Sunan
Giri adalah nama salah seorang Walisongo dan pendiri kerajaan Giri
Kedaton, yang berkedudukan di daerah Gresik, Jawa Timur. Ia lahir di
Blambangan tahun 1442. Sunan Giri memiliki beberapa nama panggilan,
yaitu Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden ‘Ainul Yaqin
dan Joko Samudra. Ia dimakamkan di desa Giri, Kebomas, Gresik.
Silsilah
Beberapa babad menceritakan pendapat yang berbeda mengenai silsilah
Sunan Giri. Sebagian babad berpendapat bahwa ia adalah anak Maulana
Ishaq, seorang mubaligh yang datang dari Asia Tengah. Maulana Ishaq
diceritakan menikah dengan Dewi Sekardadu, yaitu putri dari Menak
Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir kekuasaan
Majapahit.
Pendapat lainnya yang menyatakan bahwa Sunan Giri juga merupakan keturunan Rasulullah Saw, yaitu melalui jalur keturunan
Husain bin Ali R.a, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja’far
ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad an-Naqib, Isa ar-Rumi, Ahmad
al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi
ats-Tsani, Ali Khali’ Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi
al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad
Syah Jalal (Jalaluddin Khan), Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana
Akbar), Maulana Ishaq, dan ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri).
Umumnya pendapat tersebut adalah berdasarkan riwayat pesantren-pesantren
Jawa Timur, dan catatan nasab Sa’adah BaAlawi Hadramaut.
Dalam Hikayat Banjar, Pangeran Giri (alias Sunan Giri) merupakan cucu
Puteri Pasai (Jeumpa) dan Dipati Hangrok (alias Brawijaya VI).
Perkawinan Puteri Pasai dengan Dipati Hangrok melahirkan seorang putera.
Putera ini yang tidak disebutkan namanya menikah dengan puteri Raja
Bali, kemudian melahirkan Pangeran Giri. Puteri Pasai adalah puteri
Sultan Pasai yang diambil isteri oleh Raja Majapahit yang bernama Dipati
Hangrok (alias Brawijaya VI). Mangkubumi Majapahit masa itu adalaha
Patih Maudara.
SYEKH MAULANA ISHAQ
Di awal abad 14 M, kerajaan Blambangan diperintah oleh Prabu Mena
Sembuyu, salah seorang keturunan Prabu Hayam Wuruk dari kerajaan
Majapahit. Raja dan rakyatnya memeluk agam Hindu dan sebagian ada yang
memeluk agama Budha.
Pada suatu hari Prabu Menak Sembuyu gelisah, demikian pula
permaisurinya pasalnya puteri mereka satu-satunya jatuh selama beberapa
bulan. Sudah diusahakan mendatangkan tabib dan dukun untuk mengobati
tapi sang puteri belum sembuh juga.
Memang pada waktu itu kerajaan Blambangan sedang dilanda wabah
penyakit. Banyak sudah korban berjatuhan. Menurut gambaran babad tanah
jawa esok sakit sorenya mati. Seluruh penduduk sangat prihatin, berduka
dan hampir semua kegiatan sehari-hari menjadi macet total.
Atas saran permaisuri Prabu Menak Sembuyu mengadakan sayembara, siapa
yang dapat menyembuhkan puterinya akan diambil menantu dan siapa yang
dapat mengusir wabah penyakit di Blambangan akan diangkat sebagai Bupati
atau Raja Muda. Sayembara disebar hampir keseluruh pelosok negeri.
Tapi sudah berbulan-bulan tidak juga ada yang dapat memenangkan
sayembara tersebut.
Permaisuri makin sedih hatinya, prabu Menak Sembuyu berusaha
menghibur isterinya dengan menugaskan Patih Baju Sengara untuk mencari
pertapa sakti guna mengobati penyakit puterinya.
Diiringi beberapa prajurit pilihan, Patih Baju Sengara berangkat
melaksanakan tugasnya. Para pertapa biasanya tinggal dipuncak
lereng-lereng gunung, maka kesanalah tujuan Patih Bajul Sengara.
Patih Bajul Sengara akhirnya bertemu dengan Resi Kandabaya yang
mengetahui adanya tokoh sakti dari negeri seberang. Orang yang dimaksud
adalah Syekh Maulana Ishaq yang sedang berdakwah secara
sembunyi-sembunyi di negeri Blambangan.
Patih Bajul Sengara bertemu dengan Syekh Maulana Ishaq yang sedang
bertafakkur disebuah goa. Syekh Maulana Ishaq mau mengobati puteri Prabu
Menak Sembuyu dengan syarat Prabu mau masuk atau memeluk agama Islam.
Syekh Maulana Ishaq memang piawai dibidang ilmu kedokteran, puteri Dewi
Sekar Dadu sembuh sekali diobati. Wabah penyakit juga lenyap dari
wilayah Blambangan. Sesuai janji Raja maka Syekh Maulana Ishaq
dikawinkan dengan Dewi Sekardadu. Kemudian diberi kedudukan sebagai
Adipati untuk menguasai sebagian wilayah Blambangan.
Hasutan Sang Patih
Tujuh bulan sudah Syekh Maulana Ishaq menjadi adipati baru di
Blambangan, makin hari semakin bertambah banyak penduduk Blambangan yang
memeluk agama Islam. Sementara Patih Bajul Sengara tak henti-hentinya
mempengaruhi sang prabu dengan hasutan-hasutan jahatnya. Hati Prabu
Menak Sembuyu jadi panas mengetahui hal ini.
Patih Bajul Sengara sendiri sepengetahuan sang Prabu sudah mengadakan
teroe pada pengikut Syekh Maulana Ishaq. Tidak sedikit penduduk
Kadipaten yang dipimpin Syekh Maulana Ishaq diculik, disiksa, dan
dipaksa kembali pada agama lama.
Pada saat itu Dewi Sekardadu sedang hamil tujuh bulan, Syekh
Maulana Ishaq sadar bila diteruskan akan terjadi pertumpahan darah yang
seharusnya tidak perlu. Kasihan rakyat jelata yang harus menanggung
akibatnya. Maka dia segera pamit kepada isterinya untuk meninggalkan
Blambangan.
Akhirnya, pada tengah malam dengan hati yang berat karena harus
meninggalkan isteri tercinta yang hamil tujuh bulan, Syekh Maulana Ishaq
berangkat meninggalkan Blambangan seorang diri. Esok harinya sepasukan
besar prajurit Blambangan yang dipimpin Patih Bajul Sengara menerobos
masuk wilayah Kadipaten yang sudah ditinggalkan Syekh Maulana Ishaq.
Dua bulan kemudian dari rahim Sekardadu lahir bayi laki-laki yang
elok rupanya. Sesungguhnya Prabu Menak Sembuyu dan permaisurinya merasa
senang dan bahagia melihat kehadiran cucunya yang montok dan rupawan
itu. Bayi itu lain daripada yang lain, wajahnya mengeluarkan cahaya
terang.
Lain halnya dengan Patih Bajul Sengara, dibiarkannya bayi itu
mendapat limpahan kasih sayang keluarganya selama empat puluh hari.
Sesudah itu dia menghasut Prabu Menak Sembuyu. Kebetulan pada saat itu
wabah penyakit berjangkit kembali di Blambangan, maka Patih baju Sengara
berulah lagi..
“Bayi itu..! Benar Gusti Prabu..! Cepat atau lambat bayi itu akan
menjadi bencan dikemudian hari. Wabah penyakit ini pun menurut
dukun-dukun terkenal diBlambangan ini disebabkan adanya hawa panas yang
memancar dari jiwa bayi itu..! ” Kilah patih Bajul Sengara dengan alasan
yang dibuat-buat.
Sang Prabu tidak cepat mengambil keputusan, dikarenakan dalam hatinya
dia terlanjur menyukai kehadiran cucunya itu. Namun sang Patih tiada
bosan-bosannya menteror dengan hasutan dan tuduhan keji yang akhirnya
sang Prabu terpengaruh juga.
Walau demikian tiada tega juga dia memerintahkan pembunuhan atas
cucunya itu secara langsung. Bayi yang masih berusia empat puluh hari
dimasukkan kedalam peti dan diperintahkan untuk dibuang ke samudera.
Joko Samudra
Pada suatu malam ada sebuah perahu dagang dari Gresik melintasi selat
Bali. Ketika perahu itu berada ditengah-tengah selat Bali tiba-tiba
terjadi keanehan, perahu itu tidak dapat bergerak, maju tak bisa mundur
pun tak bisa.
Nahkoda memerintahkan awak kapal untuk memeriksa sebab-sebab
kemacetan ini, meungkinkah perahunya membentur karang. Setelah diperiksa
ternyata perahu itu hanya menabrak sebuah peti berukir indah, seperti
peti milik kaum bangsawan yang digunakan menyimpan barang berharga.
Nahkoda memerintahkan mengambil peti itu. Semua orang terkejut karena
didalamnya terdapat seorang bayi mungil yang bertubuh montok dan
rupawan. Nahkoda merasa gembira menyelamatkan jiwa si bayi mungil itu,
tapi juga mengutuk orang yang tidak berperikemanusiaan.
Nahkoda kemudian memerintahkan awak kapal untuk melanjutkan pelayaran
ke pulau Bali. Tapi perahu tidak dapat bergerak maju. Ketika perahu
diputar dan digerakkan kearah Gresik ternyata perahu itu melaju dengan
cepatnya.
Dihadapan Nyai Ageng Pinatih janda kaya raya pemilik Kapal Nahkoda berkata sambil membuka peti itu. “Peti
inilah yang menyebabkan kami kembali ke Gresik dalam waktu secepat ini.
Kami tak dapat meneruskan pelayaran ke Pulau Bali,” kata sang nahkoda.
“Bayi…? Bayi siapa ini ?” gumam Nyai Ageng Pinatih sembari mengangkat bayi itu dari dalam peti.
“Kami menemukannya di tengah samudera selat Bali,” jawab nahkoda kapal.
Bayi ini kemudian mereka serahkan kepada Nyai Ageng Pinatih untuk
diambil sebagai anak angkat. Memang sudah lama dia menginginkan seorang
anak. Karena bayi ini ditemukan di tengah samudera maka Nyai Ageng
Pinatih kemudian memberinya nama Joko Samudra.
Ketika berumur 11 tahun, Nyai Ageng Pinatih mengantarkan Joko Samudra
untuk berguru kepada Raden Rahmat atau Sunan Ampel di Surabaya. Menurut
beberapa sumber mula pertama Joko Samudra setiap hari pergi ke
Surabaya dan sorenya kembali ke Gresik. Sunan Ampel kemudian menyarankan
agar anak itu mondok saja dipesantren Ampeldenta supaya lebih
konsentrasi dalam mempelajari agama Islam.
Pada suatu malam, seperti biasanya Raden Rahmat hendak mengambil air
wudhu guna melaksanakan sholat Tahajjud, mendo’akan muridnya dan
mendo’akan umat agar selamat di dunia dan di akhirat. Sebelum berwudhu
Raden Rahmat menyempatkan diri melihat-lihat para santri yang tidur di
asrama.
Tiba-tiba Raden Rahmat terkejut. Ada sinar terang memancar dari salah
seorang santrinya. Selama beberpa saat beliau tertegun, sinar terang
itu menyilaukan mata. Untuk mengetahui siapakah murid yang wajahnya
bersinar itu maka Sunan ampel memberi ikatan pada sarung murid itu.
Esok harinya, sesudah sholat shubuh Sunan Ampel memanggil murid-muridnya itu.
“Siapakah diantara kalian yang waktu bangun tidur kain sarungnya ada ikatan?” Tanya Sunan Ampel.
“Saya Kanjeng Sunan….”.ujar Joko Samudra.
Melihat yang mengacungkan tangan adalah Joko Samudra, Sunan Ampel
makin yakin bahwa anak itu pastilah bukan anak sembarangan. Kebetulan
pada saat itu Nyai Ageng Pinatih datang untuk menengok Joko Samudra,
kesempatan itu digunakan Sunan Ampel untuk bertanya lebih jauh tentang
asal-usul Joko Samudra.
Nyai Ageng Pinatih menjawab sejujur-jujurnya. Bahwa Joko Samudra
ditemukan ditengah selat Bali ketika masih bayi. Peti yang digunakan
untuk membuang bayi itu hingga sekarang masih tersimpan rapi dirumah
Nyai Ageng Pinatih.
Teringat pada pesan Syekh Maulana Ishaq sebelum berangkat ke negeri
Pasai maka Sunan Ampel kemudian mengusulkan Nyai Ageng Pinatih agar nama
anak itu diganti menjadi Raden Paku.
Nyai Ageng Pinatih menurut saja apa kata Sunan Ampel, dia percaya penuh
kepada wali besar yang dihormati masyarakat bahkan juga masih terhitung
seorang Pangeran Majapahit itu.
Raden Paku
Sewaktu mondok dipesantren Ampeldenta, Raden Paku sangat akrab
bersahabat dengan putera Raden Rahmat yang bernama Raden Makdum Ibrahim
yang kelak menjadi Sunan Bonang. Keduanya bagai saudara kandung saja,
saling menyayangi dan saling mengingatkan.
Setelah berusia 16 tahu, kedua pemuda itu dianjurkan untuk menimba
ilmu pengetahuan yang lebih tinggi di negeri seberang sambil meluaskan
pengetahuan.
Di negeri Pasai banyak orang pandai dari berbagai negeri. Disana juga
ada ulama besar yang bergelar Syekh Awwallul Islam. Dialah ayah kandung
yang nama aslinya adalah Syekh Maulana Ishaq.
“Pergilah kesana tuntutlah ilmunya yang tinggi dan teladanilah
kesabarannya dalam mengasuh para santri dan berjuang menyebarkan agama
Islam.
Hal itu akan berguna kelak bagi kehidupanmu di masa yang akan datang.”
Pesan itu dilaksanakan oleh Raden Paku dan Raden Makdum Ibrahim. Dan
begitu sampai di negeri Pasai keduanya disambut gembira, penuh rasa
haru, dan bahagia oleh Syekh Maulana Ishaq ayah kandung Raden Paku yang
tak pernah melihat anaknya sejak bayi.
Raden Paku menceritakan riwayat hidupnya sejak masih kecil ditemukan
ditengah samudera dan kemudian diambil anak angkat oleh Nyai Ageng
Pinatih dan berguru pada Sunan Ampel di Surabaya.
Sebaliknya Syekh Maulana Ishaq kemudian menceritakan pengalamannya di
saat berdakwah di Blambangan sehingga dipaksa harus meninggalkan isteri
yang sangat dicintainya.
Raden Paku menangis sesegukan mendengar kisah itu. Bukan menangis
kemalangan dirinya yang disia-siakan kakeknya yaitu Prabu Menak Sembuyu
tetapi memikirkan nasib ibunya yang tak diketahui lagi tempatnya berada.
Apakah ibunya masih hidup atau sudah meninggal dunia.
Di negeri Pasai banyak ulama besar dari negeri asing yang menetap dan
membuka pelajaran agama Islam kepada penduduk setempat, hal ini tidak
disia-siakan oleh Raden Paku dan Maulana Makdum Ibrahim. Kedua pemuda
itu belajar agama dengan tekun, baik kepada Syekh Maulana Ishaq sendiri
maupun kepada guru-guru agama lainnya.
Ada yang beranggapan bahwa Raden Paku dikaruniai Ilmu Laduni yaitu
ilmu yang langsung berasal dari Tuhan, sehingga kecerdasan otaknya
seolah tiada bandingnya. Disamping belajar ilmu Tauhid mereka juga
mempelajari ilmu Tasawuf dari ulama Iran, Baghdad, dan Gujarat yang
banyak menetap di negeri Pasai.
Ilmu yang dipelajari itu berpengaruh dan menjiwai kehidupan Raden
Paku dalam perilakunya sehari-hari sehingga kentara benar bila ia
mempunyai ilmu tingkat tinggi, ilmu yang sebenarnya hanya dimiliki ulama
yang berusia lanjut dan berpengalaman. Gurunya kemudian memberinya
gelar “Syekh Maulana Ainul Yaqin.”
Setelah tiga tahun berada di pusat Pasai. Dan masa belajarnya itu
sudah dianggap cukup oleh Syekh Maulana Ishaq, kedua pemuda itu
diperintahkan kembali ke tanah jawa. Oleh ayahnya, Raden Paku diberi
sebuah bungkusan kain putih berisi tanah.
Kelak, bila tiba masanya dirikanlah pesantren di Gresik, carilah
tanah yang sama betul dengan tanah dalam bungkusan ini disitulah kau
membangun pesantren, demikianlah pesan anahnya.
Kedua pemuda itu kemudian kembali ke Surabaya. Melaporkan segala
pengalamannya kepada Sunan Ampel. Sunan Ampel memerintahkan Makdum
Ibrahim berdakwah di Tuban, sedangkan Raden Paku diperintah pulang ke
Gresik kembali ke ibu angkatnya yaitu Nyai Ageng Pinatih
.
Membersihkan Diri
Pada usia 23 tahun, Raden Paku diperintah oleh ibunya untuk mengawal
barang dagangan ke pulau Banjar atau Kalimantan. Tugas ini diterimanya
dengan senang hati. Nahkoda kapal diserahkan kepada pelaut kawakan
yaitu Abu Hurairah. Walau pucuk pimpinan berada di tangan Abu Hurairah
tapi Nyai Ageng Pinatih memberi kuasa pula kepada Raden Paku untuk ikut
memasarkan dagangan di Pulau Banjar.
Tiga buah kapal berangkat meninggalkan pelabuhan Gresik dengan penuh
muatan. Biasanya, sesudah dagangan itu habis terjual di Pulau Banjar
maka Abu Hurairah diperintah membawa barang dagangan dari pulau Banjar
yang sekiranya laku di pulau Jawa, seperti rotan, damar, emas dan
lain-lain. Dengan demikian keuntungan yang diperoleh menjadi berlipat
ganda, tapi kali tidak, sesudah kapal merapat dipelabuhan Banjar, Raden
paku membagi-bagikan barang dagangannya dari Gresik itu secara gratis
kepada penduduk setempat.
Tentu saja hal ini membuat Abu Hurairah menjadi cemas. Dia segera memprotes tindakan Raden Paku,
“Raden….kita pasti akan mendapat murka Nyai Ageng Pinatih. Mengapa barang dagangan kita diberikan secara cuma-cuma?”
“Jangan khawatir paman”, kata Raden Paku.
“Tindakan saya ini sudah tepat. Penduduk Banjar saat ini sedang
dilanda musibah. Mereka dilanda kekeringan dan kurang pangan. Sedangkan
ibu sudah terlalu banyak mengambil keuntungan dari mereka, sudahkah ibu
memberikan hartanya dengan membayar zakat kepada mereka?
Saya kira belum, nah sekaranglah saatnya ibu mengeluarkan zakat untuk membersihkan diri.” kata Raden Paku
“Itu diluar wewenang saya Raden”, kata Abu Hurairah.
“Jika kita tidak memperoleh uang lalu dengan apa kita mengisi perahu supaya tidak oleng dihantam gelombang dan badai?”
Raden Paku terdiam beberapa saat. Dia sudah maklum bila dagangan
habis biasanya Abu Hurairah akan mengisi kapal atau perahu dengan barang
dagangan dari Kalimantan. Tapi sekarang tak ada uang dengan apa
dagangan pulau Banjar akan dibeli.
“Paman tak usah risau, kata Raden Paku dengan tenangnya. Supaya
kapal tidak oleng isilah karung-karung kita dengan batu dan pasir.” jawab Raden Paku
Memang benar, mereka dapat berlayar hingga dipantai Gresik dalam
keadaan selamat. Tapi hati Abu Hurairah menjadi kebat-kebit sewaktu
berjalan meninggalkan kapal untuk bertemu dengan Nyai Ageng Pinatih.
Dugaan Abu Hurairah benar. Nyai Ageng Pinatih terbakar amarahnya demi mendengar perbuatan Raden Paku yang dianggap tidak normal.
“Sebaiknya ibu lihat dulu” pinta Raden Paku.
“Sudah, jangan banyak bicara. Buang saja pasir dan batu itu. Hanya mengotori karung-karung kita saja” hardik Nyai Ageng Pinatih.
Tapi ketika awak kapal membuka karung-karung itu mereka terkejut.
Karung-karung itu isinya menjadi barang-barang dagangan yang biasa
mereka bawa dari banjar, seperti rotan, damar , kain, dan emas serta
intan. Bila ditaksir harganya jauh lebih besar ketimbang dagangan yang
disedekahkan kepada penduduk Banjar.
Perkawinan Raden Paku
Al-kisah ada seorang bangsawan Majapahit bernama Ki Ageng Supa
Bungkul ia mempunyai sebuah pohon delima yang aneh didepan rumahnya.
Setiap kali ada orang yang hendak mengambil buah delima yang berbuah
satu itu pasti mengalami nasib celaka, kalau tidak ditimpa penyakit
berat tentulah orang tersebut meninggal dunia. Suatu ketika Raden Paku
tanpa sengaja lewat didepan pekarangan Ki Ageng Supa Bungkul. Begitu ia
berjalan dibawah pohon delima tiba-tiba pohon itu jatuh mengenai kepala
Raden Paku.
Ki Ageng Bungkul pun tiba-tiba muncul dan mencegat Raden Paku dan ia berkata, “kau harus kawin dengan puteriku Dewi Wardah.”
Memang, Ki Ageng Bungkul telah mengadakan sayembara, siapa saja yang
dapat memetik buah delima itu dengan selamat maka ia akan dijodohkan
dengan puterinya yang bernama Dewi Wardah. Raden Paku bingung menghadapi
hal itu. Maka peristiwa itu disampaikan kepada Sunan Ampel.
“Tak usah bingung, Ki Ageng Bungkul adalah seorang muslim yang
baik. Aku yakin Dewi Wardah juga seorang muslimah yang baik. Karena hal
itu menjadi niat Ki Ageng Bungkul kuharap kau tidak mengecewakan niat
baiknya itu. “Demikian kata Sunan Ampel.
“Tapi…….bukankah saya hendak menikah dengan puteri Kanjeng Sunan Yaitu dengan Dewi Murtasiah” ujar Raden Paku.
“Tidak mengapa?” Kata Sunan Ampel.
“Sesudah melangsungkan akad nikah dengan Dewi Murtasiha selanjutnya kau akan melangsungkan perkawinan dengan Dewi Wardah.”
Itulah liku-liku perjalan hidup Raden Paku. Dalam sehari ia menikah
dua kali. Menjadi menantu Sunan Ampel, kemudian menjadi menantu Ki Ageng
Bungkul seorang bangsawan Majapahit yang hingga sekarang makamnya
terawat baik di Surabaya.
Sesudah berumah tangga, Raden Paku makin giat berdagang dan berlayar
antar pulau. Sambil berlayar itu beliau menyiarkan agama Islam pada
penduduk setempat sehingga namanya cukup terkenal di kepulauan
nusantara.
Lama-lama kegiatan dagang tersebut tidak memuaskan hatinya, ia ingin
berkonsentrasi menyiarkan agama Islam dengan mendirikan pondok
pesantren. Ia pun minta izin kepada ibunya untuk meninggalkan dunia
perdagangan.
Nyai Ageng Pinatih yang kaya raya itu tidak keberatan, andaikata
hartanya yang banyak itu dimakan setiap hari dengan anak dan menantunya
rasanya tiada akan habis, terlebih juragan Abu Hurairah orang
kepercayaan Nyai Ageng Pinatih menyatakan kesanggupannya untuk mengurus
seluruh kegiatan perdagangan miliknya, maka wanita itu ikhlas melepaskan
Raden Paku yang hendak mendirikan pesantren.
Mulailah Raden Paku bertafakkur di goa yang sunyi, 40 hari 40 malam
beliau tidak keluar goa. Hanya bermunajat kepada Allah. Tempat Raden
Paku bertafakkur itu hingga sekarang masih ada yaitu desa Kembangan dan
Kebomas.
Usai bertafakkur teringatlah Raden Paku pada pesan ayahnya sewaktu
belajar di negeri Pasai. Dia pun berjalan berkeliling daerah yang
tanahnya mirip dengan tanah yang dibawa dari negeri Pasai.
Melalui desa Margonoto, sampailah Raden Paku didaerah perbukitan yang
hawanya sejuk, hatinya terasa damai, ia pun mencocokkan tanah yang
dibawanya dengan tanah ditempat itu. Ternyata cocok sekali. Maka di desa
Sidomukti itulah ia kemudian mendirikan pesantren. Karena tempat itu
adalah dataran tinggi atau gunung maka dinamakanlah Pesantren Giri. Giri
dalam bahasa sansekerta artinya gunung.
Atas dukkungan isteri-isteri dan ibunya juga dukungan spiritual dari
Sunan ampel, tidak begitu lama hanya dalam waktu tiga tahun pesantren
Giri sudah terkenal ke seluruh nusantara.
Menurut Dr.H.J. De Graaf, sesudah pulang dari pengembaraannya atau
berguru ke negeri Pasai, ia memperkenalkan diri kepada dunia, kemudian
berkedudukan diatas bukit di Gresik dan ia menjadi orang pertama yang
paling terkenal dari Sunan-sunan Giri yang ada. Diatas gunung tersebut
seharusnya ada istana karena dikalangan rakyat dibicarakan adanya Giri
Kedaton (Kerajaan Giri). Murid-murid Sunan Giri berdatangan dari segala
penjuru, seperti Maluku, Madura, Lombok, Makasar, Hitu, dan Ternate.
Demikian menurut De Graaf.
Menurut babad tanah jawa murid-murid Sunan Giri itu justru bertebaran
hampir diseluruh penjuru benua besar, seperti Eropa (Rum), Arab, Mesir,
Cina, dan lain-lain. Semua itu adalah penggambaran nama Sunan Giri
sebagai ulama besar yang sangat dihormati orang pada jamannya. Disamping
pesantrennya yang besar ia juga membangun mesjid sebagai pusat ibadah
dan pembentukan iman umatnya. Untuk para santri yang datang dari jauh
beliau juga membangun asrama yang luas.
Disekitar bukti tersebut sebenarnya dahulu jarang dihuni oleh
penduduk dikarenakan sulitnya mendapatkan air. Tetapi dengan adanya
Sunan Giri masalah air itu dapat diatasi. Cara Sunan Giri membuat sumur
atau sumber air itu sangat aneh dan ghaib hanya beliau seorang yang
mampu melakukannya.
Peresmian Mesjid Demak
Dalam peresmian mesjid Demak Sunan Kalijaga mengusulkan agar dibuka
dengan pertunjukkan wayang kulit yang pada waktu itu bentuknya masih
wayang beber yaitu gambar manusia yang dibeber pada sebuah kulit
binatang.
Usul Sunan Kalijaga ditolak oleh Sunan Giri, karena wayang yang
bergambar manusia haram hukumnya dalam ajaran Islam, demikian menurut
Sunan Giri.
Jika sunan Kalijaga mengusulkan peresmian mesjid Demak dengan membuka
pagelaran wayang kulit, kemudian diadakan dakwah dan rakyat berkumpul
boleh masuk setelah mengucapkan syahadat, maka Sunan Giri mengusulkan
agar mesjid Demak diresmikan pada saat hari Jum’at sembari melaksanakan
Sholat jamaah Jum’at.
Sunan Kalijaga berjiwa besar kemudian mengadakan kompromi dengan
Sunan Giri. Sebelum Sunan Kalijaga telah merubah bentuk wayang kulit
sehingga gambarannya tidak bisa disebut sebagai gambar manusia lagi,
lebih mirip karikatur seperti bentuk wayang yang ada sekarang ini.
Sunan Kalijaga membawa wayang kreasinya itu dihadapan Sidang para
wali. Karena tidak bisa disebut gambar manusia maka akhirnya Sunan Giri
menyetujui wayang kulit itu digunakan sebagai media dakwah.
Perubahan bentuk wayang kulit itu adalah dikarenakan sanggahan Sunan
Giri. Karena itu Sunan Kalijaga memberi tanda khusus pada momentum
penting itu. Pemimpin para dewa dalam pewayangan oleh Sunan Kalijaga
dinamakan Sang Hyang Girinata yang arti sebenarnya adalah sunan Giri
yang menata.
Maka perdebatan tentang peresmian mesjid Demak bisa diatasi.
Peresmian itu akan diawali dengan sholat jum’at kemudian diteruskan
dengan pertunjukkan wayang kulit yang dimainkan oleh ki dalang Sunan
Kalijaga.
Jasa-jasa Sunan Giri
Jasa yang terbesar tentu saja perjuangannya dalam menyebarkan agama Islam di tanah jawa bahkan ke nusantara.
Beliau pernah menjadi hakim dalam perkara pengadilan Syekh Siti
Jenar, seorang wali yang dianggap murtad karena menyebarkan faham
Pantheisme dan meremehkan syari’at Islam yang disebarkan para wali
lainnya. Dengan demikian sunan Giri ikut menghambat tersebarnya aliran
yang bertentangan dengan faham Ahlussunnah wal jama’ah.
Keteguhannya dalam menyiarkan agama Islam secara murni dan konsekuen
membawa dampak positif bagi generasi Islam berikutnya. Islam yang di
syiarkannya adalah Islam sesuai ajaran Nabi Muhammad Saw tanpa dicampuri
dengan adat istiadat lama.
Di dalam kesenian beliau juga berjasa besar, karena beliaulah yang
pertama kali menciptakan Asmaradana dan Pucung, beliau pula yang
menciptakan tembang dan tembang dolanan anak-anak yang bernafas Islam
antara lain: Jamuran, Cublak-cublak Suweng, Jithungan, dan Delikan.
Sembari melakukan permainan yang disebut Jelungan itu biasanya anak-anak akan menyanyikan lagu Padhang Bulan:
“Padhang-padhang bulan, ayo gage dha dolanan,
Dolanane na ing latar,
Ngalap padhang gilar-gilar,
Nundhung begog hangetikar.”
(malam terang bulan, marilah lekas bermain, bermain dihalaman,
mengambil dihalaman, mengambil manfaat benderangnya rembulan, mengusir
gelap yang lari terbirit-birit)
Maksud dari lagu dolanan padhang bulan ;
Agama Islam telah datang, maka marilah kita segera menuntut penghidupan,
dimuka bumi ini, untuk mengambil manfaat dari agama Islam, agar hilang
lenyaplah kebodohan dan kesesatan.
Para Pengganti Sunan Giri
Sunan Giri atau Raden Paku lahir pada tahun 1412 M, memerintah
kerajaan Giri kurang lebih 20 tahun. Sewaktu memerintah Giri Kedaton
beliau bergelar “Prabu Satmata.”
Pengaruh Sunan giri sangatlah besar terhadap kerajaan Islam di jawa
maupun di luar jawa. Sebagi buktinya adalah adanya kebiasaan bahwa
apabila seorang hendak dinobatkan menjadi raja haruslah mendapat
pengesahan dari Sunan Giri.
Giri Kedaton atau Kerajaan Giri berlangsung selama 200 tahun. Sesudah
Sunan Giri meninggal dunia beliau digantikan anak keturunannya yaitu:
Sunan Dalem
Sunan Sedomargi
Sunan Giri Prapen
Sunan Kawis Guwa
Panembahan Ageng Giri
Panembahan Mas Witana Sideng Rana
Pangeran Singonegoro (bukan keturunan Sunan Giri)
Pangeran Singosari
Pangeran Singosari ini berjuang gigih mempertahankan diri dari
serbuan Sunan Amangkurat II yang dibantu oleh VOC dan Kapten Jonker.
Sesudah pangeran Singosari wafat pada tahun 1679, habislah kekuasaan
Giri Kedaton. Meski demikian kharisma Sunan Giri sebagai ulama besar
wali terkemuka tetap abadi sepanjang masa.
0 komentar:
Posting Komentar