dan diamati, merupakan pusat perhatian kajian ilmiah empiris mereka.

Hal yang lebih pelik dan kompleks bagi kita, orang islam, adalah bahwa salah satu unsur pembentukan perilaku manusia terpenting telah ditinggalkan oleh psikologi barat modern, meskipun banyak penemuan modern telah membuktikan pentingnya unsur tersebut, yaitu unsur spiritual. Psikologi modern hanya berpegang pada unsur psikologis, biologis sosial dan kultural sebagai unsur-unsur pembentukan perilaku manusia, dengan alasan, mudah didefinisikan jika dibandingkan dengan sisi spiritual. Selain itu, ia juga menolak segi spiritual karena dianggap tumbuh dari pandangan agama.

Sebagian kalangan islam juga menolak pentingnya tafakkur, yang merupakan unsur penting dari suatu agama disamping tatanan hukum syariat. Mereka menganggap perbuatann itu adalah bid’ah.

Awal dari segala perbuatan adalah kegiatan berfikir dan kognitif dialam sadar. Berdasarkan hal itu, orang selalu berfikir panjang dan mendalam atau bertafakur akan dengan mudah melaksanakan segala ibadah dan ketaatan lainnya. Dalam hal ini Al Ghazaly dalam Ihya’nya mengatakan: “Jika ilmu sudah sampai dihati, keadaan hati akan berubah, jika hati sudah berubah, perilaku anggota badan akan berubah. Perbuatan mengikuti keadaan (hal), keadaan mengikuti ilmu, dan ilmu mengikuti pikiran, oleh karena itu pikiran adalah awal dan kunci segala kebaikan, dan yang menyingkapkan keutamaan tafakkur. Pikiran lebih baik daripada dzikir, karena pikiran adalah dzikir plus”. (Abu Hamid Al Ghazaly, Ihya’ ulumuddin jilid IV hal. 389)

Sebagaimana kegiatan berfikir adalah kunci kebaikan dan amal shaleh, ia juga merupakan segala perbuatan lahir dan bathin. Oleh karena itu, hati yang selalu merenung atau bertafakkur tentang ketinggian dan keagungan Allah Swt, serta memikirkan kehidupan akhirat, akan dapat membongkar dengan mudah niat-niat jahat yang terlintas dalam benaknya. Karena, ia memiliki kepekaan dan ketajaman sebagai hasil dzikir dan tafakkurnya yang berkesinambungan itu. Setiap kali terlintas suatu niat jahat atau buruk kedalam hati, maka pikiran, perasaan dan pandangan baiknya dapat segera mengetahui dan menguasainya, lalu menghancurkan keberadaannya. Seperti anggota badan yang sehat dapat menolak dan menghancurkan penyakit yang mencoba menghinggapinya.

Seorang yang alim yang menyambung malam dan siang dengan tafakkur tentang keagungan Allah, tentang kehidupan dunia dan akhirat adalah seorang yang terjaga. Manakala terlintas sedikit saja niat jelek yang mencoba menghampirinya, api kebaikan akan menghantamnya atau membakarnya, seperti lemparan api yang menjaga langit dari intaian syetan yang hendak mencuri pendengaran; “sesungguhnya orang-orang yang bertakwa apabila mereka ditimpa was-was dari syetan, mereka mengingat Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya (Qs Al A’raaf, 7 : 201)

Jadi, tafakkur memanfaaatkan segala fasilitas pengetahuan yang digunakan manusia dalam proses berfikir. Tafakkur adalah menerawang jauh dan menerobos alam dunia kedalam alam akhirat, dari alam ciptaan menuju kepada pencipta. Loncatan inilah yang disebut al ibrah, melihat jauh sarat pengetahuan.

Berfikir kadang hanya terbatas, pada upaya memecahkan masalah-masalah kehidupan dunia, yang mungkin terlepas dari emosi kejiwaan, sedang tafakur dapat menerobos sempitnya dunia ini menuju alam akhirat yang luas, keluar dari belenggu materi menuju alam spiritual yang tiada batas. Mungkin hal ini yang dimaksudkan oleh psikolog sebagai kecerdasan jiwa yang hebat.

Tafakkur dapat menggerakkan semua kegiatan kognitif serta pikiran dalam dan luar seorang mukmin. Dr. Malik Badri, ahli psikoterapi dari Sudan berpendapat, perwujudan tafakkur memiliki dan melalui tiga fase dan berakhir pada fase keempat, yang disebut istilah “syuhud”.

Diawali dengan pengetahuan yang didapat dari persepsi empiris yang langsung. Melalui alat pendengaran, alat raba, atau alat indra lainnya. Atau dengan tidak langsung, seperti pada fenomena imajinasi, atau kadang pengetahuan rasional yang abstrak. Sebagian besar pengetahuan ini tidak ada hubungannya dengan emosi atau sentimen.

Kalau seseorang memperdalam cara melihat dan mengamati sisi keindahan, kekuatan, keistimewaan lainnya yang dimiliki sesuatu, berarti ia telah berpindah dari pengetahuan dingin menuju rasa kekaguman akan keagungan ciptaan, susunannya rapi, peman-dangannya yang indah. Fase ini adalah fase kedua, fase tempat bergejolaknya perasaan. Kalau dengan perasaan ini ia berpindah menuju sang pencipta dengan penuh kekhusyu’an sehingga dapat merasakan kehadiran Allah dan sifat-sifat-Nya yang tinggi, berarti ia sudah berada pada fase ketiga.

Sekadar dapat memandang dan menyaksikan ciptaan-Nya tidak lebih dari fase awal yang primitif, pada fase ini antara pandangan seorang mukmin dan orang kafir tidak ada bedanya. Fase kedua, yaitu fase tadhawwuk, pengungkapan rasa kekaguman terhadap ciptaan atau susunan alam yang indah, fase ini dapat dirasakan, baik oleh orang mukmin maupun oleh orang kafir, tanpa mellihat sisi keimanan atau sisi kekufuran. Akan tetapi, pada fase pengetahuan ketiga yang menghu-bungkan antara perasaan akan keindahan ciptaan dan kerapian tatanan alam dengan penciptanya yang maha agung dan maha tinggi, merupakan nikmat besar yang hanya dapat dirasakan oleh orang mukmin.

Fase-fase tersebut merupakan perjalanan yang akan dialami oleh setiap orang yang melakukan tafakkur. Pada fase-fase ini adakalanya orang hanya sampai kepada keadaan primitip yaitu fenomena alam, baik yang kasat mata maupun yang abstrak (ghaib), yang oleh orang tertentu dimanfaatkan untuk melihat (kasyaf), yang lebih halus, pengobatan, dan kekuatan yang luar biasa.

Sarana-sarana tafakkur.

Didalam fenomena meditasi transendental pemusatan fikiran dengan mengulang-mengulang suatu gambaran pikiran tertentu atau makna suatu keyakinan (dzikir, mantra) memiliki nilai besar bagi orang yang melakukannya. Hal ini akan menghantarkannya pada angan-angan atau gambaran yang sangat dalam dan pada konsep-konsep baru tentang sesuatu objek pikir atau meditasi, lalu naik pada tingkatan bayangan dan gambatran yang paling dan sulit didapat dalam kehidupan rutin yang terbatas. Oleh karena itu pengalaman ini disebut meditasi transendental.

Pada mulanya tafakkur, meditasi transendental berlaku universal, pengalaman-pengalaman serta pengaruh yang dirasakanannya sama, apakah itu metode yang yang digagas oleh hindu, budha, kristen dan islam. Diantaranya yang dilakukan dalam meditasi ialah, pengosongan pikiran dan melupakan segala keruwetan dalam benak yang dapat mengganggu proses meditasi dan konsentrasi pada objek meditasi. Ia harus kembali mengonsentrasikan pikiran pada “apa” yang ia pilih sebagai objek pikiran dan meditasinya. Ia harus mengambil posisi duduk pasip yang rileks. Latihan ini harus selalu diulang-ulang, sehingga hari demi hari meditasi dan berfikirnya menjadi lebih dalam, badan terasa lebih ringan, fikiran menjadi bersih, jiwa menjadi sangat luas tak terbatas. Bersamaan dengan itu, hilang pula segala perasaan gelisah ,sedih, galau, dan segala gangguan jasmani yang dirasakan sebelumnya.

Seorang mukmin akan mudah menemukan cara meditasi semacam ini, karena metode ini memiliki kesamaan yang jelas dengan proses tafakkur tenntang penciptaan langit dan bumi yang disertai dzikir dan bertasbih kepada objek yang maha tak terjangkau yaitu Allah, baik berdiri, duduk rileks, berbaring. Kesamaannya terletak pada upaya pengkonsentrasian pikiran pada objek tertentu, ada yang menggunakan patung, irama musik, roh suci, mantra-mantra suci, dan membayangkan wujud syekh atau guru pembimbing spiritual. tujuannya adalah upaya melepaskan atau menjauhkan dari pengaruh yang menggangu konsentrasi, keruwetan angan-angan fikiran, perasaan, ataupun kebisingan dan
keramaian.

Keduanya juga sejalan dalam hal latihan, proses melihat dan mengulang kata-kata (dzikir), atau makna objek meditasi. Oleh karena, itu seseorang yang bertafakkur bertasbih, dan bermeditasi dapat menangkap makna dan pengetahuan baru yang sebelumnya tidak terlintas dalam hati. Keduanya menggunakan kedalaman tafakkur untuk membersihkan pengetahuan lahiriah dari belenggu penjara rutinitas kehidupan material menuju kebebasan menatap lepas keatas, menuju pengetahuan yang luas tak terbatas.

Kita akan berada di luar badan kecil ini, menjadi jiwa yang tidak terikat, mempunyai keluasan wujud dan kemampuan “melihat tanpa bola mata”, “mendengar tanpa daun telinga” dan merasakan keuniversalam jiwa yang tak terbatas oleh waktu dan ruang. “Inilah jiwa” yang memiliki “watak” yang sama dengan jiwa-jiwa lainnya; dimana hal yang membedakan adalah ” kemana akhir kembalinya jiwa”

Ada beberapa jalan yang digunakan orang untuk melakukan meditasi yaitu menatap dengan pikiran kepada suatu objek yang diyakininya. Serta sensasi yang mempengaruhi terhadap perilakunya. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Eckankar, didapatkan suatu sensasi yang terjadi pada pelaku meditator, dari seluruh aliran spiritual yang ada didunia. Eckankar menamainya kalam semesta Ilahi.

Ada jenis tahapan, serta kata-kata yang dijadikan sarana untuk tafakkur, jenis pengelompokan, suasana yang dirasakan didalam spiritual, serta penjelasan dan manfaatnya.

Alam Ilahi menurut Eckankar - (Lihat Lampiran )

Eckankar membawa kesadaran kita menuju alam spiritual dan batasan-batasan yang dicapai oleh para meditator. Betapa ia sangat teliti dan hati-hati dalam mengungkapkan keadaan atau suasana yang dialami oleh spiritualis, pengelompokan dan tahapan-tahapan agar menjadi catatan bagi para pemula didalam menjalani laku spiritual, terutama objek apa yang digunakan dalam menghantarkan jiwa kembali kepada eksistensi diri sejati.

Islam menempatkan Allah sebagai objek yang tak terbandingkan merupakan sarana membebaskan jiwa dari ikatan dan pengaruh alam yang dilaluinya, sehingga jiwa yang terlepas dari alam, mustahil syetan dan jin mampu menembus alam jiwa yang bebas (ikhlas).

Firman Allah : “Iblis menjawab: demi kekuasaan Engkau, aku akan menyesatkan mereka semua. Kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis diantara mereka” (Qs Shaad, 38: 82-83 )

Pada alam inilah jiwa mencapai puncak kesempurnaan spiritual tertinggi, dan Allahpun memanggilnya kembali kesisi-Nya.

“Wahai jiwa yang tenang ( yang tidak terikat oleh syahwatnya)” “Kembalilah kamu kepada Tuhanmu dengan rela dan meridhai” “Dan masuklah kamu kedalam syurga-Ku” ( Qs Al Fajr, 89 : 27-30)

Pada tahapan ini Eckankar tidak mengungkapkan lebih lanjut keberadaan jiwa sejati, ia hanya mengatakan diatas the sugmad adalah masih banyak tahapan yang belum terwujud.

Pada tahapan kesepuluh Anami lok, dan kata-kata yang digunakan sebagai objek spiritual adalah HU ( Hua), (dari konsep laa ilaha illa hua … tiada tuhan kecuali Dia) dia yang tak terbandingkan oleh sesuatu. Suatu konsep qurani yang membedakan dari jalan spiritual manapun dan akan terhindar dari jebakan kebisingan intuisi alam materi, yang banyak dipenuhi ‘anak-anak syetan yang menempati setiap ruang angkasa spiritual.

Dilanjutkan kepada tahapan sebelas alam sugmad dan tahapan duabelas sugmad yaitu tidak ada lagi kata-kata yang digunakan (sir). yaitu keadaan samudra cinta dan kalam Ilahi yang mengalir kepada jiwa muthmainnah (jiwa yang telah terbebas dari ikatan segala macam alam).

Kemenangan perjuangan Rasulullah menghadapi tantangan dan gangguan syetan saat beliau pergi mikraj dengan kekuatan jiwa muthmainnah.

Sabda nabi: “Orang yang gagah berani bukanlah orang yang dapat menyerbu musuhnya dengan tangkas dalam pertempuran, akan tetapi orang yang gagah berani itu sebenarnya yang kuasa dan mampu menahan hawa nafsunya” (al hadist)

“Kalaulah syetan-syetan itu tidak berkerumun di hati Bani Adam, niscaya mereka dapat memandang ke alam ghaib (abstrak)” (Hr Ahmad dari abu Hurairah)

Pada tahapan tertinggi (Al Araaf), kita akan mampu melihat fenomena-fenomena alam dibawah, seperti intuisi yang ditimbulkan oleh halusinasi, fikiran, perasaan, dan getaran gelombanggelombang pendek, yang dihembuskan syetan dan jin. Sebab jiwa telah melampaui tahapan-tahapan dari ikatan seluruh alam semesta menjulang menuju yang bukan alam, yaitu Dzat yang maha mutlak.

Firman Allah : Sesungguhnya orang-orang yag bertaqwa apabila mereka ditimpa was-was dari syetan, mereka mengingat Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya. (Qs Al A’raaf, 7: 201)

“Syetan-syetan itu tidak dapat mendengarkan (pembicaraan) para malaikat (alam yang tinggi) dan mereka dilemparkan dari segala penjuru” ( Qs As Shaaffaat, 37:8)

“Sesungguhnya syetan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Allah. Sesungguhnya kekuasaannya (syetan) hanyalah atas yang mengambilnya pemimpin dan atas orang yang mempersekutukannya dengan Allah” (Qs An Nahl, 16 :99 - 100)

Pada ayat ayat ini dijelaskan bahwa apabila objek meditasinya bukan tertuju kepada yang tak terhingga, yaitu zat yang tidak sama dengan makhluq-Nya, maka selain itu adalah wilayah syetan dan anak cucunya yang siap menerkam jiwa-jiwa yang tersesat. Maka jangan heran banyak ahli dzikir yang menyimpang seakan ia mendapatkan ilham dari Allah dan kemudian mengaku sebagai nabi, sebagai imam mahdi dan wali Allah. Dan dengan seenaknya ia meninggalkan perintah-perintah Allah, tidak shalat, tidak zakat, dan berperi laku kharikul adah (keluar dari ketentuan syariat Allah).

Untuk diketahui bahwa orang yang sampai kepada Allah adalah orang yang mampu menangkap ilham-ilham Allah dan itu tidak akan bertentangan dengan perintah yang tertulis dalam Al Qur’an dan Al sunnah.

Kesombongan dan keangkuhan merupakan bukti keadaan jiwa masih terikat oleh pengaruh alam ciptaan. Untuk itu islam menolak didalam ibadahnya menggunakan sarana yang bukan Allah, seperti pembayangan guru, wasilah rasul, dan mantra-mantra, untuk menghantarkan jiwanya menuju Allah. Hal ini mustahil akan sampai kepada Allah yang maha mutlak, sebab bayangan sesuatu hanya akan menyampaikan jiwa menuju alam yang paling rendah yaitu alam-alam halusinasi, kekuatan alam, kekuatan jin dan syetan.

Walaupun ia menggunakan sarana kalimat thayyibah (misalnya “Allah, laa ilaha illah, subhanallah”), kalimat-kalimat ini bukan sekedar kata-kata yang tidak mempunyai makna, seperti para meditator ketika memulainya meditasi menggunakan sarana bayangan roh suci, patung dan mantra-mantra suci, maka hasilnya akan menjadi sama saja dengan mereka. Hanya sampai kepada pemuasan rasa tenang dan bahagia semata dan memanfaaatkan fenomena-fenomena kekuatan ghaib untuk atraksi kekuasaan dan ke”aku”an manusia. Alam ini masih termasuk dunia syahwat.

Selama ilmu kita mengenai tuhan terbatas kepada apa yang dibayangkan oleh pikiran dan perasaan sebagai objek meditasi, selama itu pula kita berkutat dalam dunia spiritual yang menyimpang dari ketentuan islam.

Didalam akhir bab ini mari kita perhatikan firman-firman Allah tentang perdepatan kecil antara Allah dan syetan:

Allah berfirman : Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku- ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu merasa termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi ?

Iblis berkata ; Aku lebih baik dari padanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.

Allah berfirman: maka keluarlah kamu dari syurga, sesungguhnya kamu adalah orang yang terkutuk. Sesungguhnya kutukan-Ku tetap atas kamu sampai hari pembalasan. Iblis berkata: Ya Tuhanku beri tangguhlah aku sampai hari mereka dibangkitkan.

Allah berfirman: sesungguhnya kamu termasuk orang yang diberi tangguh. Sampai hari yang telah ditentukan waktunya (hari qiyamat) Iblis menjawab: Demi kekuasaan Engkau..aku akan menyesatkan mereka semua. Kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis diantara mereka. (Qs Shaad, 38 :75-83)

Demikian penjelasan keadaan atau suasana meditasi,serta tanjakan-tanjakan yang banyak dilalui orang didalam bermeditasi atau tafakkur yang bersifat universal. Hal yang membedakan adalah, akhir dari perjalanan jiwa tersebut yaitu kembali pasrah kepada Allah yang maha mutlak (berislam= berserah diri secara total)..Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un..(tidak berhenti pada tahapan-tahapan alam)

Pada bab berikutnya saya akan mengajak anda membuka cakrawala meditasi dengan melatih mental spiritual. Salah satunya adalah shalat, yang merupakan sarana mikrajnya orang mukmin .dengan shalat inilah kita menyadari bahwa kita bertemu dengan Tuhan yang maha Agung.

Setelah memahami seluruh rangkaian pengetahuan yang saya tulis didalam setiap artikel. Mudah-mudahan kita mendapatkan hidayah dari Allah Swt. amin

“Ya Allah, Ajari Kami Ingat Kepada-Mu, Bersyukur & Khusyu’ Beribadah”

0 komentar:

Posting Komentar