Menyambut Dan Ikut rayakan Hari Raya Atau Pesta Orang Kafir Serta Berbelasungkawa dlm Hari Duka Mereka
Kitab Tauhid 1
oleh: Dr.Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al fauzan
A. Hukum Menyambut dan Bergembira dengan Hari Raya Mereka
Sesungguhnya
di antara konsekuensi terpenting dari sikap membenci orang-orang kafir
ialah menjauhi syi'ar dan ibadah mereka. Sedangkan syi'ar mereka yang
paling besar adalah hari raya mereka, baik yang berkaitan dengan tempat
maupun waktu. Maka orang Islam berkewajiban menjauhi dan meninggalkannya.
Ada
seorang lelaki yang datang kepada baginda Rasul Shallallaahu alaihi wa
Salam untuk meminta fatwa karena ia telah bernadzar memotong hewan di
Buwanah (nama sebuah tempat), maka Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam
menyatakan kepadanya; "Apakah di sana ada berhala dari berhala-hala
orang Jahiliyah yang disembah?" Dia menjawab, "Tidak". Beliau bertanya,
"Apakah di sana tempat dilaksanakannya hari raya dari hari-hari raya
mereka?" Dia menjawab, "Tidak". Maka Nabi bersabda, "Tepatilah nadzarmu,
karena sesungguhnya tidak boleh melaksanakan nadzar dalam maksiat
terhadap Allah dalam hal yang tidak dimiliki oleh anak Adam." (HR. Abu Daud dengan sanad yang sesuai dengan syarat Al-Bukhari dan Muslim)
Hadits
di atas menunjukkan, tidak boleh menyembelih untuk Allah di tempat yang
digunakan menyembelih untuk selain Allah; atau di tempat orang-orang
kafir merayakan pesta atau hari raya. Sebab hal itu berarti mengikuti
mereka dan menolong mereka di dalam mengagungkan syi'ar-syi'ar mereka
atau menjadi wasilah yang menghantar-kan kepada syirik.
Begitupula
ikut merayakan hari raya (hari besar) mereka mengandung wala' kepada
mereka dan mendukung mereka dalam menghidupkan syi'ar-syi'ar mereka. Di
antara yang dilarang adalah menampakkan rasa gembira pada hari raya
mereka, meliburkan pekerjaan (sekolah), memasak makan-makanan sehubungan
dengan hari raya mereka.
Dan
di antaranya lagi ialah mempergunakan kalender Masehi, karena hal itu
menghidupkan kenangan terhadap hari raya Natal bagi mereka. Karena itu
para sahabat menggunakan kalender Hijriyah sebagai gantinya.
Syaikh Ibnu Taimiyah berkata, "Ikut merayakan hari-hari besar mereka tidak diperbolehkan karena dua alasan: Pertama:
Bersifat umum, seperti yang telah dikemukakan di atas bahwa hal
tersebut berarti mengikuti Ahli Kitab, yang tidak ada dalam ajaran kita
dan tidak ada dalam kebiasaan salaf. Mengikutinya berarti mengandung
kerusakan dan meninggalkannya terdapat maslahat menyelisihi mereka.
Bahkan
seandainya kesamaan yang kita lakukan merupakan sesuatu ketepatan
semata, bukan karena mengambilnya dari mereka, tentu yang disyari'atkan
adalah menyelisihinya telah diisyaratkan di atas. Maka barangsiapa
mengikuti mereka, dia telah kehilangan maslahat ini sekali pun tidak
melakukan mafsadah (kerusakan) apa pun, terlebih lagi kalau dia
melakukannya.
Kedua:
karena hal itu adalah bid'ah yang diada-adakan. Alasan ini jelas
menunjukkan bahwa sangat dibenci hukumnya menyerupai mereka dalam hal
itu." Beliau juga mengatakan, "Tidak halal bagi kaum muslimin
ber-tasyabbuh (menyerupai) mereka dalam hal-hal yang khusus bagi hari
raya mereka; seperti makanan, pakaian, mandi, menyalakan lilin,
meliburkan kebiasaan seperti bekerja dan beribadah atau pun yang
lain-nya.
Tidak
halal mengadakan kenduri atau memberi hadiah atau menjual barang-barang
yang diperlukan untuk hari raya tersebut. Tidak halal mengizinkan
anak-anak atau pun yang lainnya melakukan permainan pada hari itu, juga
tidak boleh menampakkan perhiasan.
Ringkasnya,
tidak boleh melakukan sesuatu yang menjadi ciri khas dari syi'ar mereka
pada hari itu. Hari raya mereka bagi umat Islam haruslah seperti
hari-hari biasanya, tidak ada hal istimewa atau khusus yang dilakukan
umat Islam. Adapun jika dilakukan hal-hal tersebut oleh umat Islam
dengan sengaja maka berbagai golongan dari kaum salaf dan khalaf
menganggapnya makruh.
Sedangkan
pengkhususan seperti yang tersebut di atas maka tidak ada perbedaan di
antara ulama, bahkan sebagian ulama menganggap kafir orang yang
melakukan hal tersebut, karena dia telah mengagungkan syi'ar-syi'ar
kekufuran.
Segolongan
ulama mengatakan, "Siapa yang menyembelih kambing pada hari raya mereka
(demi merayakannya), maka seolah-olah dia menyembelih babi." Abdullah bin Amr bin Ash berkata,
"Siapa yang mengikuti negara-negara 'ajam (non-Islam) dan melakukan
perayaan Nairuz dan Mihrajan serta menyerupai mereka sampai ia meninggal
dunia dan dia belum bertobat, maka dia akan dikumpulkan bersama mereka
pada Hari Kiamat."
B.
Hukum Ikut Merayakan Pesta, Walimah, Hari Bahagia atau Hari Duka Mereka
Dengan Hal-hal yang Mubah serta Ber-ta'ziyah pada Musibah Mereka.
Tidak
boleh memberi ucapan selamat (tahni'ah) atau ucapan bela-sungkawa
(ta'ziyah) kepada mereka, karena hal itu berarti memberikan wala' dan
mahabbah kepada mereka. Juga dikarenakan hal tersebut mengandung arti
pengagungan (penghormatan) terhadap mereka.
Maka
hal itu diharamkan berdasarkan larangan-larangan ini. Sebagaimana haram
mengucapkan salam terlebih dahulu atau membuka jalan bagi mereka. Ibnul Qayyim berkata,
"Hendaklah berhati-hati jangan sampai ter-jerumus sebagaimana
orang-orang bodoh, ke dalam ucapan-ucapan yang menunjukkan ridha mereka
terhadap agamanya. Seperti ucapan mereka, "Semoga Allah membahagiakan
kamu dengan agamamu", atau "memberkatimu dalam agamamu", atau berkata,
"Semoga Allah memuliakanmu".
Kecuali
jika berkata, "Semoga Allah memuliakanmu dengan Islam", atau yang
senada dengan itu. Itu semua tahni'ah dengan perkara-perkara umum.
Tetapi jika tahni'ah dengan syi'ar-syi'ar kufur yang khusus milik mereka
seperti hari raya dan puasa mereka, dengan mengatakan, "Selamat hari
raya Natal" umpamanya atau "Berbahagialah dengan hari raya ini" atau
yang senada dengan itu, maka jika yang mengucapkannya selamat dari
kekufuran, dia tidak lepas dari maksiat dan keharaman.
Sebab
itu sama halnya dengan memberikan ucapan selamat terhadap sujud mereka
kepada salib; bah-kan di sisi Allah hal itu lebih dimurkai daripada
memberikan selamat atas perbuatan meminum khamr, membunuh orang atau
berzina atau yang sebangsanya.
Banyak
sekali orang yang terjerumus dalam hal ini tanpa menyadari
keburukannya. Maka barangsiapa memberikan ucapan selamat kepada
seseorang yang melakukan bid'ah, maksiat atau pun kekufuran maka dia
telah menantang murka Allah. Para ulama wira'i (sangat menjauhi yang
makruh, apalagi yang haram), mereka senantiasa menghindari tahni'ah
kepada para pemimpin zhalim atau kepada orang-orang dungu yang diangkat
sebagai hakim, qadhi, dosen atau mufti; demi untuk menghin-dari murka
Allah dan laknatNya.
Dari
uraian tersebut jelaslah, memberi tahni'ah kepada orang-orang kafir
atas hal-hal yang diperbolehkan (mubah) adalah dilarang jika mengandung
makna yang menunjukkan rela kepada agama mereka. Adapun memberikan
tahni'ah atas hari-hari raya mereka atau syi'ar-syi'ar mereka adalah
haram hukumnya dan sangat dikhawatirkan pelakunya jatuh pada kekufuran.
0 komentar:
Posting Komentar