Asal Usul
Menurut salah satu sumber, Sunan Kudus dilahirkan dengan nama Sayyid
Ja’far Shadiq Azmatkhan. Dia adalah putera dari pasangan Raden Usman
Haji yang bergelar Sunan Ngudung dari Jipang Panolan (Sayyid Ustman
Haji) dengan Syarifah Dewi Rahil binti Sunan Bonang. Lahir pada 9
September 1400M/ 808 Hijriyah. Bapaknya yaitu Sunan Ngudung adalah
putera Sultan di Palestina yang bernama Sayyid Fadhal Ali Murtadza (Raja
Pandita/Raden Santri) yang berhijrah fi sabilillah hingga ke Jawa dan
sampailah di Kekhilafahan Islam Demak dan diangkat menjadi Panglima
Perang.
Sunan Kudus sejatinya bukanlah asli penduduk Kudus, ia berasal dan
lahir di Al-Quds negara Palestina. Kemudian bersama kakek, ayah, dan
kerabatnya berhijrah ke Tanah Jawa.
Silsilah
Nama Ja’far Shadiq diambil dari nama datuknya yang bernama Ja’far
ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi
Thalib R.a yang beristerikan Fatimah az-Zahra binti Muhammad Saw.
Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Ustman Haji, dengan
Syarifah Ruhil atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran binti
Nyai Ageng Melaka binti Sunan Ampel.
Sunan Kudus adalah keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad Saw.
Sunan Kudus bin Sunan Ngudung bin Fadhal Ali Murtadha bin Ibrahim
Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad Jalaluddin bin
Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad
Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin
Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi
bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin
Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah
Saw
Sunan Kudus Dalam Babad Tanah Jawi
Babad Tanah Jawi (selanjutnya disebut BTJ) adalah terjemahan dari
Punika Serat Babad Tanah Jawi Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegiing Taoen
1647 yang disusun oleh W. L. Olthof di Leiden, Belanda, pada tahun 1941.
Seperti pada pengertian babad pada umumnya, di sini terdapat
cerita-cerita tentang pendirian sebuah negara (kerajaan) dan
peristiwa-peristiwa yang terjadi di seputar kerajaan tersebut.
“…Orang di tanah Jawa taat serta menganut agama Islam. Mereka
bermusyawarah akan mendirikan masjid di Demak. Para wali saling berbagi
tugas, semua sudah siap sedia. Hanya Sunan Kali Jaga yang masih
ketinggalan, bagian garapannya belum berbentuk, sebab sedang tirakat di
Pamantingan. Sekembalinya ke Demak, masjid sudah akan didirikan. Sunan
Kalijaga segera mengumpulkan sisa-sisa kayu bekas sudah menjadi tiang.
Pagi harinya tanggal 1 bulan Dulkangidah masjid didirikan dengan
sengkalan tahun 1428.
Kiblat di masjid searah dengan ka’bah di Mekkah. Penghulunya Sunan
Kudus. Setelah beberapa Jum’at berdirinya masjid tadi, ketika para wali
sedang berdzikir bersama di masjid itu, Sunan Kudus duduk khusyuk
bertafakur di bawah beduk, tiba-tiba ada bungkusan jatuh dari atas-buku
kulit kambing, di dalamnya ada sajadah serta selendang Kanjeng Rasul.”
“Pada waktu itu banyak orang Jawa yang belajar agama Islam,
kedigdayaan, dan kekuatan badan. Ada dua orang guru yang terkenal, yaitu
Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus. Sunan Kudus itu muridnya tiga orang,
yaitu Arya Penansang di Jipang, Sunan Prawata, dan Sultan Pajang (Joko
Tingkir). Dan Murid yang paling disayang adalah Arya Penansang.
Waktu itu Sunan Kudus sedang duduk-duduk di rumahnya dengan Pangeran
Arya Penansang, Sunan Kudus berkata kepada Arya Penansang, “Orang
membunuh sesama guru itu, hukumnya apa?”
Perlahan jawab Arya Penangsang, “Hukumnya harus dibunuh, tetapi saya belum tahu siapa yang berbuat demikian itu.”
Sunan Kudus berkata,”Kakakmu di Prawata.”
Arya Penansang setelah mendengar perintah Sunan Kudus, bersedia
membunuh Sunan Prawata. Ia lalu mengutus abdi pengawalnya bernama
Rangkud dan diperintah untuk membunuh Sunan Prawata. Rangkud lalu
berangkat. Sesampai di Prawata ketemu dengan Sunan Prawata yang sedang
sakit dan bersandar pada isterinya.
Setelah melihat Rangkud Sunan Prawata bertanya, “Kamu itu orang siapa?”
Rangkud menjawab, “Saya adalah utusan Arya Penansang, memerintahkan untuk membunuhmu.”
Sunan Prawata berkata, “Ya, terserah, tetapi saya sendiri sajalah yang engkau bunuh, jangan mengikutkan orang lain.”
Rangkud lalu menusuk sekuat-kuatnya. Dada Sunan Prawata tembus sampai
ke punggungnya serta menembus dada isterinya. Sunan Prawata setelah
melihat isterinya terluka, segera mencabut kerisnya yang bernama Kyai
Betok, lalu dilemparkan ke Rangkud. Si Rangkud tergores oleh kembang
kacang (hiasan pada pangkal keris), ia jatuh di tanah lalu tewas. Sunan
Prawata dan isterinya juga meninggal dunia. Meninggalnya ber-sinengkalan
tahun 1453. Arya Penangsang begitu tega membunuh Sunan Prawata sebab
ayahnya juga dibunuh oleh Sunan Prawata, saat pulang dari sholat Jum’at.
Ia dicegat di tengah jalan oleh utusan Sunan Prawata bernama Sura Yata.
Ki Sura Yata tadi juga sudah dibunuh oleh teman ayahnya Arya Jipang.
Sunan Prawata tadi mempunyai saudara perempuan namanya Ratu Kali
Nyamat. Dia begitu tidak terima atas kematian saudara laki-lakinya itu.
Lalu berangkat ke Kudus bersama suaminya berniat minta keadilan kepada
Sunan Kudus.
Lalu jawab Sunan Kudus, “Kakakmu itu sudah hutang pati pada Arya Penangsang. Sekarang tinggal membayar hutang itu saja.”
Ratu Kali Nyamat mendengar jawaban Sunan Kudus itu sangat sakit hatinya.
Lalu kembali pulang. Di tengah jalan dibegal utusannya Arya Penansang.
Suaminya dibunuh. Ratu Kali Nyamat sangat terpukul hatinya. Sebab baru
saja kehilangan saudaranya, lalu kehilangan suaminya. Ia jadi sangat
menderita. Lalu bertapa telanjang di Bukit Dana Raja. Sebagai ganti kain
untuk menutup auratnya adalah rambutnya yang diurai. Ratu Kalinyamat
berprasetia tidak mau memakai kain selama hidup jika Arya Penansang
belum meninggal. Ia bernadzar barang siapa dapat membunuh Arya Jipang,
dia akan mengabdi kepadanya dan akan menyerahkan seluruh kekayaannya.
Pada suatu ketika Sunan Kudus sedang berbincang-bincang dengan Arya
Penangsang, Sunan Kudus berkata, “Kakakmu Sunan Prawata dan Kali Nyamat
sekarang sudah mati, tapi belum lega rasanya kalau belum menguasai tanah
Jawa semua. Jika masih ada adikmu Sultan Pajang (Joko Tingkir) saya
kira tidak mungkin bisa jadi raja, sebab dia adalah penghalang.”
Arya Penansang berkata, “Jika diperkenankan atas izin Sunan Kudus,
Pajang akan saya gempur dengan perang, adik saya di Pajang akan saya
bunuh supaya tidak ada penghalang.”
Sunan Kudus menjawab, “Maksudmu itu saya kurang setuju sebab akan
merusak negara serta banyak korban. Adapun maksud saya, kakakmu di
Pajang bisa mati, secara diam-diam saja, jangan diketahui banyak orang.”
Arya Penangsang menjawab sangat setuju. Lalu mengutus abdi pengawal
untuk menculik dan membunuh Sultan Pajang (Joko Tingkir). Utusan segera
berangkat. Datang di Pajang tengah malam, lalu masuk ke dalam istana.
Sultan Pajang (Joko Tingkir) sedang tidur berselimut kain kampuh,
jarik/kain sarung. Para isterinya tidur di bawah. Utusan menerjang dan
menusuk dengan sekuat tenaga. Sultan Pajang (Joko Tingkir) tidak mempan
(kebal), masih enak tidur saja. Kain yang digunakan untuk berselimut itu
pun tidak tertembus. Para isteri terkejut, bangun, menangis, dan
menjerit. Sultan Pajang (Joko Tingkir) terkejut juga dan bangun. Kain
selimut terlempar menerpa para utusan itu, mereka terjatuh terkapar di
tanah, tidak ada yang dapat pergi….”
Asal-Usul Nama Kota Kudus
Dahulu kota Kudus masih bernama Tajug. Kata warga setempat, awalnya
ada Kyai Telingsing yang mengembangkan kota ini. Telingsing sendiri
adalah panggilan sederhana kepada The Ling Sing, seorang Muslim Cina
asal Yunnan, Tiongkok. Ia sudah ada sejak abad ke-15 Masehi dan menjadi
cikal bakal Tionghoa muslim di Kudus. Kyai Telingsing seorang ahli seni
lukis dari Dinasti Sung yang terkenal dengan motif lukisan Dinasti Sung,
juga sebagai pedagang dan mubaligh Islam terkemuka. Setelah datang ke
Kudus untuk menyebarkan Islam, didirikannya sebuah masjid dan pesantren
di kampung Nganguk. Raden Undung yang kemudian bernama Ja’far Thalib
atau lebih dikenal dengan nama Sunan Kudus adalah salah satu santrinya
yang ditunjuk sebagai penggantinya kelak. [5].
Kota ini sudah ada perkembangan tersendiri sebelum kedatangan Ja’far
Shodiq. Beberapa kisah tutur percaya bahwa Ja’far itu seorang penghulu
Demak yang menyingkir dari kerajaan. Awal kehidupan Sunan Kudus di Kudus
adalah dengan berada di tengah-tengah jamaah dalam kelompok kecil.
Penafsiran lainnya itu memperkirakan bahwa kelompok kecilnya itu adalah
para santrinya sendiri yang dibawa dari Demak sana, sekaligus juga
tentara yang siap memerangi Majapahit. Versi lainnya mereka itu adalah
warga setempat yang dipekerjakannya untuk menggarap tanah ladang.
Berarti ada kemungkinan juga Ja’far memenuhi kebutuhan hidupnya di Kudus
dimulai dengan menggarap ladang.
Guru-gurunya
Disamping belajar agama kepada ayahnya sendiri, Ja’far Sodiq juga
belajar kepada beberapa ulama terkenal. Diantaranya kepada Kyai
Telingsing, Ki Ageng Ngerang, dan Sunan Ampel.
Nama asil Kyai Telingsing ini adalah Ling Sing, beliau adalah seorang
ulama dari negeri cina yang datang ke pulau jawa bersama laksamana
jenderal Cheng Hoo. Sebagaimana disebutkan dalam sejarah, jenderal Cheng
Hoo yang beragama Islam itu datang ke pulau jawa untuk mengadakan tali
persahabatan dan menyebarkan agama Islam melalui perdagangan.
Di jawa, the Ling Sing cukup dipanggil dengan sebutan Telingsing,
beliau tinggal di sebuah daerah subur yang terletak diantara sungai
Tanggulangin dan sungai Juwana sebelah Timur. Disana beliau bukan hanya
mengajarkan Islam, melainkan juga mengajarkan kepada penduduk seni ukir
yang indah.
Banyak yang datang berguru seni kepada Kiai Telingsing, termasuk
Ja’far Sodiq itu sendiri. Dengan belajar kepada ulama yang berasal dari
cina itu, Raden Ja’far Sodiq mewarisi bagian dari sifat positif
masyarakat cina yaitu ketekunan dan kedisiplinan dalam mengejar atau
mencapai cita-cita. Hal ini berpengaruh besar bagi kehidupan dakwah
Ja’far Sodiq dimasa akan datang yaitu tatkala menghadapi masyarakat yang
kebanyakan masih beragama Hindu dan Budha.
Selanjutnya, Raden Ja’far Sodiq juga berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya selama beberapa tahun.
Fakta Mengenai Sunan Kudus
Sunan Kudus berhasil menampakkan warisan budaya dan tanda dakwah
islamiyahnya yang dikenal dengan pendekatan kultural (budaya) yang
begitu kuat. Hal ini sangat nampak jelas pada Menara Kudus yang
merupakan hasil akulturasi budaya antara Hindu-China-Islam yang sering
dikatakan sebagai representasi menara multikultural. Aspek material dari
Menara Kudus yang membawa kepada pemaknaan tertentu melahirkan ideologi
pencitraan tehadap Sunan Kudus.
Oleh Roland Barthes disebut dengan mitos (myth), yang merupakan system
komunikasi yang memuat pesan (sebuah bentuk penandaan). Ia tak dibatasi
oleh obyek pesannya, tetapi cara penuturan pesannya. Mitos Sunan Kudus
selain dapat ditemui pada peninggalan benda cagar budayanya, juga bisa
ditemukan di dalam sejarah, gambar, legenda, tradisi, ekspresi seni
maupun cerita rakyat yang berkembang di kalangan masyarakat Kudus. Kini
ia populer sebagai seorang wali yang toleran, ahli ilmu, gagah berani,
kharismatik, dan seniman.
Satu fakta utama yang dapat masyarakat lihat pada mata uang kertas
Rp. 5.000,00 dengan gambar Menara Kudus. Ini merupakan suatu bentuk
apresiasi dari Gubernur Bank Indonesia yang dijabat oleh Arifin Siregar
pada masa itu.
Berikut petikan sambutannya:
“…Kami sewaktu bertugas sebagai Gubernur Bank Indonesia mendapat
kesempatan untuk mengeluarkan uang kertas Lima Ribu Rupiah dengan gambar
Menara Kudus. Hal ini kami lakukan antara lain mengingat keindahan dan
kenggunan Menara Kudus. Disamping itu Menara Kudus merupakan salah satu
peninggalan sejarah Indonesia yang perlu dilestarikan dan diperkenalkan
kepada masyarakat kita dan juga khalayak luar negeri.”
Mengenai hari jadi kota Kudus sendiri (23 September 1549, berdasarkan
Perda No. 11 Tahun 1990 yang diterbitkan tanggal 6 Juli 1990) memang
tak bisa dilepaskan dari patriotisme Sunan Kudus sendiri. Bukti nyatanya
dapat dilihat dalam inskripsi yang terdapat pada Mihrab di Masjid
Al-Aqsa Kudus yang dibangun pada 956 H/1549 M oleh Sunan Kudus. Maka
dalam setiap perayaan hari jadinya tak pernah lupa semangat dan
patriotisme Sunan Kudus dalam memajukan rakyat dan ummatnya.
Menurut Muliadi via Castles (1982); Ismudiyanto dan Atmadi (1987); dan Suharso (1992), menyebutkan bahwa: “
Dalam sejarah, Kudus Kulon dikenal sebagai kota lama dengan diwarnai
oleh kehidupan keagamaan dan adat istiadatnya yang kuat dan khas serta
merupakan tempat berdirinya Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus; serta
merupakan pusat tempat berdirinya rumah-rumah asli (adat pencu).
Sementara Kudus Wetan terletak di sebelah Timur Sungai Gelis, dan
merupakan daerah pusat pemerintahan, pusat transportasi, dan daerah
pusat perdagangan.”
Salah satu bentuknya ialah tarian Buka Luwur yang menggambarkan
sejarah perjalanan masyarakat Kudus sepeninggal Sunan Kudus hingga
terbentuk satuan wilayah yang disebut Kudus. Tradisi ini telah menjadi
kegiatan rutin pengurus Menara Kudus setiap tanggal 10 Muharram dengan
dukungan umat Islam baik di Kudus maupun sekitarnya. Ini merupakan
prosesi pergantian kelambu pada makam Sunan Kudus diiringi doa-doa dan
pembacaan kalimah Thoyyibah (tahlil, shalawat, istighfar, dan
surat-surat pendek Al-Qur’an yang sebelumnya telah didahului dengan
Khataman Qur’an secara utuh).
Ada lagi tradisi Dhandangan yang digelar setahun sekali menjelang
bulan Ramadhan. Pada masa Sunan Kudus tradisi ini ditandai dengan
pemukulan bedug di atas Menara Kudus (berbunyi “dhang dhang dhang”).
Tradisi ini pun memperkuat eksistensi Sunan Kudus. Selain itu masyarakat
Kudus hingga saat ini tak pernah berani menyembelih sapi/lembu sebagai
suatu penghormatan kepada Sunan Kudus yang mana dakwahnya menekankan
unsure kebijaksanaan dan toleransi karena kala itu masyarakat Kudus
masih beragama Hindu yang mensucikan hewan lembu. Kini, setiap Kamis
malam makam Kanjeng Sunan Kudus selalu ramai oleh peziarah dengan
beragam latar beragam latar belakang dan etnis, dari berbagai daerah.
Mereka datang dengan beragam cara, baik sendiri maupun bersama
rombongan. Pada momen-momen tertentu ada yang datang dari mancanegara.
Fenomena pencitraan ini berhasil menjadi sumber penggerak dalam
bertindak (untuk beberapa hal), Bourdieu menyebutnya sebagai “tindakan
yang bermakna” baik keberagamaan maupun fenomena budaya lainnya. Citra
Sunan Kudus dalam masyarakat Kudus telah melewati kuasa dan pertarungan
sistem tanda yang merekontruksi budaya lokal mereka. Suatu tandanya
dapat dihubungkan dengan tanda lain yang dapat ditemui dalam model
keberagamaan maupun kontruksi budaya masyarakat agama (Islam). Jadilah
mereka memiliki identitas keislaman yang khas dan unik serta memiliki
warisan spirit dan patriotisme yang melegenda. Hal ini terus digali
hingga menjadi model dalam sosial-budaya dan sikap keberagamaan umat
Islam (suatu identitas kultural).[8]
Dakwah Sunan Kudus
Beliau adalah Sunan Kudus yang bernama asli Syekh Ja’far Shodiq.
Beliau pula yang menjadi salah satu dari anggota Wali Sanga sebagai
penyebar Islam di Tanah Jawa. Sosok Sunan Kudus begitu sentral dalam
kehidupan masyarakat Kudus dan sekitarnya. Kesentralan itu terwujud
dikarenakan Sunan Kudus telah memberikan pondasi pengajaran keagamaan
dan kebudayaan yang toleran.
Tak heran, jika hingga sekarang makam beliau yang berdekatan dengan
Menara Kudus selalu ramai diziarahi oleh masyarakat dari berbagai
penjuru negeri. Selain itu, hal tersebut sebagai bukti bahwa ajaran
toleransi Sunan Kudus tak lekang oleh zaman dan justru semakin relevan
ditengah arus radikalisme dan fundamentalisme beragama yang semakin
marak dewasa ini.
Dalam perjalanan hidupnya, Sunan Kudus banyak berguru kepada Sunan
Kalijaga. Cara berdakwahnya pun sejalan dengan pendekatan dakwah Sunan
Kalijaga yang menekankan kearifan lokal dengan mengapresiasi terhadap
budaya setempat.
Beberapa nilai toleransi yang diperlihatkan oleh Sunan Kudus terhadap
pengikutnya yakni dengan melarang menyembelih sapi kepada para
pengikutnya. Bukan saja melarang untuk menyembelih, sapi yang notabene
halal bagi kaum muslim juga ditempatkan di halaman masjid kala itu.
Langkah Sunan Kudus tersebut tentu mengundang rasa simpatik
masyarakat yang waktu itu menganggap sapi sebagai hewan suci. Mereka
kemudian berduyun-duyun mendatangi Sunan Kudus untuk bertanya banyak hal
lain dari ajaran yang dibawa oleh beliau.
Lama-kelamaan, bermula dari situ, masyarakat semakin banyak yang
mendatangi masjid sekaligus mendengarkan petuah-petuah Sunan Kudus.
Islam tumbuh dengan cepat. Mungkin akan menjadi lain ceritanya jika
Sunan Kudus melawan arus mayoritas dengan menyembelih sapi.
Selain berdakwah lewat sapi, bentuk toleransi sekaligus akulturasi
Sunan Kudus juga bisa dilihat pada pancuran atau padasan yang berjumlah
delapan yang sekarang difungsikan sebagai tempat berwudlu. Tiap-tiap
pancurannya dihiasi dengan relief arca sebagai ornamen penambah
estetika. Jumlah delapan pada pancuran mengadopsi dari ajaran Budha
yakni Asta Sanghika Marga atau Delapan Jalan Utama yang menjadi pegangan
masyarakat saat itu dalam kehidupannya. Pola akulturasi budaya lokal
Hindu-Budha dengan Islam juga bisa dilihat dari peninggalan Sunan Kudus
berupa menara. Menara Kudus bukanlah menara yang berarsitektur bangunan
Timur Tengah, melainkan lebih mirip dengan bangunan Candi Jago atau
serupa juga dengan bangunan Pura di Bali.
Menara tersebut difungsikan oleh Sunan Kudus sebagai tempat adzan dan
tempat untuk memukul bedug setiap kali datangnya bulan Ramadhan. Kini,
menara yang konon merupakan menara masjid tertua di wilayah Jawa
tersebut dijadikan sebagai landmark Kabupaten Kudus.
Strategi (akulturasi) dakwah Sunan Kudus adalah suatu hal yang
melampaui zamannya. Melampaui zaman karena dakwah dengan mengusung
nilai-nilai akulturasi saat itu belumlah ramai dipraktikkan oleh
penyebar Islam di Indonesia pada umumnya.
Kini, toleransi beragama berada di titik nadir. Ironisnya, toleransi
beragama tak cuma menjadi barang mahal tetapi sudah terlalu langka.
Dengan jalan menghidupkan kembali esensi serta spirit dakwah Sunan
Kudus, kiranya masyarakat muslim bisa mengembalikan lagi wajah Islam
yang ramah dan toleran setelah sebelumnya dihinggapi oleh stigma
negatif.Ajaran Toleransi Ala Sunan Kudus.
Dalam berdakwah Sunan Kudus menggunakan beberapa strategi pendekatan
kepada masyarakat yang umumnya masih terikat dengan ajaran Animisme dan
Dinamisme. Strategi-dtrategi tersebut antara lain:
A. Strategi Pendekatan kepada Massa
Sunan Kudus termasuk pendukung gagasan, Sunan Kalijaga dan Sunan
Bonang yang menerapkan strategi dakwah kepada masyarakat sebagai berikut
:
Membiarkan dulu adat istiadat dan kepercayaan lama yang sukar
dirubah. Mereka sepakat untuk tidak mempergunakan jalan kekerasan atau
radikal menghadapi masyarakat yang demikian.
Bagian adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi mudah dirubah maka segera dihilangkan.
Tut Wuri Handayani, artinya mengikuti dari belakang
terhadap kelakuan dan adat rakyat tetapi diusahakan untuk dapat
mempengaruhi sedikit demi sedikit dan menerapkan prinsip Tut Wuri Hangiseni, artinya mengikuti dari belakang sambil mengisi ajaran agama Islam.
Menghindarkan konfrontasi secara langsung atau secara keras didalam
cara mensyiarkan agama Islam. Dengan prinsip “Mengambil ikan tetapi
tidak mengeruhkan airnya.”
Pada akhirnya boleh saja merubah adat dan kepercayaan masyarakat
yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi dengan prinsip tidak
menghalau masyarakat dari umat Islam. Kalangan umat Islam yang sudah
tebal imannya harus berusaha menarik simpati masyarakat non muslim agar
mau mendekat dan tertarik dengan ajaran Islam. Hal itu tak bisa mereka
lakukan kecuali dengan konsekwen. Sebab dengan melaksanakan ajaran Islam
secara lengkap otomatis tingkah laku dan gerak-gerik mereka sudah
merupakan dakwah nyata yang dapat memikat masyarakat non-muslim.
Strategi dakwah ini diterapkan oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang,
Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Jati. Karena siasat mereka
dalam berdakwah tak sama dengan garis yang ditetapkan oleh Sunan Ampel
maka mereka disebut kaum Abangan atau Aliran Tuban. Sedang pendapat
Sunan Ampel yang didukung Sunan Giri dan Sunan Drajad disebut Kaum
Putihan atau Aliran Giri.
Namun atas inisiatif Sunan Kalijaga, kedua pendapat yang berbeda itu pada akhinya dapat dikompromikan.
B. Merangkul Masyarakat Hindu
Di Kudus pada waktu itu penduduknya masih banyak yang beragama Hindu
dan Budha. Untuk mengajak mereka masuk Islam tentu bukannya pekerjaan
mudah. Terlebih mereka yang masih memeluk kepercayaan lama dan memegang
teguh adat-istiadat lama, jumlahnya tidak sedikit. Di dalam masyarakat
seperti itulah Ja’far Sodiq harus berjuang menegakkan agama.
Pada suatu hari Sunan Kudus atau Ja’far Sodiq membeli seekor sapi
(dalam riwayat lain disebut Kebo Gumarang). Sapi tersebut berasal dari
Hindia, dibawa para pedagang asing dari kapal besar.
Sapi itu ditambatkan dihalaman rumah Sunan Kudus. Rakyat Kudus yang
kebanyakan beragama Hindu itu tergerak hatinya, ingin tahu apa yang akan
dilakukan Sunan Kudus terhadap sapi itu. Sapi dalam pandangan Hindu
adalah hewan suci yang menjadi kendaraan para dewa. Menyembelih sapi
adalah perbuatan dosa yang dikutuk para dewa. Lalu apa yang dilakukan
Sunan Kudus?
Apakah Sunan Kudus hendak menyembelih sapi dihadapan rakyat yang
kebanyakan justru memujanya dan menganggap binatang keramat. Itu berarti
Sunan Kudus melukai hati rakyatnya sendiri.
Dalam tempo singkat halaman rumah Sunan Kudus dibanjiri rakyat, baik
yang beragama Islam maupun Budha. Setelah jumlah penduduk yang datang
bertambah banyak, Sunan Kudus keluar dari dalam rumahnya.
“Sedulur-sedulur yang saya hormati, segenap sanak kadhang yang saya cintai, Sunan Kudus membuka suara.
Saya melarang saudara-saudara menyakiti apalagi menyembelih sapi.
Sebab diwaktu saya masih kecil, saya pernah mengalami saat yang
berbahaya, hampir mati kehausan lalu seekor sapi datang menyusui saya.”
Mendengar cerita tersebut para pemeluk agama Hindu terkagum-kagum.
Mereka menyangka Ja’far Sodiq itu adalah titisan dewa Whisnu, maka
mereka bersedia mendengarkan ceramahnya.
“Demi rasa hormat saya kepada jenis hewan yang pernah menolong saya,
maka dengan ini saya melarang penduduk Kudus menyakiti atau menyembelih
sapi.”
Kontan para penduduk terpesona atas kisah itu.
Sunan kudus melanjutkan, “salah satu diantara surat-surat Al-Qur’an yaitu surat yang kedua dinamakan Surat Sapi atau dalam bahasa Arabnya Al-Baqarah,” kata Sunan Kudus.
Masyarakat semakin tertarik. Kok ada sapi di dalam Al-Qur’an mereka
menjadi ingin tahu lebih banyak dan untuk itulah mereka harus
sering-sering datang mendengarkan keterangan Sunan Kudus.
Demikianlah, sesudah simpati itu berhasil diraih akan lapanglah jalan
untuk mengajak masyarakat berduyun-duyun masuk agama Islam.
Bentuk mesjid yang dibuat Sunan Kudus pun tak jauh bedanya dengan
candi-candi milik orang Hindu. Lihatlah menara Kudus yang antik itu,
yang hingga sekarang dikagumi orang di seluruh dunia karena keanehannya.
Dengan bentuknya yang mirip candi itu orang-orang Hindu merasa akrab
dan tidak takut atau segan masuk ke dalam mesjid guna mendengarkan
ceramah Sunan Kudus.
C. Merangkul Masyarakat Budha
Sesudah berhasil menarik umat Hindu kedalam agama Islam hanya karena
sikap toleransi yang tinggi, yaitu menghormati sapi yang dikeramatkan
umat Hindu dan membangun menara mesjid mirip dengan candi Hindu. Kini
Sunan Kudus bermaksud menjaring umat Budha. Caranya?
Memang tidak mudah, harus kreatif dan tidak bersifat memaksa.
Sesudah mesjid berdiri, Sunan Kudus membuat padasan atau tempat wudhu
dengan pancuran yang berjumlah delapan. Masing-masing pancuran diberi
arca kepala kebo gumarang diatasnya. Hal ini disesuaikan dengan ajaran
Budha, “Jalan berlipat delapan” atau “Sanghika Marga” yaitu:
Harus memiliki pengetahuan yang benar
Mengambil keputusan yang benar
Berkata yang benar
Hidup dengan cara yang benar
Bekerja dengan benar
Beribadah dengan benar
Dan menghayati agama dengan benar.
Usahanya pun membuahkan hasil, banyak umat Budha yang penasaran,
untuk itu Sunan Kudus memasang lambang wasiat Budha itu di padasan atau
tempat berwudhu, sehingga mereka berdatangan ke mesjid untuk
mendengarkan keterangan Sunan Kudus.
Selamatan Mitoni
Didalam cerita tutur disebutkan bahwa Sunan Kudus itu pada suatu
ketika gagal mengumpulkan rakyat yang masih berpegang teguh pada adat
istiadat lama.
Seperti diketahui, rakyat jawa banyak melakukan adat istiadat yang
aneh, yang kadang kala bertentangan dengan ajaran Islam, misalnnya
berkirim sesaji dikuburan untuk menunjukkan bela sungkawa atau berduka
cita atas meninggalnya salah seorang anggota keluarga, selamatan neloni.
Mitoni dan lain-lain. Sunan Kudus sangat memperhatikan upacara-upacara
ritual tersebut dan berusaha sebaik-baiknya untuk merubah atau
mengarahkannya dalam bentuk Islami. Hal ini dilakukan juga oleh Sunan
Kalijaga dan Sunan Muria.
Contohnya, bila seorang isteri orang jawa hamil tiga bulan maka akan
dilakukan acara selamatan yang disebut mitoni sembari minta kepada dewa
bahwa bila anaknya lahir supaya tampan seperti Arjuna, jika anaknya
perempuan supaya cantik seperti Dewi Ratih.
Adat tersebut tidak ditentang secara keras oleh Sunan Kudus.
Melainkan diarahkan dalam bentuk Islami. Acara selataman boleh terus
dilakukan tapi niatnya bukan sekedar kirim sesaji kepada para dewa,
melainkan bersedekah kepada penduduk setempat dan sesaji yang
dihidangkan boleh dibawa pulang. Sedangkan permintaannya langsung kepada
Allah Swt dengan harapan anaknya lahir laki-laki akan berwajah seperti
nabi Yusuf A.s, dan bila perempuan seperti Siti Maryam ibunda Nabi Isa
A.s. Untuk itu sang ayah dan ibu harus sering membaca surat Yusuf dan
surat Maryam dalam Al-Qur’an.
Sebelum acara selamatan dilaksanakan diadakanlah pembacaan Layang
Ambiya atau sejarah para Nabi. Biasanya yang dibaca adalah bab Nabi
Yusuf A.s. Hingga sekarang acara pembacaan Layang Ambiya yang berbentuk
tembang Asmarandana, Pucung, dll itu masih hidup di kalangan masyarakat
pedesaan.
Berbeda dengan cara lama, pihak tuan rumah membuat sesaji dari
berbagai jenis makanan, kemudian di ikrarkan (hajatkan dihajatan) oleh
sang dukun atau tetua masyarakat setelah upacara sakral itu dilakukan
sesajinya tidak boleh dimakan melainkan diletakkan di candi, di kuburan
atau tempat-tempat sunyi dilingkungan tuan rumah.
Ketika pertama kali melaksanakan gagasannya, Sunan Kudus pernah
gagal, yaitu beliau mengundang seluruh masyarakat. Baik yang Islam
maupun yang Hindu dan Budha ke dalam mesjid. Dalam undangan disebutkan
hajat Sunan Kudus yang hendak Mitoni dan bersedekah atas hamilnya sang
isteri yang telah tiga bulan.
Sebelum masuk mesjid, rakyat harus membasuh kaki dan tangannya
dikolam yang sudah disediakan. Dikarenakan harus membasuh tangan dan
kaki inilah banyak rakyat yang tidak mau, terutama dikalangan Hindu dan
Budha. Inilah kesalahan Sunan Kudus. Beliau terlalu mementingkan
pengenalan syariat berwudhu kepada masyarakat, tapi akibatnya masyarakat
malah menjauh.
Apa sebabnya? Karena iman mereka atau tauhid mereka belum terbina.
Maka pada kesempatan lain, Sunan Kudus mengundang masyarakat lagi.
Kali ini tidak usah membasuh tangan dan kakinya waktu masuk mesjid,
hasilnya sungguh luar biasa. Masyarakat berbondong-bondong memenuhi
undangannya, disaat inilah Sunan Kudus menyisipkan bab keimanan dalam
agama Islam secara halus dan menyenangkan rakyat. Caranya menyampaikan
materi cukup cerdik, ketika rakyat tengah memusatkan perhatiannya pada
keterangan sunan Kudus tetapi karena waktu sudah terlalu lama, dan
karena dikhawatirkan mereka jenuh maka Sunan Kudus mengakhiri
ceramahnya.
Cara tersebut kadang mengecewakan, tapi disitulah letak segi
positifnya, rakyat menjadi lebih penasaran ingin tahu kelanjutan
ceramahnya. Dan pada kesempatan lain mereka datang lagi ke mesjid, baik
dengan undangan maupun tidak, karena ingin tahu itu demikian besar
mereka tak peduli lagi pada syarat yang diajukan Sunan Kudus yaitu
membasuh kaki dan tangannya lebih dahulu, yang lama-lama menjadi
kebiasaan untuk berwudhu.
Dengan demikian Sunan Kudus berhasil menebus kesalahannya dimasa
lalu. Rakyat menaruh simpati dan menghormatinya. Cara-cara yang
ditempuh untuk meng-Islamkan masyarakat cukup banyak. Baik secara
langsung melalui ceramah agama maupun adu kesaktian dan melalui
kesenian, beliaulah yang pertama kali menciptakan tembang Mijil dan
Maskumambang. Didalam tembang-tembang tersebut beliau sisipkan
ajaran-ajaran agama Islam.
Sunan Kudus di Negeri Mekkah
Didalam legenda dikisahkan bahwa Raden Ja’far Sodiq itu suka mengembara, baik ke tanah Hindustan maupun ke tanah Suci Mekkah.
Sewaktu berada di Mekkah beliau menunaikan ibadah haji. Dan kebetulan
disana ada wabah penyakit yang sukar diatasi. Penguasa negeri arab
mengadakan sayembara, siapa yang berhasil melenyapkan wabah penyakit itu
akan diberi hadiah harta benda yang cukup besar jumlahnya.
Sudah banyak orang mencoba tapi tidak pernah berhasil. Pada suatu
hari Sunan Kudus atau Ja’far Sodiq menghadap penguasa negeri itu tapi
kedatangannya disambutnya dengan sinis.
“Dengan apa tuan akan melenyapkan wabah penyakit itu?” Tanya sang Amir.
“Dengan do’a “ jawab Ja’far Sodiq singkat.
“Kalau hanya do’a kami sudah puluhan kali melakukannya, di tanah arab ini banyak ulama dan syekh-syekh ternama.
Tapi mereka tak pernah berhasil mengusir wabah penyakit ini.” jawab sang Amir
“Saya mengerti memang tanah arab ini gudangnya para ulama.
Tapi jangan lupa ada saja kekurangannya sehingga do’a mereka tidak terkabulkan”, kata Ja’far Sodiq.
“Hem.., sungguh bernai tuan mengatakan demikian, kata amir itu dengan nada berang. Apa kekurangan mereka?” tanya sang Amir
“Anda sendiri yang menyebabkannya,” kata Ja’far Sodiq dengan tenangnya.
“Anda telah menjanjikan hadiah yang menggelapkan mata hati mereka
sehingga do’a mereka tidak ikhlas. Mereka berdo’a hanya karena
mengharapkan hadiah.”
Sang Amir pun terbungkam seribu bahasa atas jawaban itu.
Ja’far Sodiq lalu dipersilahkan melaksanakan niatnya. Kesempatan itu
tak disia-siakan. Secara khusus Ja’far Sodiq berdo’a dan membaca
beberapa amalan. Dalam tempo singkat wabah penyakit mengganas di negeri
arab telah menyingkir. Bahkan beberapa orang yang menderita sakit keras
secara mendadak langsung sembuh.
Bukan main senangnya hati sang Amir. Rasa kagum mulai menjalari
hatinya. Hadiah yang dijanjikannya bermaksud diberikan kepada Ja’far
Sodiq.
Tapi Ja’far Sodiq menolaknya, dia hanya ingin minta sebuah batu yang
berasal dari Baitul Maqdis. Sang Amir mengijinkannya. Batu itu pun
dibawa ke tanah jawa, dipasang di pengimaman mesjid Kudus yang
didirikannya sekembali dari tanah suci.
Rakyat kota Kudus pada waktu itu masih banyak yang beragama Hindu dan
Budha. Para wali mengadakan sidang untuk menentukan siapakah yang
pantas berdakwah di kota itu. Pada akhirnya Ja’far Sodiq yang bertugas
didaerah itu. Karena mesjid yang dibangunnya dinamakan Kudus maka Raden
Ja’far Sodiq pada akhirnya disebut Sunan Kudus.
Wafatnya Sunan Kudus
Pada tahun 1550 M Sunan Kudus meninggal dunia saat menjadi Imam
sholat Shubuh di Masjid Menara Kudus, dalam posisi sujud. kemudian
dimakamkan di lingkungan Masjid Menara Kudus.
Keturunan Sunan Kudus
Di antara keturunan Sunan Kudus yang menjadi Ulama’ dan Tokoh di
Indonesia adalah: Syekh Kholil Bangkalan Azmatkhan Ba’alawi Al-Husaini,
Syekh Bahruddin Azmatkhan Ba’alawi Al-Husaini, dan Syekh Shohibul Faroji
Azmatkhan Ba’alawi Al-Husaini.
0 komentar:
Posting Komentar