Bissmillahirrahmanirrahiim
Rambu Rambu Jalan Menuju Alloh 2
--------------
Marilah bersama memulai berjalan mengembara
menuju Allah,dengan menyebut nama Allah yang maha Pengasih lagi
Penyayang.Segala puji bagi Allah ,Tuhan seluruh Alam.Semoga Allah
mencurahkan shalawat kepada penghulu kita Muhammad SAW.keluarga dan para
sahabatnya.
Asy-Syaikh al imam al muhaqiq Abul Fadlil
Tajjudin Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim bin ‘Atha’illah as
Sakandari memberikan bimbingan dalam Al Hikam dan diberi syarah oleh
Syaikh Sa’id Hawwa dalam Mudzakiraat fi Manazilis Shiddiqien wa
Rabbaniyyin ( dalam versi bahasa indonesia “Rambu Rambu Jalan Rohani
“diterjemahkan : Imran Affandi ) inilah kutipanya:
Untuk meraih keridhaan Allah,seorang
muslim diwajibkan dengan amal dan dalam waktu yang sama ia diwajibkan
untuk tidak bersandar kapada amalnya.hal ini dimaksudkan agar ia dapat
sampai kepada keridlaan Allah, sebab betapapun ia telah melaksanakan
suatu amal, ia tidak dapat menunaikan hak Allah,dan tidak dapat
melakukan kewajiban untuk mensyukuri Nya.
“ Sekali kali jangan (begitu) ;dia (manusia) itu belum melakukan apa yang diperintahkan Allah kepadanya.: ( ‘Abasa:23).
“ ……. Jika kamu menghitung nikmat Allah,kamu sekalian tidak akan mampu menghitungnya……….. “.(Ibrahim :34)
Karena itu seorang muslim dituntut untuk tidak bergantung kepada amalnya,Dalam sebuah hadits Rasulullah saw bersabda :
“Berlakulah kamu setepat
dan sedekat mungkin ( tidak berlebihan dan tidak kurang ).Ketahuilah
amal salah seorang dari kalian tidak akan memasukannya ke dalam
surga.Mereka bertanya ;”Engkaupun tidak, ya Rosullah “?.Baginda
bersabda:”Akupun tidak,hanya saja Allah meliputiku dengan ampunan dan
rahmad (diriwayatkan oleh enam imam).
Dalam meninggalkan ketergantungan kepada
amal terdapat banyak hikmah yang bertautan dengan pemahaman tentang
Allah dan yang berhubungan dengan pembersihan jiwa.Bersandar kepada amal
menyebabkan tertipu, ‘ujub, lancang dan tidak sopan terhadap Allahs
serta merasa dirinya mempunyai hak hak di sisi Allah,dan itu semua
berbahaya.Jika bersandar kepada amal adalah sumber kesalahan dan bahaya,
dan itu bertentangan dengan maqam maqam shiddiqun.maka Ibnu ‘Athaillah
mengawali pembahasan dengan menunjukan kapada kita paramater/ tanda
tanda untuk mengetahui apa kita bersandar kepada amal amal saleh,
lantas mengabaikan bersandar kepada Allah.
Apakah tanda tanda yang menunjukan bahwa
anda bersandar kepada amal anda, atau anda bergantung kapada Allah?Tentu
Syaikh Ibnu ‘Atha’illah tidak mengatakan :”Tinggalkan Amal
amalmu”.bahkan sebaliknya beliau justru memotivasi kita untuk beramal
namun ia ingin mengarahkan perhatian kita pada satu persoalan yang dari
celah celahnya kita dapat mengetahui apakah kita bersandar kepada
Allah,atau kepada amal kita.Yang demikian itu dikarenakan seorang muslim
harus memilih keyakinan yang sempurna kepada Allah dalam setiap
keadaan,dan hendaknya keyakinan itu perlahan lahan kian meningkat dan
berkembang
1.PARAMATER UNTUK MEMBEDAKAN BERSANDAR PADA ALLAH ATAU AMAL
Ketika anda dapati diri anda telah
tergelincir dan telah berbuat kesalahan, lantas hal itu mengakibatkan
berkurangnya keyakinan terhadap Allah dan susutnya penyadaran diri
kepadaNYA,maka itu menunjukan bahwa pada dasarnya anda bersandar kapada
amal amal anda dan tidak bergantung kepada ALLah.Karena itu syekh Ibnu
‘Atha’illah berkata :”Sebagian dari tanda ketergantungan kepada amal
ialah kurangnya Raja’ (pengharapan kapada Allah) ketika terjadi suatu
kesalahan atau dosa.
Jika keyakinan kita terhadap Allah begitu
sempurna, dan jika harapan kita terhadap Allah pun maksimal, maka
segala apa yang terjadi tidak akan mempengaruhi dasar pengharapan,
keyakinan, dan tawakal kepada Allah.Jika anda jatuh dalam dosa, maka
anda bertobat kapada Allah dengan meyakini kesempurnaan tobat anda.Dunia
selalu berubah terhadap anda, namun keyakinan dan kepasrahan kepada
Allah tak pernah goyah, bahkan terus berkembang.Jika terjadi kegagalan
dalam urusan dunia, atau sebab sebab ( untuk memperolehnya) melemah,
atau anda jatuh dalam dosa dan maksiat, lalu karena itu semua menjadi
ringan keyakinan anda, menyusut harapan dan tawakal anda kepada Allah,
itu artinya anda dihinggapi kesalahan, yaitu anda bersandar kepada amal
dan tidak tergantung kepada Allah.Karena itu hendaklah anda meneliti
kembali diri anda dan memperkokoh penyandaran diri kepada Allah dalam
setiap keadaan.Kewajiban kewajiban syari’atpun mesti anda tunaikan,
yaitu tobat, mengoreksi diri dan melakukan sebab sebab ( usaha ).
2.HARUSKAH MENINGGALKAN PEKERJAAN DUNIA
Bila seorang telah menapakan kakinya di
jalan Allah, maka terbesit dalam hatinya kecintaan untuk meninggalkan
asbab dan meninggalkan pekerjaan dunia.Kita akan jumpai kecenderungan
ini pada golongan manusia ;yaitu ahli ibadah, orang yang zuhud, da’i
yang menyeru kepada Allah dan orang yang alim.Bila mereka itu sudah
menapakan kaki di jalan Allah, maka mereka memiliki semacam penglihatan
untuk mecampakan pekerjaan pekerjaan duniawai ,agar dapatmencurahkan
diri sepenuhnya untuk menkuni masalah masalah ukhrawi ( akhirat).
Seikh ibnu ‘Atha’illah mengajak kita
untuk memperhatikan bahwa kecenderungan ini kadang lahir dari pengaruh
hawa nafsu, dan bukan dari pengaruh dari kecintaan atau perkara ukhrawi
yang tulus.bila kita menapakan kaki di jalan Allah,baik sebagai
‘abid(ahli ibadah),Zahid, da’i.ulama,atau orang yang mencari wilayah
(kewaian()dan mencari petunjuk,maka beliau memperingatkan kita agar
berfikir:”Apakah titian yang ku arungi ini pengaruh dari hawa nafsu
?”Misalnya, aku ingin ingin istirahat dari dunia dengan alasan berdakwah
menuju Allah, menuntut ilmu, mengajar atau dengan dalih
beribadah,padahal motivasi sesungguhnya untuk mencurahkan diri
sepenuhnya(kepada Allah)itu adalah hawa nafsu .Karena itu beliau
berkata:”Keinginanmu untuk tajrid (mencurahkan sepenuhnya),padahal Allah
meletakanmu pada “asbab”(usaha lain/dunia) itu adalah syahwat yang
samar.
Yang dimaksud dengan tajrid ialah
meninggalkan pekerjaan pekerjaan duniawi.Beliau berpendapat bahwa jika
Anda ditempatkan oleh Allah pada kedudukan asbab(duniawi),lantas anda
berfikir untuk Tajrid(meninggalkan duniawai),maka ini adalah pengaruh
syahwatmu yang tersembunyi.Karena itu seyogyanya anda tetap berada pada
asbab, hingga Allah sendiri yang mengeluarkanmu;yaitu anda berusaha
mencari pekerjaan duniawi kian kemari,namun tidak mendapatkan atau
menemukan asbabnya, atau mungkin yang memiliki hal itu mengeluarkan
anda, atau bisa juga terjadi dengan tiba tiba, maka kal itu diri anda
harus mencurahkan untuk beribadah.ini adalah salah satu macam tajrid,
karena itu teliti dan amati diri anda,sebab Allah meletakan anda disana.
Selanjutnya syeikh ‘Atha’illah menyeru
agar memperhatikan adab dalam beramal, yaitu jika Allah meletakan anda
pada asbab,maka tetaplah berpijak pada asbab.tunaikan apa yang anda
mampu dalam menuntut ilmu,berda’wah, atau beribadah dan jangan berusaha
untuk meninggalkan asbab(duniawai).Namun bila hal itu tidak lahir dari
keinginanmu tetaplah anda,karena kadang Allah menahan asbab itu
darimu,lalu anda mendapati terputus,maka disinilah letak TAJRID, atau
tajrit itu kadang datang lantaran suatu sebab yang engkau tidak berdaya
melawannya,yaitu engkau dituntut untuk meninggalkan asbab (oleh Allah)
dan mencurahkan diri pada sesuatu yang hukumnya fardlu ‘ain atau fardlu
kifayah.Contohnya adalah orang yang ditempatkan oleh Allah pada tempat
tajrid tetepi ia tidak sengaja atau tidak memintanya,dan Allah menutup
pintu pintu asbab dunia serta membuka pintu pintu ukhrawi, seperti
menuntut ilmu, beribadah, dakwah atau pelayanan sosial, yang semua itu
termasuk perkerjaan pekerjaan ukhrawi yang luhur maka inilah tajrid
murni dan bagus serta tidak tercela.
Ketka engkau ditempatkan dalam kedudukan
tajrid dan terbuka untukmu asbab da’wah,menuntut ilmu,berkhitmad untuk
kepentingan umum,lantas engkau berfikir untuk meninggalkan tajrid,dan
kembali kepada urusan urusan duniawi,maka engkau sesungguhnya jatuh
terjungkal,merosot dan menurun.
Adlaah kemerosotan dari tingkat yang
tinggi jika seseorang berada posisi tajrid, lalu ia berusaha untuk turun
ke alam asbab karena tujuan duniawi.
Jika Allah menempatkanmu pada kedudukan
orang yang ber tafarugh(konsentrasi penuh) dalam hal hal semacam
ini,maka lakukanlah kewajiban kewajiban dengan tekun dan janganlah
berfikir tentang dunia.Namun bila Allah menempatkanmu pada asbab, maka
janganlah engkau meninggalkanya karena semata mata suka kepada
taffaruq.Jika demikian halnya,maka luputlah dirimu dari dunia dan
akhirat.Dunia terlepas darimu lantaran engkau tidak bekerja, dan akhirat
tidak terjangkau olehmu lantaran niatmu tidak sehat.
0 komentar:
Posting Komentar