Pengertian Rabb Dalam Al-Qur'an Dan As-Sunnah
Kitab Tauhid 1
oleh: Dr.Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al fauzan
Rabb adalah bentuk mashdar,
yang berarti "mengembangkan sesuatu dari satu keadaan pada keadaan
lain, sampai pada keadaan yang sempurna". Jadi Rabb adalah kata mashdar
yang dipinjam untuk fa'il (pelaku). Kata-kata Ar-Rabb tidak disebut
sendirian, kecuali untuk Allah yang menjamin kemaslahatan seluruh
makhluk.
Adapun jika di-idhafah-kan (ditambahkan kepada
yang lain), maka hal itu bisa untuk Allah dan bisa untuk lainNya.
Seperti firman Allah Subhannahu wa Ta'ala: "Rabb semesta alam." (Al-Fatihah: 2)
Juga firmanNya: "Tuhan kamu dan Tuhan nenek-nenek moyang kamu yang dahulu". (Asy-Syu'ara: 26)
Dan
di antaranya lagi adalah perkataan Nabi Yusuf Alaihissalam yang
difirmankan oleh Allah Subhannahu wa Ta'ala: "Terangkanlah keadaanku
kepada tuanmu." Maka syaitan menjadikan dia lupa menerangkan (keadaan
Yusuf) kepada tuannya." (Yusuf: 42)
Dan firman Allah Subhannahu wa Ta'ala: "Kembalilah kepada tuanmu ..." (Yusuf: 50)
"Adapun salah seorang di antara kamu berdua, akan memberi minum tuannya dengan khamar ..." (Yusuf: 41)
Rasulullah
bersabda dalam hadits "Unta yang hilang": "Sampai sang pemilik
menemukannya". Maka jelaslah bahwa kata Rabb diperuntukkan untuk Allah
jika ma'rifat dan mudhaf, sehingga kita mengatakan misalnya: "Tuhan
Allah Penguasa semesta alam" atau "Tuhan manusia".
Dan tidak diperuntukkan kepada selain Allah kecuali jika di-idhafah-kan,
misalnya: tuan rumah atau pemilik unta dan lainnya. Makna "Rabbal
'alamiin" adalah Allah Pencipta alam semesta, Pemilik, Pengurus dan
Pembimbing mereka dengan segala nikmat-Nya, serta dengan mengutus para
rasulNya, menurunkan kitab-kitab-Nya dan Pemberi balasan atas segala
perbuatan makhlukNya.
Imam Ibnul Qayyim
berkata bahwa konsekuensi rububiyah adalah adanya perintah dan
larangan kepada hamba, membalas yang berbuat baik dengan kebaikan,
serta menghukum yang jahat atas kejahatannya. [1]
Pengertian Rabb Menurut Pandangan Umat-Umat Yang Sesat
Allah
Subhannahu wa Ta'ala menciptakan manusia dengan fitrah mengakui tauhid
serta mengetahui Rabb Sang Pencipta. Firman Allah: "Maka hadapkanlah
wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia
tidak mengetahui." (Ar-Rum: 30)
"Dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya
berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau
Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar
di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam)
adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)." (Al-A'raf: 172)
Jadi
mengakui rububiyah Allah dan menerimanya adalah sesuatu yang fitri.
Sedangkan syirik adalah unsur yang datang kemudian. Baginda Rasul
bersabda: "Setiap bayi dilahirkan atas dasar fitrah, maka kedua orang
tua-nyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Seandainya
seorang manusia diasingkan dan dibiarkan fitrahnya, pasti ia akan
mengarah kepada tauhid yang dibawa oleh para rasul, yang disebutkan oleh
kitab-kitab suci dan ditunjukkan oleh alam. Akan tetapi bimbingan yang
menyimpang dan lingkungan yang atheis itulah faktor penyebab yang
mengubah pandangan si bayi. Dari sanalah seorang anak manusia mengikuti
bapaknya dalam kesesatan dan penyimpangan.
Allah
Subhannahu wa Ta'ala berfirman dalam hadits qudsi: "Aku ciptakan
hamba-hambaKu dalam keadaan lurus bersih, maka setanlah yang memalingkan
mereka." (HR. Muslim dan Ahmad)
Maksudnya,
memalingkan mereka kepada berhala-berhala dan menjadikan mereka itu
sebagai tuhan selain Allah. Maka mereka jatuh dalam kesesatan,
keterasingan, perpecahan dan perbedaan; karena masing-masing kelompok
memiliki tuhan sendiri-sendiri. Sebab, ketika mereka berpaling dari
Tuhan yang hak, maka mereka akan jatuh ke dalam tuhan-tuhan palsu.
Sebagaimana
firman Allah: "Maka (Zat yang demikian) itulah Allah Tuhan kamu yang
sebenarnya; maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan."
(Yunus: 32)
Kesesatan itu
tidak memiliki batas dan tepi. Dan itu pasti terjadi pada diri
orang-orang yang berpaling dari Allah Subhannahu wa Ta'ala . FirmanNya:
"... manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah
Allah Yang Mahaesa lagi Mahaperkasa? Kamu tidak menyembah yang selain
Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu
membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang
nama-nama itu." (Yusuf: 39-40)
Dan
syirik dalam tauhid rububiyah, yakni dengan menetapkan adanya dua
pencipta yang serupa dalam sifat dan perbuatannya, adalah mustahil. Akan
tetapi sebagian kaum musyrikin meyakini bahwa tuhan-tuhan mereka
memiliki sebagian kekuasaan dalam alam semesta ini. Setan telah
mempermainkan mereka dalam menyembah tuhan-tuhan tersebut, dan setan
mempermainkan setiap kelompok manusia berdasarkan kemampuan akal mereka.
Ada
sekelompok orang yang diajak untuk menyembah orang-orang yang sudah
mati dengan jalan membuat patung-patung mereka, sebagaimana yang
dilakukan oleh kaum Nabi Nuh Alaihissalam. Ada pula sekelompok lain yang
membuat berhala-berhala dalam bentuk planet-planet. Mereka menganggap
planet-planet itu mempunyai pengaruh terhadap alam semesta dan isinya.
Maka
mereka membuatkan rumah-rumah untuknya serta memasang juru kuncinya.
Mereka pun berselisih pandang tentang penyembahannya; ada yang menyembah
matahari, ada yang menyembah bulan dan ada pula yang menyembah
planet-planet lain, sampai mereka membuat piramida-piramida, dan
masing-masing planet ada piramidanya sendiri-sendiri. Ada pula golongan
yang menyembah api, yaitu kaum Majusi.
Juga ada kaum yang
menyembah sapi, seperti yang ada di India; kelompok yang menyembah
malaikat, kelompok yang menyembah pohon-pohon dan batu besar. Juga ada
yang menyembah makam atau kuburan yang dikeramatkan. Semua ini
penyebabnya karena mereka membayangkan dan menggambarkan benda-benda
tersebut mempunyai sebagian dari sifat-sifat rububiyah. Ada pula yang
menganggap berhala-berhala itu mewakili hal-hal yang ghaib.
Imam Ibnul Qayyim
berpendapat: "Pembuatan berhala pada mulanya adalah penggambaran
terhadap tuhan yang ghaib, lalu mereka membuat patung berdasarkan
bentuk dan rupanya agar bisa menjadi wakilnya serta mengganti
kedudukannya. Kalau tidak begitu, maka sesungguhnya setiap orang yang
berakal tidak mungkin akan memahat patung dengan tangannya sendiri
kemudian meyakini dan mengatakan bahwa patung pahatannya sendiri itu
adalah tuhan sembahannya." [2]
Begitu pula para penyembah
kuburan, baik dahulu maupun sekarang, mereka mengira orang-orang mati
itu dapat membantu mereka, juga dapat menjadi perantara antara mereka
dengan Allah dalam pemenuhan hajat-hajat mereka. Mereka mengatakan:
"Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami
kepada Allah dengan sedekat-dekatnya." (Az-Zumar: 3)
"Dan
mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat
mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfa'atan,
dan mereka berkata: 'Mereka itu adalah pemberi syafa'at kepada kami di
sisi Allah'." (Yunus: 18)
Sebagaimana
halnya sebagian kaum musyrikin Arab dan Nasrani mengira tuhan-tuhan
mereka adalah anak-anak Allah. Kaum musyrikin Arab menganggap malaikat
adalah anak-anak perempuan Allah. Orang Nasrani menyembah Isa
Alaihissalam atas dasar anggapan ia sebagai anak laki-laki Allah.
Sanggahan Terhadap Pandangan Yang Batil Di Atas Allah Subhannahu wa Ta'ala telah menyanggah pandangan-pandangan tersebut: a. Sanggahan terhadap para penyembah berhala:
"Maka
apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap Al-Lata dan
Al-Uzza, dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak
perempuan Allah)?" (An-Najm: 19-20)
Tafsir ayat tersebut menurut Imam Al-Qurthubi,
"Sudahkah engkau perhatikan baik-baik tuhan-tuhan ini. Apakah mereka
bisa mendatangkan manfaat atau madharat, sehingga mereka itu dijadikan
sebagai sekutu-sekutu Allah?"
Allah Subhannahu wa Ta'ala
berfirman: "Dan bacakanlah kepada mereka kisah Ibrahim. Ketika ia
berkata kepada bapaknya dan kaumnya: 'Apakah yang kamu sembah?' Mereka
menjawab: 'Kami menyembah berhala-berhala dan kami senantiasa tekun
menyembahnya'. Berkata Ibrahim: 'Apakah berhala-berhala itu mendengar
(do'a) mu sewaktu kamu berdo'a (kepadanya)? atau (dapatkah) mereka
memberi manfaat kepadamu atau memberi mudharat?" Mereka menjawab:
'(Bukan karena itu) sebenarnya Kami mendapati nenek moyang kami berbuat
demikian'." (Asy-Syu'ara: 69-74)
Mereka
sepakat, berhala-berhala itu tidak bisa mendengar permohonan, tidak
bisa mendatangkan manfaat dan madharat. Akan tetapi mereka menyembahnya
karena taklid buta kepada nenek moyang mereka. Sedangkan taklid adalah
hujjah yang batil.
b. Sanggahan terhadap penyembah matahari, bulan dan bintang.
Allah
Subhannahu wa Ta'ala berfirman: "... dan (diciptakanNya pula) matahari,
bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintahNya." (Al-A'raf: 54)
"Dan
sebagian dari tanda-tanda kekuasaanNya ialah malam, siang, matahari dan
bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan janganlah (pula) kepada
bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah Yang menciptakannya, jika kamu
hanya kepadaNya saja menyembah." (Fushshilat: 37)
c. Sanggahan terhadap penyembah malaikat dan Nabi Isa atas dasar anggapan sebagai anak Allah.
Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman:
"Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, ..." (Al-Mu'minun: 91)
"Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai isteri." (Al-An'am: 101)
"Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia." (Al-Ikhlas: 3-4)
0 komentar:
Posting Komentar