Sunan
Drajad diperkirakan lahir pada tahun 1470 Masehi. Nama kecilnya adalah
Raden Qasim, kemudian mendapat gelar Raden Syarifudin. Dia adalah putera
dari Sunan Ampel, dan bersaudara dengan Sunan Bonang.
Ketika dewasa, Sunan Drajad mendirikan pesantren Dalem Duwur di desa Drajat, Paciran, Kabupaten Lamongan.
Sunan Drajat yang mempunyai nama kecil Syarifudin atau raden Qosim
putra Sunan Ampel dan terkenal dengan kecerdasannya. Setelah menguasai
pelajaran islam beliau menyebarkan agama Islam di desa Drajat sebagai
tanah perdikan di kecamatan Paciran. Tempat ini diberikan oleh kerajaan
Demak. Ia diberi gelar Sunan Mayang Madu oleh Raden Patah pada tahun
Saka 1442/1520 masehi
Raden Qosim yang sudah mewarisi ilmu dari ayahnya kemudian diperintah
untuk berdakwah di sebelah barat Gresik yaitu daerah kosong dari ulama
besar antara Tuban dan Gresik.
Raden Qosim memulai perjalanannya dengan naik perahu dari Gresik
sesudah singgah ditempat Sunan Giri. Dalam perjalanan ke arah Barat itu
perahu beliau tiba-tiba dihantam oleh ombak yang besar sehingga menabrak
karang dan hancur. Hampir saja Raden Qosim kehilangan jiwanya. Tapi
bila Tuhan belum menentukan ajal seseorang biar bagaimanapun hebatnya
kecelakaan pasti dia akan selamat, demikian pula halnya dengan Raden
Qosim. Secara kebetulan seekor ikan besar yaitu ikan talang datang
kepada Raden Qosim dan beliau pun menaiki punggung ikan tersebut hingga
selamat ke tepi pantai. …..
Raden Qosim sangat bersyukur dapat lolos dari musibah itu. Beliau
juga berterima kasih kepada ikan talang yang telah menolongnya sampai ke
tepi pantai. Untuk itu beliau berpesan kepada anak keturunan beliau
untuk tidak memakan daging ikan talang. Bila pesan ini dilanggar akan
mengakibatkan bencana, yaitu ditimpa penyakit yang tiada obatnya lagi.
Ikan talang tersebut membawa Raden Qosim hingga ke tepi pantai yang
termasuk wilayah desa Jelag (sekarang termasuk desa Banjarwati),
kecamatan Paciran. Di tempat itu Raden Qosim disambut masyarakat dengan
antusias, lebih-lebih setelah mereka tahu bahwa Raden Qosim adalah
putera Sunan Ampel seorang wali besar dan masih terhitung kerabat
kerajaan Majapahit.
Di desa Jelag itu Raden Qosim mendirikan pesantren, karena caranya
menyiarkan agama Islam yang unik maka banyaklah orang yang datang
berguru kepadanya. Setelah menetap satu tahun di desa Jelag, Raden Qosim
mendapat ilham supaya menuju ke arah selatan, kira-kira berjarak 1 km
disana beliau mendirikan langgar atau surau untuk berdakwah.
Tiga tahun kemudian secara mantap beliau mendapat petunjuk agar
membangun tempat berdakwah yang strategis yaitu ditempat ketinggian yang
disebut Dalem Dhuwur. Di bukit yang disebut Dalem Dhuwur itulah yang sekarang dibangun Museum Sunan Drajad, adapun makam Sunan Drajad terletak di sebelah barat Museum tersebut.
Raden Qosim adalah pendukung aliran putih yang dipimpin oleh Sunan
Giri. Artinya dalam berdakwah menyebarkan agama Islam beliau menganut
jalan lurus, jalan yang tidak berliku-liku. Agama harus di amalkan
dengan lurus dan benar sesuai ajaran Nabi Muhammad Saw. Tidak boleh
dicampur aduk dengan adat dan kepercayaan lama.
Meski demikian beliau juga mempergunakan kesenian rakyat sebagai alat
dakwah, didalam museum yang terletak disebelah timur makamnya terdapat
seperangkat bekas gamelan Jawa, hal itu menunjukkan betapa tinggi
penghargaan Sunan Drajad kepada kesenian Jawa.
Dalam catatan sejarah wali songo, Raden Qosim disebut sebagai seorang
wali yang hidupnya paling bersahaja, walau dalam urusan dunia beliau
juga rajin mencari rezeki. Hal itu disebabkan sikap beliau yang
dermawan. Dikalangan rakyat jelata beliau bersifat lemah lembut dan
sering menolong mereka yang menderita.
Ajaran Sunan Drajad yang Terkenal
Ajaran Sunan Drajad bersumber dari :
Al-Qur’an
Sunnah
Ijma’
Qiyas
Ajaran guru dan pendidik seperti Sunan Ampel
Ajaran dan pemikiran atau paham yang telah tersebar luas di masyarakat
Tradisi di masyarakat setempat yang telah ada yang sesuai dengan ajaran Islam, dan
Fatwa Sunan Drajad sendiri.
Diantara ajaran beliau yang terkenal adalah sebagai berikut:
Menehono teken marang wong wuto
Menehono mangan marang wong kan luwe
Menehono busono marang wong kang mudo
Menehono ngiyup marang wong kang kudanan
Artinya kurang lebih demikian :
Berilah tongkat kepada orang buta
Berilah makan kepada orang yang kelaparan
Berilah pakaian kepada orang yang telanjang
Berilah tempat berteduh kepada orang yang kehujanan
Adapun maksudnya adalah sebagai berikut:
Berilah petunjuk kepada orang bodoh (buta)
Sejahterkanlah kehidupan rakyat yang miskin (kurang makan)
Ajarkanlah budi pekerti (etika) kepada yang tidak tahu malu atau belum punya adab tinggi.
Berilah perlindungan kepada orang-orang yang menderita atau ditimpa bencana.
Ajaran ini sangat supel, siapa pun dapat mengamalkannya sesuai dengan
tingkat dan kemampuan masing-masing. Bahkan pemeluk agama lain pun tidak
berkeberatan untuk mengamalkannya.
Tentang puncak ma’rifat Sunan Drajad menuliskan perumpaannya sebagai berikut :
“Ilang, jenenge kawula,
Sirna datang ana keri,
Pan ilangwujudira,
Tegese wujude widi,
Ilang wujude iki,
Aneggih perlambangira,
Lir lintang karahinan,
Keserodotan sang hyang rawi,
Artinya:
Hilang jati diri makhluk,
Lenyap tiada tersisa,
Karena hilang wujud keberadaannya
Itulah juga wujud Tuhan,
Itulah yang ada ini,
Adapun persamaannya,
Seperti bintang diwaktu siang
Yang tersinari matahari.
Disamping terkenal sebagai seorang wali yang berjiwa dermawan dan
sosial, beliau jua dikenal sebagai anggota wali songo yang turut serta
mendukung dinasti Demak dan ikut pula mendirikan mesjid Demak. Simbol
kebesaran umat Islam pada waktu itu.
Dibidang kesenian, disamping terkenal sebagai ahli ukir beliau juga
pertama kali yang menciptakan Gendhing Pangkur, hingga sekarang gending
tersebut masih disukai rakyat jawa. Sunan Drajad demikian gelar Raden
Qosim, diberikan kepada beliau karena beliau bertempat tinggal di sebuah
bukit yang tinggi, seakan melambangkan tingkat ilmunya yang tinggi,
yaitu tingkat atau derajat para ulama Muqarrobin. Ulama yang dekat dengan Allah Swt.
Sebagai penghargaan atas keberhasilannya menyebarkan agama Islam dan
usahanya menanggulangi kemiskinan dengan menciptakan kehidupan yang
makmur bagi warganya, beliau memperoleh gelar “Sunan Mayang Madu” dari
Raden Patah Sultan Demak pada tahun Saka 1442 atau 1520 Masehi.
Filosofi Sunan Drajat
Filosofi Sunan Drajat dalam pengentasan kemiskinan kini terabadikan
dalam sap tangga ke tujuh dari tataran komplek Makam Sunan Drajat.
Secara lengkap makna filosofis ke tujuh shaf tangga tersebut sebagai
berikut :
Memangun resep tyasing Sasoma
(kita selalu membuat senang hati orang lain)
Jroning suka kudu éling lan waspada
(di dalam suasana riang kita harus tetap ingat dan waspada)
Laksmitaning subrata tan nyipta marang pringgabayaning lampah
(dalam perjalanan untuk mencapai cita – cita luhur kita tidak peduli dengan segala bentuk rintangan)
Mèpèr Hardaning Pancadriya
(kita harus selalu menekan gelora nafsu-nafsu)
Heneng – Hening – Henung
(dalam keadaan diam kita akan memperoleh keheningan dan dalam keadaan hening itulah kita akan mencapai cita-cita luhur).
Mulya guna Panca Waktu
(suatu kebahagiaan lahir bathin hanya bisa kita capai dengan shalat lima waktu)
Mènèhana teken marang wong kang wuta, Mènèhana mangan
marang wong kang luwé, Mènèhana busana marang wong kang wuda, Mènèhana
ngiyup marang wong kang kodanan
(Berilah ilmu agar orang menjadi pandai, Sejahterakanlah kehidupan
masyarakat yang miskin, Ajarilah kesusilaan pada orang yang tidak punya
malu, serta beri perlindungan orang yang menderita)
Kisah Sunan Drajat dan Makhluk Halus Di Dalem Dhuwur
Sunan Drajat atau Raden Qasim merupakan anak kandung dari Sunan
Ampel. Semasa kecil Sunan Drajat menghabiskan waktunya di lingkungan
Islami di daerah Ampeldeta, sekarang Wonokromo Surabaya. Sewaktu
beranjak dewasa, Sunan Drajat mendapat titah dari Sunan Ampel untuk
berdakwah di sekitar pesisir barat Gresik. Mendapat perintah itu, Sunan
Drajat segera menyiapkan perbekalan dan berangkat menaiki biduk, sejenis
perahu layar kecil.
Namun ketika sampai di tengah lautan, tiba-tiba gelombang tinggi dan
badai datang. Seketika biduk yang dinaiki Sunan Drajat pecah dan
terombang-ambing di tengah lautan. Namun dengan berpegangan pada dayung
perahu, akhirnya Sunan Drajat berhasil melewati badai.
Sunan Drajat mengapung di tengah lautan. Beberapa saat kemudian,
Sunan Drajat didatangi ikan cucut dan ikan cakalang, dengan bantuan
kedua ikan ini akhirnya Sunan Drajat dapat mencapai daratan di Kampung
Jelak, Banjarwati sekitar tahun 1485.
Sesepuh kampung bernama Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar, menyambut
baik kedatangan Sunan Drajat. Di sinilah awal mula dakwah Sunan Drajat,
setelah cukup lama menetap dan mengajarkan ilmu agama di desa ini,
kemudian Sunan Drajat pindah ke arah Selatan, sekitar satu kilometer
dari Jelak. Kemudian tempat baru itu dinamakan Desa Drajat.
Namun karena belum menemukan lokasi strategis berdakwah, akhirnya
Sunan Drajat meminta izin kepada Sultan Demak yang menguasai wilayah itu
untuk membuka lahan baru di daerah perbukitan selatan yang tidak jauh
dari Desa Drajat.
Perbukitan selatan yang kemudian hari dinamakan Ndalem Dhuwur,
dulunya merupakan wilayah hutan belantara yang angker dan dikeramatkan
oleh warga sekitar. Tidak sedikit terjadi penampakan mahluk halus di
sekitar wilayah itu.
Bahkan sewaktu Sunan Drajat mulai membuka perbukitan itu, banyak
mahluk halus yang marah dan tidak segan melakukan teror kepada warga
sekitar pengikut Sunan Drajat. Lebih parah lagi, makhluk halus itu
berupaya menyebarkan penyakit aneh kepada warga.
Namun karena kesaktian yang dimiliki Sunan Drajat, teror makhluk
halus itu dapat diatasi. Saat ini Ndalem Dhuwur menjadi kompleks
pemakaman Sunan Drajat bersama pengikutnya. Selain itu juga menjadi
museum tempat menyimpan barang-barang peninggalan, seperti dayung perahu
dan gamelan Singo Mengkok. Setiap hari sekitar ratusan hingga ribuan
peziarah memadati kompleks pemakaman Sunan Drajat.
0 komentar:
Posting Komentar