Mereka
yang melacak jejak Sunan Bonang setidaknya akan mendapatkan tiga lokasi
pemakaman, yang jika para juru kuncinya ditanggapi terlalu serius, tentu
akan menjadi bingung – karena tiada cara untuk membuktikan
kesahihannya.
Kerancuan ini disebabkan antara lain karena sejak awal tidak
terbedakan, mana yang makam dan mana yang petilasan: tempat para wali
pernah tinggal, mengajar, atau sekadar lewat saja. Meski begitu,
petilasan boleh dianggap tak kalah penting dengan makam, karena makam
sebetulnya hanyalah tempat para beliau dikubur, sedangkan petilasan
justru merupakan atmosfer lingkungan hidup seorang wali ratusan tahun
silam.
Apabila petilasan yang menjadi ukuran, maka jumlah lokasi yang terhubungkan dengan Sunan Bonang menjadi empat.
Kisah empat lokasi
Lokasi pertama, dan yang paling populer, adalah makam di belakang Mesjid
Agung Tuban. Barang siapa berkunjung ke sana akan melihat suatu
kontras, antara Mesjid Agung Tuban yang arsitekturnya megah dan
berwarna-warni itu, dengan astana masjid Sunan Bonang di belakangnya
yang sederhana. Di dekat astana mesjid yang mungil itulah terletak makam
Sunan Bonang. Untuk mencapai tempat itu kita harus menyusuri gang
sempit di samping mesjid besar, bagaikan perlambang atas keterpinggiran
alam mistik dalam kehidupan pragmatik masa kini.
Lokasi kedua adalah petilasan di sebuah bukit di pantai utara Jawa,
antara Rembang dan Lasem, tempat yang dikenal sebagai mBonang, dan dari
sanalah memang ternisbahkan nama sang sunan. Di kaki bukit itu konon
juga terdapat makam Sunan Bonang, tanpa cungkup dan tanpa
nisan, hanya tertandai oleh tanaman bunga melati. Namun atraksi utama
justru di atas bukit, tempat terdapatnya batu yang digunakan sebagai
alas untuk shalat – di batu itu terdapat jejak kaki Sunan Bonang, konon
kesaktiannya membuat batu itu melesak.
Situs ini berdampingan dengan makam Putri Cempo (Cempa, Campa) dan
ini terjelaskan oleh cerita tutur bahwa Sunan Bonang adalah putera Sunan
Ngampel Denta yang berasal dari Cempa tersebut – seperti teruraikan
dalam Intisari bulan lalu. Sunan Bonang telah memindahkan
makam puteri Darawati atau Andarawati yang merupakan maktuanya tersebut
dari makam lama di Citra Wulan (bertarikh Jawa 1370 alias 1448 Masehi,
mungkin maksudnya di wilayah ibukota Majapahit) ke Karang Kemuning,
Bonang, tak dijelaskan kenapa.
Namun keterangan ini muncul sebagai catatan kaki atas cerita tentang
perampasan barang-barang berharga Demak ketika direbut Mataram, dalam
Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram
(1974) karya Graaf dan Pigeaud.
Lokasi ketiga adalah makam Sunan Bonang di Tambak Kramat, Pulau
Bawean. Ketika Intisari melacak ke pulau terpencil antara Jawa dan
Kalimantan tersebut, terdapat dua makam Sunan Bonang di tepi pantai –
dan tiada cara untuk memastikan mana yang lebih masuk akal, meski
untuk sekadar “dikira” sebagai makam Sunan Bonang. Salah satu makam
memang tampak lebih terurus, karena dibuatkan “rumah” dan diberi kelambu
– sedang makam satunya masih harus bersaing pengakuan dengan spekulasi
lain bahwa itu sebenarnya makam seorang pelaut dari Sulawesi yang
kapalnya karam di sekitar Bawean.
Dengan begitu, sudah terdapat tiga situs yang disebut sebagai makam
Sunan Bonang. Tentang makam di Bawean terdapat legenda yang bisa diikuti
dari Islamisasi di Jawa: Walisongo, Penyebar Islam di Jawa, Menurut
Penuturan Babad (2000) karya Ridin Sofwan, Wasit, dan Mundiri. Konon
setelah Sunan Bonang wafat di Bawean, murid-muridnya di Tuban
menghendaki agar Sunan Bonang dimakamkan di Tuban, tetapi para santri di
Bawean berpendapat sebaiknya dimakamkan di Bawean saja, mengingat
lamanya perjalanan menyeberangi laut. Syahdan, para penjaga jenazah di
Bawean telah disirep (ditidurkan dengan mantra) oleh mereka yang datang
Bawean telah disirep (ditidurkan dengan mantra) oleh mereka yang
datangmalam hari dari Tuban.
Dikisahkan betapa kuburan dibongkar {versi lain, dalam Misteri Syekh
Siti Jenar: Peranan Walisongo dalam Mengislamkan Tanah Jawa (2004) karya
Hasanu Simon, jenazah masih di tengah ruangan dan jenazah dibawa
berlayar ke Tuban malam itu juga, untuk dimakamkan di dekat astana
mesjid Sunan Bonang. Meskipun begitu, menurut para santri Bawean, yang
berhasil dibawa ke Tuban sebetulnya hanyalah salah satu kain kafan;
sebaliknya menurut para santri Tuban, yang terkubur di Bawean juga
hanyalah salah satu kain kafan.
Lokasi keempat adalah sebuah tempat bernama Singkal di tepi Sungai
Brantas di Kediri. Konon dari tempat itu, seperti dituturkan dalam Babad
Kadhiri, Sunan Bonang melancarkan dakwah tetapi gagal mengislamkan
Kediri. Ketika laskar Belanda-Jawa pada 1678 menyerang pasukan Trunajaya
di daerah itu, mereka menemukan mesjid yang digunakan sebagai gudang
mesiu, seperti dilaporkan Antonio Hurdt.
Menurut Graaf dan Pigeaud, “Adanya mesjid yang cukup penting di Singkal
pada abad ke-17 menyebabkan legenda yang mengisahkan tempat itu sebagai
pusat propaganda agama Islam pada permulaan abad ke-16 menjadi agak
lebih dapat dipercaya.” Tentang Babad Kadhiri itu sendiri, yang
disebutkan telah dibicarakan G.W.J. Drewes, dianggap Graaf dan Pigeaud
sebagai “kurang penting bagi sejarawan, yang mencari peristiwa-peristiwa
yang serba pasti.”
Meskipun Hasanu Simon meragukan Sunan Bonang pernah pergi ke Bawean,
berdasarkan faktor usia dan kesulitan perjalanan masa lalu, tersebutnya
Sunan Bonang di berbagai tempat ini membenarkan penemuan Graaf dan
Pigeaud. “Menurut cerita, Wali Lanang di Malaka memberikan tugas-tugas
berbeda tetapi senada kepada kedua muridnya: Santri Bonang pada umumnya
harus menyebarkan (dan memang, kenyataannya kelak Sunan Bonang banyak
menjelajahi daerah-daerah), tetapi Raden Paku harus menetap di Giri (dan
tentang dia tidak diberitakan perjalanan-perjalanan jauh).” Kedua
sejarawan ini juga sama sekali tidak menghubungkan Sunan Bonang dengan
Bawean.
Siapakah Sunan Bonang?
Berdasarkan cerita tutur dari berbagai sumber tersebutkan Sunan Bonang
adalah putera Sunan Ngampel Denta dari istrinya yang bernama Nyai Ageng
Manila (sumber lain menyebut Dewi Candrawati, putri dari Majapahit), dan
kelak ia menjadi imam yang pertama di Mesjid Demak.
Diperkirakan lahir antara 1440 atau 1465, dan meninggal 1525, masa
pelajaran ditempuh di bawah ayahnya, dengan saudara seperguruan Raden
Paku yang kelak menjadi Sunan Giri. Namanya sendiri adalah Makdum
Ibrahim dan karena tidak pernah menikah, atau setidaknya tak berputera,
ia juga disebut Sunan Wadat Anyakra Wati.
Konon ia dan Raden Paku bermaksud naik haji ke Mekah, dan sebelumnya
berguru kepada Abdulisbar atau Dulislam di Pasai (versi lain Wali
Lanang, kali ini ayah Raden Paku, di Malaka), tetapi yang kemudian
diminta kembali ke Jawa oleh gurunya. Menurut Abdul Hadi WM dalam Sunan
Bonang, Perintis dan Pendekar Sastra Suluk (1993), “Pada tahun 1503,
setelah beberapa tahun jabatan imam mesjid dipegangnya, dia berselisih
paham dengan Sultan Demak dan meletakkan jabatan, lalu pindah ke Lasem.
Di situ dia memilih Desa Bonang sebagai tempat tinggalnya. Di Bonang dia
mendirikan pesantren dan pesujudan (tempat tafakur), sebelum akhirnya
kembali ke kampung halamannya, Tuban.”
Sangat terkenal kisahnya sebagai wali yang memberikan Raden Sahid
alias Brandal Lokajaya suatu pencerahan, sehingga kelak menjadi
pendakwah sinkretik ulung bernama Sunan Kalijaga. Namun dalam Serat
Darmagandul yang baru ditulis tahun 1879, yang bersikap negatif terhadap
para wali, seperti diteliti Denys Lombard dalam Nusa Jawa, Silang
Budaya 2: Jaringan Asia (1990), Sunan Bonang “digambarkan sebagai tokoh
kasar dan tidak tahu malu.” Tentu saja ini bagian dari “politik dongeng”
yang sering bisa dilacak atas berbagai legenda, mengingat tokoh
Sabdopalon dan Nayagenggong dalam karya itu digambarkan menolak masuk
Islam.
Sementara itu, sejauh cerita yang menyebut Sunan Bonang sebagai putra
Sunan Ngampel Denta bisa dipercaya, Sunan Bonang tentu tergolong
keturunan orang Cam – tepatnya keturunan orang asing yang menyebarkan
Islam di Jawa. Mungkinkah ini yang membuat orang berspekulasi bahwa nama
Sunan Bonang berasal dari Lim Bun An bahkan
juga Bong Ang atau Bong Bing Nang, sementara Sunan Ngampel Denta tersebut sebagai Bong Swie Hoo?
Tentu maksudnya bahwa para wali ini adalah keturunan Tionghoa, seperti
disebut tanpa argumentasi meyakinkan dalam Tuanku Rao (1964) oleh
Mangaraja Onggang Parlindungan maupun dalam Kalidjaga (1956) oleh
Hadiwidjaja.
Spekulasi ini hanya meyakinkan sejauh menyangkut Raden Patah, sultan
Demak yang pertama, seperti terbahas dalam Arus Cina-Islam-Jawa: Bongkar
Sejarah atas Peranan Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara
Abad XV & XVI (2003) karya Sumanto Al Qurtuby. Tentang para wali,
jangankan sebagai keturunan Tionghoa, sedangkan keberadaan mereka secara
historik saja hanya bisa dibeberkan dengan spekulasi yang sangat
hati-hati, melalui analisis teliti terhadap sumber-sumber yang nyaris
merupakan dongeng. Para sejarawan lebih cenderung merujukkan cerita
tentang ketionghoaan itu, untuk menafsir
fakta keberadaan komunitas Muslim Tionghoa, yang sudah bertebaran di berbagai daerah pantai di Jawa Timur sejak abad ke-15.
Hilda Soemantri dalam Majapahit Terracotta Art (1997) misalnya
menunjuk keramik “orang berturban” di antara keramik “orang Tartar”,
“Tionghoa tertawa”, maupun “Tionghoa bertopi”, yang menunjukkan
ketertarikan para seniman keramik Majapahit kepada orang-orang asing,
termasuk yang beragama Muslim, di daerah pantai.
Ini tentu saja mendukung “teori Cina” sebagai salah satu teori
tentang kedatangan Islam di Pulau Jawa, terutama melalui Tuban dan
Gresik. Pengembara dari Tiongkok, Ma Huan, mencatat adanya Xin Cun
(Kampung Baru) di Gresik yang berpenduduk seribu orang Tionghoa asal
Guangdong dan Zhangzhou. Sebegitu jauh, pelacakan atas keberadaan
Sunan Ngampel Denta, yang disebut sebagai ayah Sunan Bonang, hanya
terujuk kepada keberadaan bangsa Cam dan terdapatnya poros Jawa
Timur-Campa – dan kitab seperti Serat Dermagandul adalah bentuk
“perlawanan” kepercayaan lama setelah Islam menjadi dominan di Jawa pada
abad ke-19.
Tentang “kitab Bonang”
Sarjana Belanda B.Schrieke menulis tesis Het Boek van Bonang pada 1916,
seperti mengandaikan bahwa manuskrip yang dibahasnya adalah karya atau
ajaran Sunan Bonang. Sayang sekali bahwa penamaan “Kitab Bonang” itu
tidak dianggap tepat, juga oleh Graaf dan Pigeaud, karena tidak ada
bukti meyakinkan bahwa naskah itu memang ditulis
oleh Sunan Bonang. Meski begitu, disetujui bahwa manuskrip tersebut
memberi gambaran tentang ajaran Islam macam apa yang dominan didakwahkan
pada abad ke-16, jadi mungkin pula diajarkan seorang wali seperti Sunan
Bonang, sebagai pengenalan pertama kepada orang-
orang yang jika tidak memeluk agama Buddha atau Hindu, tentu memeluk kepercayaan sebelum agama besar yang mana pun tiba di Jawa.
Tesis Schrieke itu kemudian dikoreksi oleh Drewes, dan diberi
terjemahan bahasa Inggris sebagai The Admonitions of Seh Bari (1969).
Manuskrip yang dimaksud, seperti diuraikan Abdul Hadi WM, rupanya
terdiri dari sejumlah suluk – suatu genre dalam kesusastraan Jawa,
Sunda, dan Madura yang memang muncul pertama kali abad ke-15
bersama penyebaran Islam. Bukan kebetulan agaknya, karena suluk berarti
jalan kerohanian, isinya adalah ajaran-ajaran tasawuf. Dalam hal
manuskrip terbincangkan ini, khususnya yang berjudul Suluk Wujil
(koreksian Purbatjaraka terhadap Schrieke yang menyebutnya Suluk
Dulil), disebutkan Purbatjaraka sebagai ajaran rahasia untuk orang-
orang tertentu saja. Rahasia artinya tidak begitu saja bisa dipahami,
seperti dapat diperiksa dari kutipan-kutipan berikut:
“Tak ada orang tahu di mana Mekkah yang hakiki berada, sekalipun
mereka melakukan perjalanan sejak muda hingga tua renta. Mereka tak akan
sampai ke tujuan. Kecuali apabila seseorang mempunyai bekal ilmu yang
cukup, ia akan dapat sampai di Mekkah dan malahan sesudah
itu akan menjadi wali.
“Apabila seseorang sembahyang di sana, maka hanya ada ruangan untuk
satu orang saja. Jika ada dua atau tiga orang yang bersembahyang, maka
ruangan itu juga akan cukup untuk dua tiga orang itu saja. Namun jika
terdapat 10.000 orang bersembahyang di sana, maka Ka’bah dapat menampung
mereka semua. Bahkan seandainya seluruh dunia akan dimasukkan ke sana,
maka seluruh dunia akan tertampung juga.”
Teks seperti ini, disebutkan Abdul Hadi WM sebagai, “… kerap
menimbulkan persoalan. Baik golongan kebatinan maupun ortodoks jarang
dapat memberi tafsir yang sesuai dan bermanfaat terhadap hakikat ajaran
para sufi.” Manuskrip ini disalah tafsirkan Schrieke sebagai karya Sunan
Bonang, kemungkinan besar karena tokoh bernama
Sunan Bonang muncul dalam Suluk Wujil, sebagai guru tasawuf tokoh Wujil
yang berarti cebol. Purbatjaraka dalam Kepustakaan Djawa (1952) menduga
karya itu ditulis oleh “sastrawan Jawa yang menjadi murid sang wali”.
Sementara berdasarkan penelitiannya, menurut Drewes penulisnya adalah
Seh Bari dari Karang, daerah Banten.
Terutama dalam suluk tersebut, unsur-unsur kerohanian Jawa klasik dan
tasawuf Islam terpadukan. Kisahnya sendiri mewadahi gagasan zaman
peralihan: Wujil, seorang terpelajar Majapahit yang meninggalkan aga
Hindu dan beralih menjadi penganut Islam.
Dengan demikian, meski dari sudut ilmu sejarah tidak bisa dipastikan
bahwa Sunan Bonang yang menulis Suluk Wujil, dari manuskrip tersebut
tergambarkan segi-segi wajd (ekstase mistis) dan kasyf (tersingkapnya
mata bathin) yang akan membawa seseorang kepada kesadaran supralogis,
atau bisa disebut dimensi mistik, yang layak
diduga sebagai daya tarik bagi orang-orang Jawa abad ke-15 dan 16 untuk menerima Islam.
0 komentar:
Posting Komentar